Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jika ditanya apa saja yang ditinggalkan Yatara padaku, aku akan menjawab segalanya.
Pagi itu adalah pemberontakan terakhir pada banyak hal. Yatara tetap bersamaku, mendapatkan morning kiss-nya yang biasa, menyeduh kopi pahit kesukaannya.
Begitu pun aku. Usapan lembutnya di rambutku, pelukan di bathub saat kami berendam bersama, dan sarapan pagi yang tenang.
Yatara punya banyak benda yang disimpan di apartemenku. Hampir selusin pakaian, sandal, pasta gigi, jam tangan mahal, dan masih banyak lagi. Dia tidak mengambil apa pun selain pakaian yang dikenakannya sekarang. Benda-benda itu akan menjadi milikku. Kenangan-kenangan bisu.
Yatara mengeluarkan salah satu jaketnya dari lemariku, mengangkatnya sebentar untuk melihat-lihat. Dia kemudian berdiri di depanku, memakaikan jaket kulit itu. Aku ingat dari mana dia mendapatkannya. Yatara membelinya ketika menyusulku ke Jogja dulu. Ada aksen tulisan di bagian punggung jaket.
Happy, tulisannya.
Kutatap wajahnya yang pucat dan kehilangan rona, pada netranya yang indah dan memabukkan.
Dia memainkan ponselnya sebentar, lalu meletakkannya di meja dapur. Kini, ponselku yang sibuk berdering. Mengapa dia mengirimkan pesan padaku kalau kami berhadap-hadapan seperti sekarang?
Pesan yang masuk bukan darinya, melainkan notifikasi kegiatan rekeningku. Seseorang baru saja mengirimkan sejumlah nominal yang harus kudapatkan dengan bekerja selama berpuluh-puluh tahun.
"Yatara!"
Yatara membungkamku dengan ciuman putus asa.
"Ini hal terakhir yang bisa aku lakukan buat kamu." Yatara mengusap bibirku yang basah. "Please, be happy."
Bagaimana bisa?
Yatara mungkin menemukan kembali kewarasannya. Dialog-dialog panjang dan pertemuan tanpa canggung setelah semua ini adalah suatu keajaiban. Tidak akan ada dari kami yang saling duduk tenang tanpa punya keinginan untuk memeluk erat-erat.
"There is a word written in now your jacket. Happy." Yatara menempelkan bibirnya ke dahiku. Lama. Lama sekali. "Kamu kebahagiaan aku."
Aku tidak tahu apa yang bisa kuberikan untuk Yatara. Rasanya, aku ingin segera melarikan diri.
Bersama denganku cukup lama membuat Yatara bisa memprediksi apa yang kupikirkan. "Kamu nggak perlu kasih apa-apa. Please, hubungi aku ketika kamu sudah sampai Bandung."
Aku mengusap lengannya, kehilangan kata-kata.
Yatara menghela napas, memandangku lamat-lamat sekali lagi. "Aku akan merindukan kamu."
"Have a good life, Yatara."
Yatara tidak bisa menahan diri untuk memberiku kecupan di dahi lagi. Dia memaksakan sebuah senyum. Langkahnya menciptakan jarak di antara kami. Sebelum mencapai pintu, dia setengah berbalik dan berhenti sebentar. Sebelum punggungnya hilang dibalik pintu.
Aku berpegangan pada sisi meja dan menelan ludah. Senyap yang terjadi menerjangku. Segera saja aku mulai merasakan ruang kosong yang tidak akan pernah bisa diisi. Rasa sepi membuatku terduduk di lantai.
Tangis pecah dan isakanku memenuhi apartemen ini sepenuhnya.