16 - His Touch

2.4K 659 80
                                    

Yatara tak ingin melepaskan pelukannya bahkan ketika langit di luar sudah sepenuhnya gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yatara tak ingin melepaskan pelukannya bahkan ketika langit di luar sudah sepenuhnya gelap. Dia membenamkan wajahnya padaku, tangannya tidak melonggar sedikit pun.

"Ini salahku." Ucapanku berhasil membuat Yatara mendongak. "Kalau aku nggak bersikeras buat menjalin hubungan lebih jauh dengan kamu, mungkin nggak akan ada di antara kita yang berharap waktu berhenti."

"Nggak ada yang salah. Kita sama-sama ingin hubungan ini." Yatara mengurai pelukannya. "Kalaupun waktu bisa diulang, aku tetap akan memilih kamu."

Dan menjalani cerita cinta yang sudah tahu berakhir seperti apa, lagi.

"Kamu benar-benar nggak mau lari bersamaku? Aku bisa--"

"Yatara, berhenti." Aku menghentikannya sebelum dia mulai meracau. "Kita bisa ... jadi teman lagi. Kita nggak perlu melupakan kita pernah saling kenal."

"Kamu bisa menjalani hubungan seperti itu?"

Yatara sudah tahu jawabanku. Tidak. 

"Aku benci Papa." Yatara meledak. "I'm doing good while working at his company, why he feel the need to arrange a marriage? He also complain about my hair. Dia mau rambutku hitam lagi sebelum makan malam itu."

Aku tak punya jawaban yang bisa memuaskannya. Denganku, Yatara bisa jadi laki-laki paling bahagia. Akan tetapi, bagi kerajaan ayahnya, aku tak berarti apa-apa.

"Kita sama-sama tahu hubungan ini bakal berakhir, Yatara." Aku berbisik, air mata menggenang di netra Yatara lagi. "Let's stop."

Yatara tampak begitu terluka dan aku membenci diriku sendiri.

"Aku juga nggak mau kita berakhir, tapi aku nggak akan membiarkan kamu kehilangan segalanya hanya karena aku."

"You said the same thing as my father." Yatara menggenggam tanganku. "I can't do it. Even tomorrow, even forever."

Aku menangkup pipi Yatara, memberinya ciuman singkat. "We can do it."

Aku bisa mendengar suara hatiku yang patah.

Tidak ada perpisahan yang baik-baik saja.

"Biar kukembalikan lagi warna rambut kamu." Aku menyisir rambut Yatara dengan jemariku. "Besok, kamu bisa pergi."

Yatara melepaskan jas dan kemejanya, meninggalkan kaus tanpa lengan di tubuhnya. Dia meraihku, mencumbu. Ketika pandangan kami bertemu lagi, Yatara menggigit bibir bawahnya, gelombang emosi menerpanya lagi.

"Kita masih bisa saling bicara, 'kan?"

"Tentu, Yatara."

"Saling bertemu?"

"Selama pasangan kamu mengizinkan."

Yatara menggeleng. "Kamu nggak akan meninggalkan Jakarta, kan?"

Kini, aku yang tak bisa menghentikan laju air mataku. "Aku akan kembali ke Bandung."

Yatara meremas rambutnya sendiri, menahan semua kalimat yang bisa saja keluar dari mulutnya. Kata-kata frustrasi, keinginan untuk ikut, makian untuk ayahnya.

Kala kuwarnai kembali rambut Yatara menjadi hitam, dia terus menunduk. Bagi kami, dunia sudah berakhir.

Aku tak tahan melihatnya seperti ini. Namun, melanjutkan hubunganku dengannya hanya akan menunda perpisahan dan membuat luka yang lebih besar lagi. Aku memakaikan pewarna hitam itu juga ke rambutku, tangan Yatara terus bergerak menyentuh pipiku, mataku, bibirku.

Malam sudah larut dan kami tidak kunjung tidur. Kancing kemeja berceceran, pakaiannya teronggok di lantai. Aku merasakan napasnya di leherku, juga kecupan-kecupannya di sana. Malam ini malam yang panjang.

Dia tak membiarkanku lepas dari pelukannya. Sebelum tertidur, dia memanggil namaku tanpa henti.

***

To be continued.

***

Him ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang