🐞LEMBAR 4🐞

4.1K 436 15
                                    

Helaan nafas mengudara dari mulut Azlan. Kedua telapak tangannya menangkup pipi tembamnya. Sedangkan netranya tak lepas memandangi kedua bocah kembar yang tak lain sahabatnya sendiri yang tengah bermain bola basket seperti biasa.

Persaingan tampak menegangkan di setiap detiknya. Azka yang hendak meleparkan bola ke arah ring, tiba-tiba memantulkan bolanya sembarang arah. Berlari dengan nafas tersengal menghampiri Azlan yang tampak cacingan di pinggir lapangan.

"Katanya, lu mau di jual, Bos? Kok masih santuy sekolahnya?" Ledek Azka sembari memukul pelan lengan Azlan.

Azlan yang paling malas membahas topik sensitif ini, memutar bola matanya. "Mending lu balik lompat kayang sama kembaran lo!"

Aska yang sudah bermuka masam karena main ditinggal, memukul kepala kembarannya. "Sialan, lo! Giliran Gue mau masukin bola, malah main ninggalin!"

Azka mendongak. Menampakkan cengirannya yang begitu menyebalkan. Jujur saja, sih, dia memang sengaja. Selain sengaja, fisiknya juga sudah sangat letoy. Perlu istirahat sama goler-goleran kaya ikan teri di pinggir lapangan.

Jika ditanya nanti seragamnya kotor bagaimana? Dia tidak peduli. Yang nyuci toh, bukan dirinya. Tapi mamanya yang tercinta.

Aska yang berdiri, ikut mendudukkan diri di sisi kanan Azlan. Meluruskan kaki karena habis olahraga. Tak lupa, kepalanya yang basah oleh keringat, disenderkan di lengan Azlan.

"Apa, sih lo! Bau penguk nempel nempel!" Azlan mendorong kasar kepala Aska. Membuat Aska berdecak sembari memegang kepala. Cukup pusing karena sebuah hal tak terduga yang dilakukan Azlan.

Azka yang sedari tadi memperhatikan wajah murung menggemoykan milik Azlan, tiba-tiba mengeluarkan suara. "Ahh, Gue tahu kenapa Azlan kek gini? Pasti, Si Bangsat lagi sakit. Makanya Azlan sedih."

Azlan ganti melirik Azka. Ingin rasanya menoyor kepala miring Azka, agar lebih miring. Mungkin dengan begitu, pemikiran Azka lebih terbenahi. "Sotoy! Lagian Si Bangsat itu siapa?"

Azka yang ditanya, sontak menaik turunkan alisnya. Mengetuk dagu sebanyak tiga kali. Kalau dia jujur, Azlan marah tidak, ya?

Ah, sudahlah. Bodoamat Azlan marah. Nanti, kalaupun marah dia kena pukul, tinggal menghindarlah. Kalau telat menghindar, pukul balik aja kalau jiwa pemberaninya keluar. "Yaa, siapa lagi kalau Bokap Dirga Ardirgantara lo?"

Aska meringis. Benar-benar kurang ajar ini satu kembarannya. Seenak jidat saja memaki ayah seseorang. Apalagi, orang yang punya ayah di hadapannya.

Azlan mengepalkan tangan. Walaupun kenyataanya Ayah Dirga memang bangsat. Tapi tidak perlu diperjelas begitu juga, Azka bodoh! Bodoh, sialan!!

Azlan menajamkan tatapannya ke arah Azka. Azka yang tampak berbangga diri seolah merasa tebakannya itu benar, tak sadar ada bahaya yang mengintainya.

Aska yang sebagai kakak yang baik, beranjak menjauh dari Azlan. Lebih mendekat ke Azka. Mendekatkan bibirnya pada telinga Azka. "Lo gila? Lo nyebut bangsat buat bokap dia? Gue gak mau tahu, kalau lo nanti jalan pincang dan babak belur luar dalem, Gue gak mauh nolong!"

Azlan menyingkirkan tas punggungnya yang sengaja dia letakkan untuk bantalan ketika berbaring tadi. Setelahnya, Azlan menarik kerah baju Azka yang sudah bermuka pucat pasi. Mengeluarkan rengekan agar Aska membantunya. Atau Azlan memaafkannya.

"Azlan, please! Gue minta maaf. Mulut gue beneran gak sengaja! Tapi, mulut gue tetep gak salah kan? Bokap lo-"

Bughh

Nyonyor sudah bibir Azka. Ada aliran darah yang membentuk di sudut bibirnya akibat pukulan maut Azlan. "Mau dipukul lagi, hm?"

Azlan memberi hah pada kepalan tangannya. Agar pukulan yang nantinya dia layangkan, semakin mantep.

Azka menggeleng. Dengan perasaan penuh rasa takut, kedua tangannya melepaskan tangan Azlan yang mencengkram kerah bajunya. Setelah terlepas, bak kera lepas dari dalam kandang, Azka berlari tunggang langgang. Sedangkan Aska sudah menghilang pulang ke rumah lebih dulu.

Grep

Sebuah tarikan pada pergelangan tangan Azlan, membuat Azlan seketika berbalik. Menghadap sesosok yang lebih tinggi darinya. Tersenyum ramah hanya untuknya. "Ayo, pulang, Baby!"

Suara yang begitu menggelikan keluar dari bibir Dario. Teman, sahabat, sekaligus musuh bagi ayahnya. Bagaimana Azlan bisa tahu? Nanti Azlan ceritakan.

🌰

Seorang pemuda berambut lebat, mengendap-endap di sepanjang koridor rumah sakit. Tujuan utamanya sekarang, mencari ruang rawat inap yang menjadi kamar kedua bagi ayahnya setelah kecelakaan itu.

Sayup-sayup, telinganya mendengar sebuah perbincangan dari dalam salah satu ruang rawat inap. Ada suara ayahnya yang beradu argumen dengan seseorang.

"Lo bukan bokapnya. Jadi, Lo gak berhak nyentuh anak Gue!" Itu suara Dirga.

"Gak! Gak bisa! Gue udah bayar mahal. Kata lo, lo udah gak kuat ngurusin dia. Jadi gue yang sebagai calon ayah yang baik, yang juga udah bayar uang muka, lebih berhak bawa Azlan, ngerawat Azlan, dan lain-lain, mulai sekarang!" Azlan yang mendengar, sontak membekap mulutnya. Apa-apaan ini? Sudah dijual seperti kambing, diperebutkan pula.

"Gue belum nerima uang Lo, sialan! Jadi lo gak bisa nyentuh dia, seujung kuku pun!"

Suara decakan terdengar menyebalkan itu masuk kedalam pendengaran Azlan.

"Tapi, kan, uangnya masih di rumah lo, setelah lo nendang gue pakek koper! Bahkan posisinya masih ditempat. Jadi, itu sama aja lo udah nerima!"

"Gak!! Gue aja gak pegang. Namanya, lo curang!"

"Heh? Curang? Hellow? Yang curang lo itu kali. Udah tanda tangan kontrak, udah nerima uang, masih aja ngehalangin. Pokoknya baby Azlan buat gue! Dan satu lagi, karna gue musuh lo, gue bakal ngehalangin lo kalau Lo malah ngelanggar kesempakatan, baik itu dalam bentuk ngehalangi gue ambil Azlan!

Capricorn Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang