Venus berusaha membuat topik obrolan. "Kalian ko bisa disini?"
"Buset gue lupa ada dua planet disini, lengkap bener kaya planetarium." Fano mendongak, menatap Venus. Kasihan sekali tak ada yang mengajak bicara. Gavin ikut mendongak, dirinya juga baru sadar kalo ada Venus sedari tadi. Mereka sudah terbiasa nongkrong bertiga, tanpa cewek. Alasannya karena memang ketiganya jomblo. Berhubung Rendy sedang pdkt dengan Venya, jadi mereka ikut saja. Itung-itung deketin satu dapet bonus tiga. Lumayan, mana cogan semua.
"Haha, iya lengkap yah." Venus berusaha tertawa, padahal aslinya malas tertawa. "Lengkap juga ada Lo, Guntur. Udah kaya alam semesta ya kan? Ha-ha-ha" Fano, nama lengkap Fano adalah Alfano Guntur Prasaja. Ia terus berusaha sebisa mungkin untuk tertawa, agak canggung berkumpul dengan orang sebanyak ini.
Dari kecil Venus memang tak punya sahabat. Venya adalah teman satu-satunya yang mengajaknya berkenalan terlebih dahulu saat pertama masuk ke kelas sepuluh. Tidak, Venus bukan korban bully, melainkan memang Venus yang menjaga jarak.
Otak Venus mengatakan pasti tak ada yang suka padanya. Anak nakal, tukang berkelahi, anak bar-bar. Semua yang buruk ada di diri Venus. Tapi selain hal itu Venus punya hal yang bisa membuatnya unggul dari anak-anak lain, Venus pintar, cekatan, pintar memasak. Sejak kelas satu SD Venus selalu menjadi langganan juara kelas, rangking 1. Menang lomba sana sini.
Kalau saja tak ada Jupiter di sekolah, bisa dipastikan Venus akan selalu menjadi juara apapun setiap tahunnya.
Venus tahu, dia membenci Jupiter hanya karena tak mau posisinya tergeser. Dia hanya tidak terbiasa di nomor duakan.
Kalau saja Jupiter tak menjadi saingannya Venus tak akan mempermasalahkan kehadiran Jupiter.
Dulu saat Olya belum lahir Venus selalu di utamakan. Apapun keinginannya selalu di turuti. Kakaknya juga selalu mengantar saat kemanapun Venus ingin pergi.
Setelah Olya lahir Venus merasa terasingkan. Semua perhatian selalu di berikan kepada Olya. Venus tak benci pada Olya, dia sangat menyayangi Olya sebagaimana kakak kepada adiknya.
Tak ada seorangpun orang yang bisa venus jadikan tempat bercerita. Menurutnya tak ada tempat curhat terbaik selain kepada benda mati. Tentu saja yang tidak bisa membeberkan apapun, ke siapapun. Boneka contohnya, kamar Venus penuh dengan boneka, gunanya tentu saja untuk tempat curhat.
Tingkah jahilnya, nakal nya, bar-bar nya, tak lain adalah untuk menarik perhatian. Karena Venus memang merasa kurang diperhatikan sejak adiknya lahir. Tak ada yang sayang Venus lagi. Sepertinya benar, orang yang paling sering tertawa adalah orang punya beban hidup paling berat.
"Woy!! kelamaan di diemin malah cosplay jadi patung." Gavin menggoyang-goyangkan pundak Venus. Mereka takut kalau-kalau Venus kerasukan jin Tomang atau teman sebangsanya.
"Eh, maaf. Gue ngelamun yah? Venus tersadar dari lamunannya. Matanya diedarkan ke teman-teman nya yang menatapnya kesal.
"Udah tau pake nanya." Jupiter berbicara lirih, tapi samar-samar masih bisa Venus dengar.
"Biasa, anak pintar otaknya sering ngelag." Rendy beropini yang di balas anggukan mantap dari Venya.
"Iya anak pintar suka lemot, kebanyakan hapalan otak gue jadi lemot." Venus menatap Jupiter.
"Gue pinter tapi ngga lemot." Jupiter tak setuju dengan jawaban Venus. Dirinya juga pintar, tapi menurutnya tak lemot.
Venus membalas ucapan Jupiter dengan senyuman. Entah jenis senyuman apa yang Venus berikan, senyum meremehkan mungkin.
Venya berusaha menyingkirkan aura permusuhan keduanya. Berniat mengajak mereka semua nonton film.
Venya tahu Venus pasti kesepian. Sebenarnya Venya sedang berusaha membuat mereka lebih akrab. "Abis ini kita nonton yuk."