08 - His Dream

2.8K 723 108
                                    

Aku menyaksikan Yatara berganti pakaian dari setelan rapinya ke kaus hitam dan celana jeans di kamar apartemenku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menyaksikan Yatara berganti pakaian dari setelan rapinya ke kaus hitam dan celana jeans di kamar apartemenku. Beberapa potong pakaiannya memang tersimpan di sini, persediaan kalau dia tidak sempat pulang.

"Awas menggelinding tuh mata kamu." Yatara berkata setelah dia memakai sepatu putihnya.

"Emang bola bowling, menggelinding."

Yatara berkaca entah untuk kali keberapa sore ini. "Lumayan juga ya, ternyata. Kenapa nggak dari dulu aja aku warnain rambut begini."

"Sedikit lebih repot ngurus rambut yang diwarnai, mungkin karena itu."

Yatara menyisir rambutnya ke belakang, setengah memelukku dan mengeluarkan ponsel dari saku. "Kita belum ambil foto setelah rambutku jadi pirang, lho."

Kalau mau dibandingkan, Yatara lebih sering dan jago kalau urusan mengambil foto diri. Bukan apa-apa, aku cuma malas saja. Aku lebih suka mengambil potret orang lain. Di ponselku, ada lebih banyak foto Yatara hasil kurun waktu tiga hari daripada fotoku dalam tiga bulan.

Biasanya kami ke mana-mana naik kereta dalam kota atau taksi online. Aku dan Yatara sama-sama malas menyetir lama, terutama dalam lalu lintas ibu kota yang padatnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, karena kami akan menghabiskan malam akhir pekan ini di luar kota, Yataralah yang mengemudikan mobil hitam menterengnya.

Satu hal yang kurasakan begitu tiba di penginapan sewaan Yatara adalah udaranya jauh lebih segar, tetapi juga lebih dingin. Penyebabnya jelas karena ada di area pegunungan. Area penginapan ditanami banyak pohon-pohon besar maupun kecil, perlu cukup banyak lampu untuk membuatnya kelihatan terang.

Perjalanan kami tidak begitu lama, tetapi cukup untuk membuatmu sedikit merasa lelah. Tepat setelah turun dari mobil, Yatara merangkulku dan membiarkan barang-barang kami dibawakan penjaga. 

Rencananya kami bakal bikin ala-ala barbeque party. Aku, lebih tepatnya. Yatara lebih berbakat makan daripada masak.

"Ini udah bisa dimakan?" tanyanya kala aku memutar jagung bakar. Terlalu lama kubiarkan karena mengobrol dengannya, jadi agak gosong.

"Bisa." Aku menjawab tanpa berniat menjelaskan. Hasilnya, Yatara sempat mengernyit meski tidak berkomentar apa-apa.

Halaman belakang penginapan ini lebih rapi daripada halaman depannya. Ada kolam renang, tetapi baik aku maupun Yatara tidak punya niatan basah-basahan di jam-jam segini.

"Kegiatan begini bikin aku ingat acara kayak makrab organisasi." Yatara mengajukan suatu topik pembicaraan yang bakal mengalir malam itu.

"Duh, makrab organisasiku isinya kating marah-marah dan bilang zaman mereka lebih parah," balasku setengah mengeluh.

"Kirain disuruh merem dan bayangin kalau orang tua udah nggak ada." Yatara membangkitkan memoriku yang lain.

"Itu sih, zaman SMA."

"Nangis nggak?"

"Nggak. Papaku emang udah meninggal, nggak perlu disuruh bayangin juga udah sedih duluan." Papa meninggal saat aku masih sekolah dasar. Benar-benar menggoyahkan kondisi ekonomi kami. Aku anak tunggal dan Mamalah yang bekerja banting tulang buat hidup kami.

Bukan masa-masa yang mudah.

"Sorry to hear that."

"No, it's ok." Aku sudah lama menerima kepergian Papa. "Kamu pernah disuruh bayangin begitu memangnya?"

"Pernah, waktu SMA juga. Nggak nangis soalnya ada yang nangis kenceng banget terus tiba-tiba keselek, malah pengin ketawa." Yatara memakan jagung bakarnya dengan santai. "Punggungku juga sakit karena duduk terus, lebih pengin pulang daripada pengin nangis."

"Kirain sekolah orang kaya nggak ada begituan." Aku menikmati jagung pertamaku. "Adanya pengarahan karir dan mimpi, misal."

"Itu juga ada." Yatara mengambilkan sosis bakar dan menempatkannya di piringku. "Kalau dipikir-pikir, mimpi mau jadi apa waktu kecil lebih bebas dibanding pas udah gede."

"Dulu aku pengin jadi dokter," kataku jujur. "Tapi lihat riwayat aku tukang marah-marahin orang, nggak jadi deh. Kasihan pasiennya. Aku juga nggak suka biologi."

Yatara nyengir. "Dulu juga aku pengin jadi dokter atau astronot."

"Template banget." 

"Sekarang sih, beda lagi."

Yatara tidak menatap lurus kepadaku seperti yang biasa dia lakukan. Kalau sudah begitu, dia pasti tidak mau bagian dirinya yang rapuh dilihat orang lain.

"Kalau sekarang, mau jadi apa?"

"Apa, ya? Traveler, mungkin? Dulu malah aku pengin jadi jurnalis. Tapi kamu tahu kan, kenapa aku nggak bisa pilih pekerjaan sendiri." Akhirnya Yatara mendongak juga, senyumnya itu tidak selepas biasanya.

Karena dia anak laki-laki dan pada pundaknyalah tanggung jawab meneruskan usaha turun-temurun keluarganya diletakkan.

Kami saling diam untuk beberapa saat, sampai Yatara membuka mulut lagi. "Kalau kamu, mau jadi apa?"

"Tadinya aku mau jawab jadi apa aja asal banyak uangnya," jawabku setengah bercanda. "Aku suka gambar, ilustrator tetap jadi salah satu impianku. Kadang aku juga pengin punya salon sendiri, yang fokus di styling sama warnain rambut orang."

"Kubikinin mau?"

"Bikinin apa?"

"Salon. Katanya mau itu."

Yatara berbicara demikian seolah membangun usaha sendiri semudah dan semurah jual risol buat kepanitiaan. 

"Nggak usah aneh-aneh."

"Kok aneh?"

"Dipikir gampang bikin usaha begitu?"

"Aku bisa cari relasi yang punya pengalaman di bidang itu buat bantu." Yatara menggeser kursinya agar lebih dekat padaku. "Gimana, mau?"

"Nggak." Aku menolak dengan tegas. Aku ingin bisa tumbuh bersamanya, bukan karena Yatara. Aku juga ingin bisa berdiri sendiri.

Apinya padam, Yatara menghidupkannya lagi karena masih ada beberapa tusuk jagung dan olahan daging lainnya. "Sebenarnya ada lagi mimpiku yang lain, nggak kalah besar dan berarti."

"Apa?"

Aku membantu menyusun makanan di atas alat pembakaran. Akan tetapi, tangan Yatara meraihku. Aku segera merasakan tepukan di punggung dan bibirnya di keningku.

"Kamu."

***

To be continued.

***

Him ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang