"Tumben bukan kaus hitam," komentarku ketika Yatara keluar dari kamarnya.
Kami nyaris bisa melakukan apa saja, asal berdua. Keliling pusat perbelanjaan tanpa membeli apa-apa, kencan di toko buku dan membaca buku yang segelnya terbuka, sampai berbaring saja di halaman belakang rumah Yatara yang luas sampai matahari perlahan terbenam.
Sore ini, kami mau bersepeda di kompleks rumah Yatara yang luas dan diisi rumah-rumah mewah ini.
"Kalau rambutku ada yang rontok, lumayan kelihatan ternyata." Yatara menutup pintu kamar dan menggandengku. "Beauty is pain, right?"
Aku tertawa karena istilah yang dipakainya. "Awas nanti ketagihan warnain."
"Nggak bakal kalau bukan kamu yang warnain." Yatara mencuri kecupan di bibirku, padahal kami ada di ruang depan dan pekerja rumahnya tengah berkeliaran.
"Yatara!" Suaraku agak tertahan, bercampur antara terkejut dan malu. Jantungku hampir melompat ke luar.
"Udah santai aja."
Dia sih, enak bilang begitu. Aku mengedarkan pandangan dan para pekerja di rumah Yatara tidak ada yang melihat ke arah kami, lebih tepatnya sudah memalingkan muka duluan.
"Kita udah pacaran lumayan lama, mereka udah terbiasa kayaknya."
"Kayaknya." Aku memperjelas kata itu.
Yatara pura-pura tidak mendengar. Dia malah merangkulku sepanjang langkah kami menuju halaman depan rumahnya. Dua sepeda sudah terparkir di sana, sudah disiapkan. Garasi rumahnya ada di bagian kiri, penuh mobil dan kendaraan roda dua. Namun, Range Rover hitamnya terparkir sempurna di dekat teras depan yang masih lebih besar dari apartemenku.
Yatara memakaikanku helm untuk bersepeda, walau dia justru memakai topi biasa. Saat melihat gelagatku hendak berbicara, Yatara menempelkan telunjuknya di bibirku. "Punyaku belum datang dari Singapur."
"Di Duren Sawit juga banyak yang jual, kenapa harus dari luar?"
"Model helm yang aku mau nggak ada di sini."
Aku memang tidak akan pernah mengerti jalan pikiran orang kaya.
Kami mengayuh sepeda menjauhi teras rumah Yatara, tetapi laki-laki itu justru berhenti sebelum melewati gerbang.
"Ada yang ketinggalan?" Aku langsung menebak.
"Nggak." Yatara membenarkan letak topinya. Dia menipiskan bibir, menarik napas perlahan dan mengembuskannya lagi. "Tadi Papa telepon aku."
Raut wajah Yatara tidak menunjukkan kalau itu berita bagus.
"Mau cerita sekarang?" Aku bertanya dengan nada selembut mungkin. "Kalau kamu belum mau cerita, nggak apa-apa. Masih banyak waktu."
Yatara membenarkan topinya lagi meski terpakai sempurna di kepalanya. "Oke."
Yatara mengayuh sepedanya lebih dulu. Sepertinya sepedanya terlalu kecil buatnya. Kaki Yatara yang panjang mesti naik cukup tinggi biar bisa mengemudikan sepedanya. Kalau kami main di timezone permainan balap sepeda, dia selalu kalah karena kakinya kepanjangan.
"Nanti malam pengin cuddling, ya."
Kalau Yatara sudah bilang ingin memelukku sepanjang malam padahal dia bisa melakukannya tanpa meminta, suasana hatinya tidak sedang baik-baik saja.
"Iya." Aku tetap menjawab. "Mau kukeramasin juga?"
Yatara mengangguk lebih dari dua kali.
"Dimandiin juga boleh, hehe."
Dasar bayi besar.
***
To be continued.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Him ✓
Romance(SELESAI DAN MASIH LENGKAP) His life. Yatara adalah bentuk tawa dari hidup yang suka bercanda. His existence. Kehadirannya serupa matahari di jagat raya. Him. Dia, yang segalanya bagiku. Dia dan semua miliknya. * © written in: 8th June 2021. sele...