15 - His Tears

2.3K 685 128
                                    

Biasanya aku tidak suka mengantre

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biasanya aku tidak suka mengantre. Namun, alangkah konyolnya saat kencan kesekian aku dan Yatara berharap antrean untuk minuman manis teh susu mutiara–boba, sederhananya–bisa lebih lama. 

"Saranku sih, kalau kamu pengin baca bukunya Agatha Christie yang unsur romansanya bagus, ada Pria Bersetelan Cokelat. Mereka Datang ke Baghdad juga lumayan. Tapi kalau mau yang pasangannya detektif, baca aja buku-buku yang tokohnya Tommy dan Tuppence."

"Kebanyakan judulnya, kasih satu dulu deh."

Yatara tertawa, kami maju selangkah pada antrean ini. Setelah dua anak SMA di depan, giliran kamilah untuk memesan. "Pria Bersetelan Cokelat kalau gitu."

"Pembunuhan domestik atau dalam keluarga gitu, ya? Kalau nggak salah aku pernah dengar Agatha Christie juga nulis modelan cerita mata-mata."

"Yang ini lebih ke adventure, sebenarnya."

Lalu, Yatara menjelaskan dengan kalimat panjang dan antusias meluap-luap. Aku menatap bibir dan matanya bergantian. Matanya menatap ke arahku dan kepada konter kedai minuman ini dengan ekspresif. Kebahagiaan terlukis pada netranya.

"Kemarin kan, kamu baru selesai pinjam yang Dan Cermin Pun Retak, nanti kupinjamin lagi yang kuceritain ini."

Koleksi buku Agatha Christie di rumah Yatara terbilang mengesankan. Dari delapan puluh judul, dia hampir punya semuanya dengan berbagai versi sampul. Mulai dari cetakan pertama sampai yang paling baru. Katanya dia masih mencari beberapa judul lagi biar koleksinya sempurna.

Selain soal uang, aku juga tak punya cukup banyak ruang untuk menampung buku sebanyak itu.

"Kamu lebih suka baca buku digital atau konvensional buku cetak?"

Aku belum sempat menjawab pertanyaan Yatara, karena sudah giliran kami buat memesan.

Kami berakhir menatap gedung perbelanjaan besar dari jembatan sky walk-nya yang terkenal dan potretnya sudah ramai di sosial media. Aku dan Yatara meminum sedikit minuman kami, sebelum ngobrol lagi.

"Kalau aku tergantung mood, aja." Yatara menjawab pertanyaannya sendiri. "Soalnya aku nggak selalu bisa bawa buku setiap saat."

Jawabanku adalah buku cetak, omong-omong. Sensasi buku di pangkuan dan baunya itu tidak tergantikan.

"Kayaknya kapan-kapan kita perlu nyoba nyari book cafe dan eksplor bacaan di sana." Yatara menyarankan. "Enak juga punya ... teman yang sama-sama hobi baca dan enak diajak ngomonginnya."

Cara Yatara mengucapkan kata teman saat itu agak janggal. Dia menggigit bibir, tangannya merapikan rambutku yang terbawa angin.

Mana ada teman yang seperhatian itu, Yatara.

"Memangnya nggak ada teman kamu yang begitu?"

"Ada. Tapi kamu kan, beda."

"Beda apanya?"

"Beda cara ngobrolnya, beda feeling-nya juga."

"Beda statusnya, you mean?"

"Iya." Yatara mengangguk malu-malu.

"Teman dekat?"

"Teman dekat kuadrat." Yatara mengusap bagian belakang lehernya. "Mau lebih nggak?"

"Apa? Teman dekat pangkat empat?"

Yatara tertawa. "Bukan."

"Kamu lagi ngajak aku pacaran?" tembakku langsung. Aku tak suka basa-basi dan mulutku kadang-kadang memang tak bisa dihentikan.

Lagi pula, aku cukup berani bilang hal-hal begitu sebab Yatara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya denganku. Dia sering bilang ingin membandingkan ukuran tangan kami, berakhir menggenggam milikku. Dia merangkulku dan bilang suka menghirup shampo yang kukenakan.

Yatara membulatkan mata, kali ini dia mengusap telinganya yang sudah memerah.

"Mau?" Yatara menunduk sesaat. "Aku sih, mau."

Kini giliran aku yang tertawa. "Kamu ngajak pacaran kayak ngajak makan siang."

"Perlu berlutut dan kasih cincin?"

"Nggak usah ngaco." Aku buru-buru memotong.

"Tapi." Ekspresi Yatara dengan cepat berubah muram.

"Kenapa? Ternyata kamu udah nikah dan punya dua anak?"

Yatara mengernyit, sebelum dia tenggelam dalam gelak tawa. "Bukan itu!"

"Then I have no idea why your face changet that fast."

Yatara menghela napas, tangannya bersandar pada pagar sky walk ini. "Kayaknya, aku bakal dijodohkan di masa depan."

"Kayaknya?" Tak bisa berbohong rasanya saat itu pun detak jantungku terasa berbeda. Ada sedikit nyari di dalam dadaku. 

"Papaku pernah menyinggung soal ini." Yatara menyesap minumannya agak lama. "Dia bilang suatu hari nanti, aku harus siap untuk perjodohan bisnis."

"Dan keputusan nggak ada di tangan kamu?"

Yatara menggeleng terpatah. "Itulah kenapa aku bilang aku mau saja kita punya hubungan lebih, tapi aku nggak bisa kasih kamu harapan untuk bisa sama-sama selamanya."

Bisa bersama-sama selamanya. Lucu, kedengarannya. Kalau tidak dijodohkan pun, aku merasa banyak hal yang membuatku tetap tidak akan diterima keluarganya.

"Meskipun aku ingin." Yatara menambahkan, hampir tak terdengar di tengah-tengah hiruk-pikuk kota.

Aku menggigiti sedotan minumanku. Ikutan bingung juga. Hubungan apa pun sebenarnya terasa seperti bom waktu buatku. Tahu suatu saat bakal berakhir. Bedanya, untuk saling mengucapkan selamat tinggal atau tidak.

"Mau coba?" tanyaku.

"Apa?"

"Aku asumsikan jangka waktu kamu untuk dijodohkan masih belum pasti dan ... lama." Ada binar yang kembali di netra Yatara. "Mau nyoba soal kita?"

Aku tidak tahu kapan jam pasti pulang kantor Yatara. Tidak pernah punya ukurannya. Namun, dia hampir selalu sudah pulang setelah pukul lima sore. Jadi ketika dia belum sampai juga di apartemen, aku mulai khawatir.

Jakarta itu lalu lintasnya kalau macet tidak manusiawi, aku mencoba berpikir positif. Kuhadapi ponselku yang terkunci di atas konter dapur, berharap ada pesan baru dari Yatara.

Pertemuan antar keluarga Yatara dan wanita itu masih tiga hari lagi. Perih menyertai ingatan itu.

Pintu apartemenku dibuka dan tampaklah Yatara, masih dengan setelan rapi kerjanya. Hanya saja, dasinya sudah longgar, kemejanya kusut. Dia menutup pintu, sementara aku menyaksikannya mendekat dengan selaput bening yang sudah melapisi matanya.

Dia berdiri di depanku. Tanganku bergerak mengusap pipinya. 

Detik selanjutnya, Yatara sudah memelukku dan dia mulai tersedu-sedu.

"I can't lose you." Dia berkata di tengah tangisnya.

Rahangku mengeras, menahan agar tangisku tidak pecah juga. Satu kesadaran berteriak di dalam kepalaku.

Kami sama-sama tahu hari seperti ini akan datang.

***

To be continued.

***

Him ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang