🐾LEMBAR 1🐾

6.8K 691 83
                                    

Azlan berjalan memasuki rumahnya yang sederhana tanpa minat. Akibat hantaman bola dari Azka, kepalanya yang sudah pusing, semakin pusing. Sekarang pun, ditambah pusing melihat kehadiran ayahnya yang datang dari lantai atas. Tersenyum hangat tidak seperti biasanya. "Akhirnya, kamu pulang juga. Ayah pengen cepet-cepet kamu dibeli sama orang kemarin."

Azlan yang tadinya berjalan pelan, diseret Dirga dengan kasar menuju kamarnya yang berada di lantai satu dengan cepat dan kasar. Sesampainya di ambang pintu, Azlan ganti didorong ayahnya yang tampak berwajah bahagia. "Ayah minta, kamu buruan mandi. Setelah itu, cari baju yang paling bagus. Orang kemarin sebentar lagi dateng!"

Azlan terdiam. Tidak juga melepaskan tas sekolah di punggung, ataupun beranjak pergi mengambil handuk untuk bersiap-siap mandi. Mengingat, dia punya kebiasaan buruk setelah mandi, yaitu melempar handuk ke sembarangan tempat.

"Ayah, Azlan nggak mau. Azlan disini aja. Azlan gak apa-apa kalau ayah kayak biasa, sibuk kerja. Asal Azlan bisa lihat wajah Ayah kalau Ayah pulang!" Azlan memeluk lengan Dirga dengan wajah menyedihkan. Memohon agar tidak dijual. Mau bagaimana pun, Azlan hanyalah seorang anak yang masih butuh kehadiran orang tua. Terutama Ayahnya yang masih ada.

Dirga menghela nafas lelah, dengan terpaksa, Dirga mengusap bahu anaknya agar kembali berdiri tegak. "Mau tidak mau, kamu harus mau, Azlan!"

Azlan menangis. Kepalanya menggeleng brutal, pertanda benar-benar sangat tidak mau. "Ayah, Azlan mohon. Azlan gak papa kok, kalau Ayah jadiin samsak kalau Ayah marah."

Dirga terdiam, ucapan anaknya seketika menusuk tepat hatinya. Mengingat anaknya yang masih kecil, dulu juga sering dipukulinya sampai sekarang.

Tapi, kepergian anaknya dengan orang lain itu lebih baik, dibanding bersamanya tidak terurus sama sekali. Terkadang juga menjadi korban pelampiasannya ketika marah ditengah perekonomiannya yang kritis.

Dirga pengangguran, tidak memiliki pekerjaan. Hidup miskin, tidak punya uang untuk membiayai sekolah Azlan. Makanan saja seadanya, nyaris tidak pernah makan-makanan enak. "Sudah Ayah bilang, kamu tetap akan ayah jual. Sekarang cepat masuk ke kamar mandi! Atau Ayah ingin cepat mati."

Degh

Azlan memandang Dirga. Tidak, dia tidak ingin Ayah-nya ingin mati lebih dulu.

Dirga berdecak, emosinya yang sudah mulai menguar marah dan tidak bisa ditahan, tangan mulai bertindak, mendorong kasar Azlan ke dalam kamar mandi. Melepas tas punggung Azlan dan mulai mengguyur Azlan dengan air dingin tanpa henti. Kejam. Biarlah, Dirga nyatanya memang bukan orang sabar.

Azlan yang sudah menangis semakin kencang. Azlan sesekali mencoba berontak, tapi Dirga lebih kuat dan cepat memberikan siraman-siraman air dingin pada kepalanya. Seragamnya yang basah, menambah suhu dingin yang dirasakan tubuhnya.

Prakk

Dirasa cukup, Dirga tersenyum penuh kemenangan. Membanting gayung yang digunakannya untuk memandikan paksa Azlan."Lanjutkan mandi mu, atau Ayah akan lebih kejam?"

Azlan mengangguk lemah dengan tubuhnya yang mulai bergetar kedinginan. Telapak tangannya terkepal kuat akibat terbayang-bayang oleh rasa takut yang lagi-lagi muncul kala Dirga marah.

"Hiks... Bunda! Ayah mau jual Azlan! Hikss, hikss Azlan nggak mau!" Azlan memandang sendu langit kamar mandi.

😭

"Silakan dipilih mbek nya, Tuan!" Dirga menggiring seseorang berpenampilan mewah yang sedang tergila-gila oleh kambing gemuk milik Dirga. Diikuti beberapa orang serba hitam yang juga mengenakan jas hitam.

Pria yang ingin membeli kambing Dirga mengangguk. "Hmm... Kambing-kambing mu sangat cantik. Boleh Aku beli semua?"

Dirga sontak tersenyum dan dengan cepat mengangguk. "Iya Tuan!"

"Oh, ya. Mana anak angkat mu yang katanya kamu sudah tidak kuat mengurusinya? Aku kesini sebenarnya bukan karena kambing. Tapi karena anak yang kamu bilang. Aku akan memberikan uangnya sekarang sesuai janji kemarin." Pria itu-Dario memberi isyarat kepada bawaannya yang membawa koper hitam yang berisi uang untuk memperlihatkan uang yang akan dibayarnya pada Dirga.

Dirga yang melihat begitu banyak uang, seketika menggaruk kepala belakangnya. Haha... Dia akan kaya. Tapi tunggu, kenapa kambingnya juga ingin di beli. "Mohon maaf sebelumnya, Tuan, Boleh saya bertanya, kenapa Tuan membeli kambing-kambing dan anak saya?"

Dario yang tersinggung, seketika melirik sinis Dirga yang terlalu kepo. "Tentunya untuk dipotong, ditusuk, dibakar, menjadi sate."

"Istri saya kepengen sate kesukaannya. Jadi, saya ingin membahagiakannya dengan membeli kambing-kambing bapak dan juga anak bapak." Dario memandang Dirga dalam. Seakan menyindir Dirga dalam diam yang memperlakukan anak kandungnya yang kurang kejam.

Glek

Dirga meneguk ludahnya susah payah. Bagaimana ini? Dia kira dengan cara berbohong dan menjual anaknya, mampu membuat anaknya hidup lebih baik dengan dijadikan anak angkat atau pembantu Dario. Bukan dijadikan campuran sate kambing dengan manusia. "Maaf sekali lagi, istri Tuan kanibal?"

Dario seketika tertawa yang bagi Dirga tawa itu tawa yang mengerikan. Membayangkan bagaimana istrinya yang begitu menyebalkan, doyan makan setiap jenis daging, dan pemarah. Kecuali sesuatu yang membuat istrinya merasa gemas, meleleh, pada sesuatu yang baru dan akan menjadi miliknya.

Dirga yang sudah membayangkan hal-hal yang tidak-tidak, seketika menggeleng panik. Ayolah, walaupun dirinya kejam, dia sayang anaknya yang satu-satunya Azlan itu. "A-Anu Tuan, Tuan beli kambing saya saja. Anak angkat saya biar say-"

"Tidak bisa!" Tegas Dario dengan ngegas. "Kau sudah menandatangani kontrak Dirga!"

"AYAHHH!! AYAHHH AZLAN UDAH MANDI!! AYAH DIMANA?" Sayup-sayup terdengar suara Azlan dari dalam rumah. Membuat Dario seketika senang dan merampas koper yang dibawa bawahannya untuk Dirga. "Makan uangnya sana! Saya mau ambil calon anak saya!"

Dirga melongo melihat Dario yang sudah lari bersama orang suruhannya untuk mengambil dan menangkap calon putranya. "Cepat tangkap calon anak saya dan jangan buat Dirga menghalangi saya!"

😙

Capricorn Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang