[Re-Write]
Bagi Lee Jieun, kisahnya bersama Jeon Jungkook sudah lama berakhir. Seperti lelehan salju yang sudah mencair. Namun, tidak dengan memori dan perasaannya, yang masih keras dan dingin seperti bongkahan es. Setiap salju turun, semua perasaan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sebenarnya, takdir apa yang mengikat kita semua?
-LeeJieun-
***
Lee Jieun menguap besar, kemudian meregangkan tangannya ke atas sampai terdengar bunyi retakan, setelahnya mendesah berat. Hampir seharian dia duduk di depan komputer, mengedit naskah-naskah klien-nya sebelum akhirnya dipublis.
Jieun beranjak dari kursinya, menuju ke arah pantry di sudut ruangan yang berisi empat kubikel di bagian tengah-tengahnya itu. Mengambil sebungkus kopi instan, lalu menyeduhnya dengan air. Ya setidaknya kafein dalam kopi ini mampu mencegahnya dari mengantuk berkepanjangan selama bekerja.
Bekerja sebagai editor memang tidak mudah meski kelihatannya hanya duduk di depan komputer, menari-narikan jari di atas keyboard, dan sesekali konsultasi dengan penulis tentang bagian naskah yang harus direvisi atau sekedar merundingkan adegan apa yang akan dipublikasikan minggu depan. Selain harus merelakan punggung dan segenap sendi-sendinya pegal-pegal akibat terlalu banyak duduk, Jieun juga harus berjuang melawan rasa kantuk. Namun, Jieun tidak pernah berpikir untuk keluar sekali pun dari pekerjaan yang sudah digelutinya selama dua tahun ini. Setidaknya meskipun lelah luar biasa, Jieun menikmati pekerjaannya sebagai pembaca pertama.
"Kudengar Jjangjjang Jangmi melakukan pemogokan setoran."
Lee Jieun menoleh ke arah kubikel, mendapati Ji Dohyun juga meregangkan tubuh sembari membenarkan letak kacamata bacanya.
"Yah, kudengar begitu. Kasihan sekali Jieuniku mendapatkan klien rewel seperti itu." Yuchi dari kubikel seberang menyahut sambil mendesah prihatin.
"Ey, ayolah. Kalian tidak berhak menghakimi klien orang lain sedangkan orang yang menanganinya saja tetap diam. Benar tidak, Ji?"
Jieun mengangkat alis ketika Jung Hoseok menatapnya, kemudian memasang cengiran. Jieun berjalan kembali ke kubikelnya sambil sesekali menyesap kopi hangat di tangan.
"Ya ... begitulah. Kurasa Jjangjjang Jangmi hanya butuh diberi waktu. Lagian aku mengerti dia masih labil mengingat umurnya masih tujuh belas tahun." Jieun tersenyum, meletakkan kopinya di samping komputer dan kembali bekerja. "Bagaimana dengan Starsweet?" tanya nya seolah tidak ingin obrolan berakhir.
Dohyun menghela napas berat ketika mendengar pertanyaan itu. "Dia tetap tidak ingin melanjutkan kontrak dan terpaksa Bittersweet Love harus dihentikan publikasinya."
Jieun mengulum bibirnya, kemudian mengangguk-ngangguk kecil. Di titik ini Jieun tahu dia sudah salah memulai obrolan. Jadi, karena tidak ingin semakin memperkeruh suasana yang sudah coklat, Jieun kembali pura-pura fokus bekerja.
Salah satu resiko menjadi editor adalah penulis yang tiba-tiba tidak ingin melanjutkan kontrak, atau tiba-tiba menghilang padahal sudah deadline. Sebagai seseorang yang bekerja di bidang yang sama, Jieun mengerti perasaan Dohyun sekarang.