04 - His Voice

4.6K 904 120
                                    

Ingin kudengar selalu suaramu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ingin kudengar selalu suaramu.
Pun senyap dan diammu.

***

"Hai. Udah nunggu lama, ya? Sorry saya telat tiga menit."

Aku memandangi Yatara seperti dia baru saja kehilangan akal atau dia datang dengan kostum panda. "Saya juga baru datang," balasku pada akhirnya.

Aku pernah menunggu klien lebih dari satu jam tanpa pemberitahuan lebih dulu, teman-temanku juga menganggap telat tiga puluh menit itu justru waktu janji yang lebih tepat. Jadi, tiga menit bukan masalah besar, aku juga pasti lupa Yatara telat datang. Buat maskeran saja butuh waktu lebih lama.

Pendingin ruangan menyembur dan membuatku harus menahan tatanan rambut biar tidak acak-acakan. Perpustakan nasional ini sering kudatangi kalau ingin menikmati waktu sendiri. Yatara rupanya suka baca buku juga, dia lebih suka cerita dengan muatan misteri. Ketika aku minta rekomendasi darinya kemarin di chat, dia memberikan lebih dari dua puluh judul buku.

Aku membaca segala genre buku, tetapi romansa tetap favoritku.

"Kamu udah punya kartu membernya, 'kan?" Yatara bertanya sementara kami naik eskalator.

"Udah." Sudah sejak zaman kuliah beberapa tahun yang lalu. "Kenapa?"

"Setelah book tour, siapa tahu mau nonton di lantai delapan."

Di lantai delapan atau layanan audiovisual, pengunjung memang bisa menonton film-film yang disediakan. Tentu saja bukan film-film keluaran terbaru, kebanyakan koleksinya adalah dokumenter dan film luar lama. Selain itu, ada pula kaset musik bahkan koleksi lawas juga bisa ditemukan di sana.

Aku tidak tahu hari ini bisa disebut kencan pertama kami atau tidak. Setelah makan malam di pusat perbelanjaan tempo hari gara-gara aku kalah suit, kami bertukar kontak dan sosial media. Di internet, Yatara bukan yang paling terbuka. Akun Instagram-nya diprivat, isinya cuma ada beberapa postingan. Kebanyakan foto langit atau potretnya dari belakang. 

Book tour yang mau kami datangi datang dari penulis kenamaan yang sudah sejak lama menjajal genre-genre tidak biasa seperti fiksi ilmiah dan fiksi sejarah. Tahun ini, dia menerbitkan buku misteri. Aku mengiakan saja ajakan Yatara ke sini, sebab aku sendiri penasaran dengan buku terbaru penulis ini. Acaranya dimulai dua puluh menit lagi, diadakan di ruang auditorium di lantai dua.

"Buku favorit kamu apa? Kemarin pas saya tanya, kamu bilang belum siap jawab." Yatara tertawa sendiri. "Kirain saya salah tanya sampai kamu jawab begitu."

"Banyak, soalnya." Kami berdiri di dekat pagar pembatas lantai dua sambil melihat ke lantai satu. "Soalnya selera bacaan kita nggak mirip juga."

"Saya mau coba baca."

"Biar apa?"

"Biar ada obrolan nyambung sama kamu."

Mudah sekali dia bilang begitu.

"Saya juga perlu baca buku dari genre favorit kamu, kalau begitu."

Aku punya rasa percaya diri yang tinggi dan cukup peka. Jika Yatara seterus terang ini, aku juga bisa. Aku tak mau kalah.

Yatara menipiskan bibir, dia berdeham kemudian. "Boleh nggak saya mengajukan pertanyaan lain?"

"Tanyain aja."

"Kalau saya tertarik sama kamu gara-gara kamu ngajak suit buat jus jeruk tempo hari, menurut kamu aneh nggak?"

"Nggak." Jawabanku spontan keluar.

"Kenapa?"

"Saya percaya orang-orang bisa naksir terhadap hal-hal aneh."

"Menurut kamu ngajak batu gunting kertas ke orang itu aneh?"

"Memangnya menurut kamu nggak?"

Diberi pertanyaan begitu, Yatara mengangkat bahu. "Memang aneh, kalau dipikir-pikir."

"Tapi kayaknya memang lebih aneh kamu karena tertarik karena hal begitu."

"Siapa yang tahu." Yatara melebarkan senyumnya. "Saya juga bingung."

Percakapan itu tidak terasa seserius yang pernah kubayangkan. Percikan jenaka pada pandangan dan getaran-getaran antusias pada suaranya masih kuingat sampai sekarang. Yatara bakal meninggikan suaranya bila dia sedang senang dan sebaliknya bila suasana hatinya memburuk.

Suaranya itu seperti parameter isi hatinya sendiri.

"Buku favorit saya itu Notasi dari Morra Quatro," sebutku untuk menjawab pertanyaan Yatara sebelumnya. Ada bagian romansa, tapi ada unsur sejarahnya juga. "Mau pinjam?"

Aku memberikan kesempatan padanya untuk berbicara padaku lebih lama, untuk menemuiku lagi, untuk kembali bersuara di depan mukaku lagi.

"Boleh." Yatara mengusap bagian belakang belakangnya. "Nanti saya pinjamkan buku favorit saya juga."

Aku tidak mudah meminjamkan buku favoritku. Tidak akan, kalau kataku dulu. Jadi, ini berbicara cukup banyak tentang beberapa hal.

"Saya sempat berpikir kamu bekerja memanfaatkan suara kamu," ucapku tiba-tiba. 

"Suara saya?" Yatara menunjuk bibirnya dengan telunjuk. 

"Iya, suara kamu enak didengar."

Pipi Yatara merona. 

"Oh, ya?"

"Iya. Nggak nyangka ternyata kamu penerus raja properti."

Yatara tertawa sambil memalingkan muka, sepertinya dia merasa malu. 

"Saya pikir kamu desainer atau pemilik butik, soalnya kamu modis." Yatara memusatkan pembicaraan kembali padaku.

"Oh, ya?" Aku meniru tanggapan Yatara sebelumnya.

"Kapan-kapan saya berharap kamu memilihkan pakaian untuk saya."

Lucu juga kalau diingat-ingat Yatara pernah bilang begitu. Setelah kami berpacaran, kaus hitam melekat padanya seperti kulitnya sendiri.

Apakah memang pihak laki-laki suka lebih manis di masa pendekatan?

"Kalau orangnya punya wajah kayak kamu, kayaknya pakaian apa aja cocok."

Sejak kapan aku pintar memuji orang begini? Di tempat kerja, aku dikenal sebagai si ribet yang kerjaannya minta revisi terus—soalnya tim marketing dan klien sering ngasih brief kurang lengkap dan suka memberikan perubahan dadakan pula.

"Terima kasih." Suaranya meninggi. Yatara melihat orang-orang mulai memasuki ruang auditorium.

"Mau masuk sekarang?" Tangannya terangkat ke arahku, tetapi ditariknya lagi. Dia lalu memanggil namaku, membuatku membalas tatapannya sepenuhnya.

Aku ingin mendengarnya memanggil namaku lagi dan lagi.

***

To be continued.

***

Him ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang