Hujan di Ambang Perpisahan

73 8 2
                                    

Hujan sore ini begitu menggoda Putri, tetesannya yang lembut sangat sayang untuk tidak dinikmati. Ia mendelik kesal ke arah Orion. Kalau saja tidak ada Orion, mungkin saat ini ia tidak sedang berada di bawah atap halte, mungkin ia telah menyatu dengan hujan.

"Ada apa?", tanya Orion geli. Ia tahu Putri pasti sudah menyumpah nyerapahinya dalam hati.

"Nggak." Jawab Putri ketus. Ia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri, yang selalu kalah jika sudah berhadapan dengan Orion. Padahal ia telah mati-matian membujuk Orion untuk menerobos hujan, tapi Orion bersikukuh dengan pendiriannya. Tidak dan tetap tidak. Dengan alasan lusa mereka akan Ujian Nasional. Dan alasan itu juga yang membawa mereka menghabiskan hari ini dengan berkeliling sebagian kota. Orion bilang bahwa rekreasi bisa mengoptimalkan kinerja otak. Dan sebenarnya, apapun alasan Orion, Putri tetap bilang 'yes'. Untuk bersenang-senang, dan menghabiskan seharian penuh waktunya bersama Orion. Karena itu membuat Putri bahagia, apapun alasannya, asal Orion ada.

Orion terkekeh melihat wajah Putri yang ditekuk berlipat-lipat. Sebenarnya ia juga tidak tega untuk tidak menuruti permintaan sahabatnya itu, tapi ia juga tidak ingin ambil resiko, ia takut Putri akan sakit pada hari Ujian Nasional tiba.

"Oh ayolah Tuan Putri, bukannya seharian ini kita sudah bersenang-senang ya? Main ke Dufan, naik KRL, poto di trotoar, dan oh apa kamu lupa aku hampir mati ditabrak mobil. Dan sekarang kamu marah gara-gara kita nggak hujan-hujanan? Kamu bahkan belum berterima kasih pada sahabatmu yang ganteng ini, Tuan Putri."

"Terimakasih. Dasar pamrih!", Putri berusaha membuat ketus nada suaranya. Membayangkan betapa bodohnya si-jenius Orion yang mau saja menuruti permintaan Putri untuk memotretnya di troroar, membuatnya geli sendiri. Putri hanya bisa mengulum senyum untuk mencegah tawanya yang hampir meledak. Fantastis. Bagaimana bisa seorang Orion menjadi dungu dan jenius dalam waktu yang bersamaan jika bersama Putri.

"Jangan pikir aku bodoh, Tuan Putri. Aku tau apa yang ada di pikiranmu."

"Oriooon!", teriak Putri sambil mencubit perut Orion. Orion meringis. Putri akhirnya terkekeh geli.

"Cewek itu nggak adil! Dia bisa seenaknya pegang-pegang tubuh cowok. Tapi cowok? Pegang sedikit aja langsung kena marah," protes Orion sambil mengusap perutnya yang sedikit perih.

"Enak aja mau pegang-pegang!"

"Tuhkan, belum dipegang aja udah marah."

"Ye, abisnya Orion ngarep bisa pegang-pegang!"

"Siapa juga yang mau pegang kamu? Nggak bergelombang, tuh."

"Ih Orion. Berhenti lihat aku kayak gitu!"

Orion tertawa puas melihat pipi Putri yang bersemu merah. Ia tahu betul bahwa Putri tidak bisa terlalu lama marah padanya. Ia ingat dulu saat tak sengaja merobek lukisan pertama Putri, dan Putri hanya marah selama dua belas jam, waktu marah terlama dalam sejarah persahabatan mereka.

Orion melirik geli pada Putri, "Baiklah Tuan Putri, mari hamba antar pulang," katanya sambil menjulurkan tangan kanan.

Dengan senang hati Putri mengaitkan tangannya pada tangan Orion, "Tentu, Sir."

***

Dalam perjalanan pulang, mereka tidak lagi bergandengan. Orion merasa saku jaket yang ia kenakan lebih aman dari pada genggaman hangat Putri, tentu saja karena perasaan aneh yang tiba-tiba menelisik jantung Orion.

"Orion, setelah di Bandung, kita mau ke mana dulu ya?", suara ceria Putri membuyarkan lamunan Orion tentang jantungnya yang bereaksi berlebihan terhadap Putri.

Oh tidak. Jangan.

"Hmm?"

"Aku ingin ke Boscha. Lihat Orion dari dekat, setelahnya kita bisa minum teh di kebunnya, atau..."

"Huh, seperti biasa. Kamu selalu antusias. Over antusias," sekilas Orion melirik Putri yang cemberut karena jawabannya

"Aku selalu antusias sama hal yang akan aku lakuin sama kamu, Orion. Aku akan ikuti kamu."

Oh tidak. Jangan lagi.

Orion membeo. Putri tidak tahu efek dari perkataannya untuk Orion.

"Ya ya ya, kamu memang ekorku."

"Ya, dan kamu malaikat pelindungku."

Oh tidak. Jangan lagi. Jangan lagi.

"Dan kamu adalah makhluk ceroboh yang harus aku lindungi."

Putri mengangkat bahu meminta maaf.

"Masih mau jawaban?", Orion mati-matian menormalkan nada suaranya.

"Selalu, Orion."

"Hmm ke Jogja."

Putri diam, mencoba mencerna kalimat Orion.

"Maksud kamu?"

Orion menarik nafas dengan kasar. Ia tahu waktu ini akan tiba.

"Maaf Putri, sebenarnya aku nggak akan di Bandung, tapi di Jogja. Aku daftar di Fakultas Kedokteran di sana, Put, satu universitas dengan...," Orion ragu melanjutkan kalimat selanjutnya, "... dengan Rangga."

Sial. Nama itu lagi.

"Kenapa?", nada kesedihan dalam suara Putri tidak dapat disembunyikan.

Sial. Apa dia marah karena aku akan satu universitas dengan laki-laki yang digilainya?

"K-kamu...," suara Orion terputus kelu.

"Kenapa di Jogja, Orion? Kamu janji nggak bakal ninggalin aku. Aku mau terus jadi ekor kamu, Orion. Kamu bilang di Bandung, aku nggak percaya kalau akhirnya kita punya kota tujuan yang sama. Tapi ternyata, kamu bohong, Orion. Kamu bohong. Aku ikut, aku mau kuliah di Jogja juga."

Orion diam, menggelengkan kepala dengan tatapan kasih sayang pada Putri. Ia membelai wajah Putri yang kini telah pucat, dan Putri bergetar menerima sentuhan Orion.

"Putri, hey, lihat aku," Orion membungkuk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Putri. Kedua pipi Putri terbungkus oleh tangan Orion. "Hey, kamu nggak perlu mengorbankan mimpimu untuk aku, Put. Maafin aku, aku mohon maafin aku. Aku nggak bermaksud bohong, aku cuma-", Orion menarik napas panjang putus asa. "Aku cuma... nggak mau menghambat mimpi kamu, aku... aku mencintaimu, Put."

Putri semakin merasakan wajahnya memanas, kalimat terakhir Orionlah penyebabnya.

Orion menarik Putri ke dalam pelukannya, menenggelamkan wajah Putri pada dada bidangnya. Hatinya mencelos menyadari bahwa wanita mungil yang dipeluknya menangis karenanya.

Maafkan aku, Putri...

Titik-titik hujan menemani perjalanan pulang mereka. Menutup senja yang semburatnya tak terlihat, tertutup awan muram.

Between Brush and StethoscopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang