🦋LEMBAR 3🦋

4.5K 542 16
                                    

Tiga jam sudah berlalu. Dirga yang bersembunyi di rumah pohon milik entah siapa, menghela nafas lega. Dario bersama antek-anteknya yang lelet, akhirnya tidak menemukannya.

Cup

Kecupan hangat untuk yang kesekian kalinya, Dirga layangkan pada pipi anak semata wayangnya. Dia sangat sayang pada Azlan. Dia tahu, bahwa dia sangat jahat dan tidak berhak lagi seperti ini pada Azlan. "Ayah sayang kamu, Azlan. Walaupun, sebenarnya Ayah tidak ingin kamu melihat hari-hari terakhir Ayah sampai kamu sedih jika Ayah benar-benar menghilang seperti Bunda."

Dirga memeluk erat Azlan. Azlan yang sebentar lagi bangun, menduselkan kepalanya di dada bidang Ayah-nya. Ayah tercintanya. Walaupun cara mendidiknya terkesan mengerikan selama ini.

Dirga tersenyum. Telapak tangannya yang pucat, membelai rambut Azlan. Untuk hari ini dia ingin tidur bersama Azlan. Tapi sayang, pusing dan rasa sakit di tubuhnya akibat penyakitnya, makin lama-makin menjadi.

Merasakan sesuatu yang kental berbau amis mengalir di hidung bangirnya, Dirga dengan terburu-buru mengambil sapu tangannya. Membersihkan dan mencoba menyeka darah yang tak berhenti mengalir.

Merasa terganggu, kening Azlan mengkerut. Kepalanya yang sangat dekat dengan dada bidang Sang Ayah, perlahan mundur. Binar mata penuh sirat kesedihan tersembunyi, mengerjap beberapa kali. Membiasakan cahaya dari jendela kecil di rumah pohon, masuk ke dalam retinanya.

"Ayah..." Suara lirih itu membuat Dirga seketika berhenti mengusapi hidungnya menggunakan sapu tangan. Ekor matanya yang tajam, yang tak serupa dengan anaknya, melirik ke arah Azlan. Azlan sudah membuka mata dan melihatnya yang sudah tertangkap basah.

Azlan sontak bangkit. Duduk dan mendekatkan wajahnya pada Dirga. Tangan-tangan mungilnya mencoba menyingkirkan jari-jari yang meremas sapu tangan putih. Sapu tangan dengan ukiran nama pemiliknya. Pemberian Bunda kata Ayahnya dulu.

Bercak merah yang begitu banyak, membuat jantung Azlan berpacu lebih cepat. "Ayah? Ayah mimisan? Kenapa?"

Dirga yang berbaring di atas lantai rumah pohon, juga ikut bangun. Kepalanya yang pusing, semakin pusing karena cara bangunnya yang tiba-tiba. "Berikan sapu tangan Ayah Azlan!"

Azlan menggeleng. Air matanya meleleh karena rasa khawatir pada ayahnya itu. "Gak! Gak mau! Ayah jawab dulu, Ayah kenapa? Azlan sering lihat Ayah mimisan dan sering kesakitan. Ayah ini sebenarnya kenapa?!"

"Ayah sakit, ya? Azlan nggak suka. Azlan sukanya Ayah sehat. Jadi, Azlan mohon jangan sembunyiin ini. Azlan mau rawat Ayah biar Ayah sehat lagi!" Azlan menerjang tubuh ayahnya untuk dipeluk. Sedangkan Dirga, membeku di tempat.

"Ayah, Azlan sayang Ayah. Azlan di dunia ini cuma punya Ayah. Azlan mohon jujur sama Azlan, Ayah sakit apa?" Dirga masih syok berat. Tapi tangannya reflek mengusap punggung yang bergetar yang lebih kecil dari punggungnya.

Tapi tak lama kemudian, tangannya mengepal. Tidak boleh. Azlan tidak boleh tahu. Apapun itu alasannya. Dirga tidak suka Azlan yang seperti ini. Sedih dan menangis. "Lepas!"

Bulu kuduk Azlan seketika berdiri. Mendengar suara berat nan tajam dari ayahnya, membuatnya takut.

"Berikan sapu tangan Ayah, Azlan!" Azlan menggeleng brutal. Menyembunyikan sapu tangan ayahnya di balik sweater hangat di atas perutnya yang dari luar terlihat membuncit karena sapu tangan. "Gakk! Azlan Gak mau!!"

Plakk

"Ayah tidak suka anak Ayah melawan Ayah, apalagi meneriaki Ayah seperti itu!" Dirga membuka sweater yang menutupi sapu tangannya. Kemudian, beranjak pergi meninggalkan Azlan yang merintih kesakitan karena daya tampar Dirga lumayan besar. "Sadari kesalahan mu, Azlanandra Putra Dirgantara! Karena kamu membuat Ayah marah, jangan harap Ayah membukakan pintu untukmu pulang hari ini. Kalaupun mau, jangan pernah pulang ke rumah. Ayah bukanlah Ayah mu lagi!"

Bodoh! Itulah definisi yang tepat bagi Dirga. Mengusir anaknya tanpa sadar karena luapan emosi yang tidak bisa ditahannya.

🌰

L

angit sore berganti gelap. Dirga yang sudah empat jam merenungi kesalahannya di depan danau yang tidak jauh dari rumahnya, akhirnya beranjak pulang. Sekujur tubuhnya yang benar-benar sakit yang dideritanya, sudah lama dia abaikan. Begitu pula obat-obatan yang harusnya diminumnya setiap hari, dia biarkan tenggelam dalam tumpukan sampah di tempat sampah.

Karena suasana jalan yang sepi dan gelap, Dirga yang tidak memperhatikan jalan tak sadar kalau di hadapannya ada mobil yang melaju kencang. Sebab, selain gelap karena malam, matanya sudah memburam.

Tinnn

Tinn

"Dirga awas!!!"

Srakkkkk

Brakkkkkk

Tubuh Dirga terpental beberapa meter ke arah pinggiran jalan. Azlan yang diam-diam mengikuti ayahnya, menjerit ketakutan. Kemudian berlari mendekati tubuh Ayah-nya yang bersimbah darah. "AYAH!!! AYAHH BANGUNN! AYAHH DENGERIN AZLAN, AYAH BANGUN!! AYAH JANGAN TINGGALIN AZLAN!!"

Dario yang sedari empat jam berjalan bersama bawahannya untuk mencari kemana larinya Dirga, mematung di tempat. Kakinya sangat lemas seperti jelly. Ya, dia tadi yang berteriak dan ingin berlari menolong Dirga, tapi nasibnya, para bawahannya reflek menahannya untuk diam di tempat.

Dario perlahan menghampiri Dirga dan anaknya. "Kita harus bawa Ayahmu ke rumah sakit, Azlan!"

Azlan yang sudah tak tahan mempertahankan kesadarannya karena syok berat, limbung ke belakang. Dario yang sudah waspada, menangkap tubuh Dirga.

"Hiks, hikss... Ayah!!" Dario mengangguk. "Iya, tunggu sebentar, sebentar lagi mobil Om dateng! Kita bawa ayahmu ke rumah sakit."

Tak terdengar jawaban dari bibir mungil Azlan. Dario yang melihat mobilnya yang dibawa orang suruhanya, dengan cepat, mengangkat tubuh Azlan. Sementara tubuh sahabatnya, diangkat bawahannya yang lain.

🚨

"Leukimia stadium dua?" Dirga menggeleng tidak percaya. Sedangkan dokter yang memeriksanya dan memberi diagnosa, mengangguk.

Dirga tetap menggeleng. "Cek ulang, Dok! Saya nggak percaya!"

Helaan nafas terdengar dari dokter yang duduk di hadapan Dirga. "Sudah saya lakukan berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama."

Sabar ya, Mamas Azlan

Capricorn Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang