Strange Feels

123 6 0
                                    

"I got this feelings to you. And I can help my self, no more"
-Maroon Five, Feelings-

"Orioooon!!! Aku masih mau hiduuup!!!", teriakan lantang seorang gadis mengawali pagi di musim penghujan, begitu melengking, tak bernada, dan memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya.

"Tuan puteri, hamba mohon maaf, tapi sepertinya Anda yang memaksaku melakukan ini," jawab suara berat yang semakin memutar stang motornya--Orion, sahabat sekaligus partner bergulatnya.

"KYAAAA!!!", seolah tak mendengar lengkingan tujuh oktaf dari gadis yang duduk di belakang sepeda motornya, Orion terus melajukan motor kesayangannya dengan kecepatan penuh.

***

"Udah sanah masuk kelas. Aku tunggu di parkiran kayak  biasa, ya!", belum sempat membalas pernyataan yang lebih menyerupai perintah itu, Orion kembali menyela, "Eits! Dilarang protes. Siapa suruh bangun siang? Anggap aja yang tadi itu olahraga jantung. See you, Putriku," sergahnya sambil menyengir lebar. Yang disergah masih mengatur nafasnya, akibat ulah Orion yang ugal-ugalan, rok abu-abunya sedikit tersingkap. Baru saja ia akan marah, tapi diurungkannya karena moodnya di pagi ini terlampau baik, tentu saja karena ulah si pengirim pesan dini hari yang tak lain adalah Rangga, lelaki yang sangat digilainya.

***

Orion memandang jam tangan sporty hitamnya dengan resah. Gadis cerewet yang sudah lima belas menit ditunggunya bahkan belum menampakkan batang hidungnya sama sekali, padahal ia harus les tiga puluh menit lagi. Sebenarnya ia bisa saja meninggalkan gadis menyebalkan itu sendirian, namun hal itu tidak pernah dilakukannya, terpikirkan pun tidak. Rasa tanggung jawab dan sayanglah yang membuatnya tetap bertahan, walaupun mereka dalam dua perbedaan kepribadian. Dilihatnya jam tangannya sekali lagi, saat sebuah tepukan halus di pundaknya membuatnya menoleh. Akhirnya gadis yang ditunggu-tunggunya itu datang juga.

"Putri lama banget, sih!", protes Orion tersampaikan di detik pertama ia melihat wajah muram sahabatnya.

"Maaf. Tadi ada kesalahan teknis dikit," jawab Putri sekenanya.

"Kesalahan teknis apa?", tanya Orion tak sabaran.

"Aku dapat nilai empat di matematika, Orion Putra! Puas?! Ayo ah jalan, hari ini kamu les, kan? Kalau telat, aku yang dimarahin ayah kamu, tau!", jawab Putri ketus. Ia kesal bukan main pada sahabat satu-satunya itu, karena sedetik setelah ia menjelaskan alasannya, bukannya pembelaan, malah ceramah panjang lebar yang ia dapatkan. Orion menjanjikan sebuah pertemuan di mana di dalamnya hanya akan ada ia dan rumus-rumus bertebaran.

"ORIOOOOOONNN!!!" Lagi-lagi Putri menjerit saat Orion memacu motornya dengan kecepatan jauh di atas kata pelan. Sebenarnya, ia ingin mengajak Orion pergi jalan-jalan, karena ia tahu betul bahwa walaupun Orion hampir menandingi sifat galak ibunya, tapi ia mampu meleburkan kekesalan yang tengah Putri rasakan, Orion adalah laki-laki yang menyenangkan, sahabat yang bisa menjadi apapun di saat Putri inginkan.

Dan di sinilah mereka berada, di bawah atap jerami sebuah gazebo di halaman belakang rumah Orion. Seperti yang dijanjikan Orion di parkiran sekolah, bahwa akan ada pertemuan yang di dalamnya hanya ada pelbagai rumus yang bertebaran. Putri sama sekali tak habis pikir dengan Orion, otak makhluk ini sama sekali tidak mengenal kata lelah. Terang saja, sepulang les ia langsung menyambar Putri untuk menunaikan janjinya.

"Oriooon, ayolah, aku lapar," terhitung sudah sebelas kali Putri mengeluhkan hal yang sama.

"Kalau kamu lapar, kamu makan. Kalau kamu makan, kamu nambah. Kalau kamu nambah, kamu kenyang. Kalau kamu kenyang, kamu ngantuk. Kalau kamu ngantuk, kamu tidur. Kalau kamu tidur, kamu nggak belajar. Kalau kamu nggak belajar. Kamu nggak bisa pintar." Cerocos Orion panjang lebar, berharap bisa menghentikan keluhan sahabatnya.

Putri hanya berdecak kesal. Ia tahu bahwa sahabatnya itu tak mudah digoyahkan ketika sedang bercinta dengan rumus-rumus yang digelutinya. Yang bisa Putri lakukan hanyalah memperhatikan Orion yang sedang mengulang materi tentang Integral. Putri terkikik geli ketika muncul sebuah rencana untuk menghadiahkan sebuah buku Calculus untuk sahabatnya, yang disambut dengan tatapan membunuh dari Orion. Ketika sedang belajar, Orion sangat mirip dengan kucing betina yang sedang menyusui anaknya, sensitif dan penuh waspada.

Bukan Putri Karn namanya jika tidak bisa meluluhkan seorang Orion Putra. Tatapan lelah dari Putri menggugurkan pertahanan yang telah susah payah dibangunnya. Akhirnya Orion menyerah, ia mengajak Putri makan malam di rumahnya, sekaligus mengantarkan Putri pulang. Ketika telah sampai di pagar sebuah rumah mungil di depan gang, Putri meloncat turun dari motor Orion, mengucapkan terimakasih, dan bergegas membalikkan badan untuk masuk ke rumahnya.

"Orion...", suara Putri menghentikan Orion yang sedang memarkirkan motornya.

"Ya?"

"Itu...", tangan kanan Putri terulur untuk menggapai wajah Orion yang belum tertutup helm. Orion bergeming. Darahnya berdesir aneh saat jemari Putri mengusap lembut ujung bibirnya, ia dihinggapi perasaan aneh yang bahkan tidak akan bisa didefinisikan dengan rumus sains apapun yang ada di dunia. Tik. Diam. Tik. Masih bergeming. Tik.

"Hey! Kok malah ngelamun?! Iniii ada nasi nyangkut. Orion pinter-pinter jorok, ih!" Putri tertawa puas mengatai sahabatnya. Ia agak panik ketika Orion diam selama beberapa detik, ia pikir Orion kerasukan, tapi syukurlah ternyata hipotesanya berlebihan.

"Eh? Hng? Eh, apaan sih, Put. Jangan sok deh, belajar yang bener. See ya!" Dengan gugup, Orion memakai helmnya dan kembali melanjutkan kegiatan  memarkir motornya yang sempat tertunda oleh aksi Putri yang membuat dirinya disentuh oleh perasaan aneh.

Satu hal yang ia tahu, bahwa Putri tak merasakannya.

Between Brush and StethoscopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang