4. Imanuel Ranggasta Adisatya

34 4 0
                                    

Rangga memasukkan bukunya ke tas. Dosennya sudah selesai memberikan kelas. Ini juga kelas terakhir yang ia hadiri untuk hari ini. Waktunya rangga untuk pulang

"rang, ikut ngerayain ulangtahun naira ga?" rangga menoleh, seorang wanita berumuran yang sama dengannya berdiri didekatnya. Rangga lalu menggeleng. kembali sibuk dengan barang barangnya.

"naira ulangtahun masa lo gaikut sih? gaasik. ayolah rang ikut," bujuk si perempuan yang berdiri di depan rangga

"ga."

Rangga tau seluruh penghuni ruangan langsung menatapnya. Rangga juga tau Naira sang idola angkatannya mengundangnya secara khusus ke ulangtahunnya. Rangga hanya pura pura tidak tau semua itu. Lebih tepatnya tidak peduli.

"Rang, lo beneran gamau ke tempat naira?" Kali ini seorang laki laki yang menanyakan itu padanya.

"Ga. Lo aja," jawab rangga singkat.

Persetan dengan pesta ulang tahun. Mood nya sedang tidak baik baik saja saat ini. Dan menyendiri lebih bagus agar tak membuat masalah.

Langkah Rangga terhenti di pintu ruangan ketika wanita dihadapannya tadi menahannya.

"Lo beneran ga ikut? Gue udah janji sama raina biar lo dateng," katanya dengan wajah memelas.

"Gue yang gamau ikut kok lo yang repot? Awas gausah halangin jalan gue."

Wanita itu menyingkir dari hadapan Rangga. Rangga melanjutkan langkahnya.

Sampai digerbang, ekor mata rangga mendapati seorang gadis berkaus hitam dengan celana jeans. Rangga berjalan melewati orang itu, seakan akan rangga tak melihat kehadirannya.

Naresh menyadari rangga yang lewat. Dia dengan cepat mengikuti langkah rangga.

"Hai ta," sapanya. Rangga hanya diam.

Naresh dengan cepat menyadari keadaan mood rangga yang sedang buruk. Dia berpikir apa yang akan dilakukan nya.

"Ta, lagi bm ya?" Rangga masih diam.

Sebuah ide terlintas di otak Naresh.

"Ta, mau liat sunset ga?" Tanya Naresh dengan hati hati, memperhatikan reaksi yang diberi rangga.

"Gamau. Gue mau pulang."

Naresh sudah tau jawaban yang diberi rangga. Pasti lelaki itu menolak.

"Ayolah. Gue dapet tempat bagus buat liat matahari terbenam."

"Emang lo mau badmood terus? Menyendiri di kamar," lanjut perempuan berambut pendek itu.

"Gue gamau. Gausah maksa," gerutu Rangga.

"Iya iya oke. Gue ngerti." Naresh memilih menyerah. Kalau dipaksakan, bisa makin buruk mood pria itu.

"Ta, kalo ada masalah tuh cerita. Ntah udah berapa kali gue bilang, kita kan bisa berjuang bareng bareng," ungkap Naresh.

"Gaperlu. Gue bisa sendiri. Kalimat lo bikin gue makin badmood tau ga?" Kelakar rangga.

"Lo doang ta, yang diajak berjuang bareng malah marah," cibir Naresh. Dia menghela nafas.

"Pengen heran, tapi dia rangga. Sabar na sabar."

"Berisik." Langkah rangga berhenti. Mereka sudah sampai di gang rumah naresh. Cukup dekat dari kampus rangga.

Rangga mengeluarkan handphonenya, memesan ojek online disana.

"Berisik gini, gue temen lo ta."

"Yaudah un-friend aja," jawab rangga singkat.

"Weh jangan dong. Enak aja," protes naresh. Dia panik seketika. Rangga selalu mudah mengatakan itu.

"Mending gue pulang deh. Lo makin ngadi ngadi ntar. Dah asta." Naresh melambai. Rangga melihatnya sekilas, lalu kembali menatap benda pipih dalam genggaman nya. Tak berniat sedikitpun untuk merespon balik.

***
"Ta?" Jendral membuka pintu kamarnya. Inilah yang dia tidak suka jika berbagi kamar. Dia tak leluasa mengunci pintu dan menyendiri di kamar.

"Apa?" Mata rangga fokus menatap layar hpnya. Melihat lihat foto wanita seksi disana, siapa tau bisa mengembalikan moodnya.

Mesum

"Ini gua bawa thai tea." Rangga melihat jendral yang menenteng beberapa minuman ditangannya.

Rangga ingin menjawab, tapi dia terlalu malas.

Jendral yang sudah mengenal rangga, berinisiatif meletakkan minuman dingin itu ke nakas disebelah kasur rangga. Lalu melirik hal yang dilihat temannya itu di ponselnya.

"Ta, ntah kapan lu tobat liat begituan. Istigfar nak," tutur jendral sambil mengelus dadanya.

"Berisik. Keluar sana," usir rangga. Terganggu dengan atensi seseorang di sampingnya.

"Bilang makasih dong sat. Udah gua beliin thai tea juga," sungut jendral.

"Hm. Makasih," ucap rangga tanpa melihat ke jendral

"Ga ikhlas banget makasihnya," cibir jendral. Dia keluar kamar. Mengikuti perintah sang pemilik.

"Oh iya." rangga melihat kepala jendral menyembul di sela pintu.

"Gue kasian liat istri lu nanti. Pasti ntar lu mainnya kasar." Jendral tertawa keras.

"Bangsat." Rangga melempar bantal kearah jendral, tapi dia dengan cepat menghindar dan menutup pintu.



Selalu begitu.

Rangga yang menutup rapat isi hatinya. Mementingkan egonya yang tinggi. Tak membiarkan seorangpun tau apa yang dia rasakan. Padahal banyak yang bersedia menjadi tempat keluh kesahnya dan berjuang bersamanya. Tapi jawaban nya hanya "gaperlu. Gue bisa sendiri." Atau "berhenti ngomong itu atau kita gausah temenan lagi?"

Lalu badmood yang selalu mudah datang, tapi sulit untuk diusir dari hatinya. Bukannya tak bisa, dia hanya enggan repot repot mencoba. Toh, dia akan kecewa lagi.

Serumit itu seorang rangga. Menyendiri, menolak uluran tangan orang, dan mementingkan ego. Sudah biasa baginya, dijauhi orang karna muak dengan sifatnya yang egois itu.






What If Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang