(Play the music jutteyooooo)
Dua ratus delapan belas hari yang lalu, Haruto masih mengingat jelas apa yang Asahi kenakan di hari pertamanya kerja dengan kubikel departemen yang letaknya berseberangan dengan kursi Haruto menghadap didepartemennya.
Hari itu, Asahi mengenakan kemeja motif kotak-kotak berwarna putih yang dimasukkan kedalam celana kain yang entahlah, warnanya berada diantara cokelat muda atau khaki. Sebagai outer hari pertama kerjanya, Asahi tidak memakai jas begitu resmi. Sebagai ganti, laki-laki super modest itu memakai jaket kain cokelat tua yang kancing bagian depannya dibiarkan menganggur begitu saja, menunjukkan kemeja yang tampak begitu pas membalut bagian atas badannya.
Waktu itu, Haruto langsung termangu beberapa detik ditempatnya. Bukan karena Asahi terlalu rupawan, karena alasan itu agaknya sudah terlalu biasa untuk mendeskripsikan betapa sempurnanya pahatan yang membentuk wajah Asahi. Hanya karena, sosok Asahi adalah sosok yang hadirnya Haruto hapal diluar kepala.
Mungkin, usia Haruto masih belum genap tiga belas tahun waktu Ibunya yang seorang pskiater pertama kali mendatangi kamar Haruto untuk meminta tolong.
"Haru, Bunda punya teman baru buat kamu." Cerita Ibunya malam itu.
Haruto yang sedang membuat sebuah jembatan dari tumpukan lego dalam kotak mainannya teralih sekilas, "Kelas enam juga, Bunda?" Tanyanya polos.
Sebuah gelengan Ibunya berikan. "Kelas satu SMP," Jawabnya begitu teduh.
Haruto yang memang suka skeptikal langsung menyela, "Kenapa Bunda mau Haruto berteman sama dia?" Tanyanya.
Sekilas, Bunda menyampirkan rambutnya kebelakang telinga. Pelan, ia ikut membantu Haruto membuat jembatannya. "Karena dia punya banyak luka, dan Bunda pengen kamu sama dia jadi teman sebaya yang saling mendukung satu sama lainnya." Terang Bunda begitu detail.
Haruto mengangguk mengerti, "Tapi kalau anaknya cupu, aku nggak mau ya." Pesannya sebagai penutup obrolan dengan Bunda malam itu.
Besoknya, Haruto ikut Bunda menuju rumah sakit tempat praktiknya. Sejujurnya, Haruto yang kelas enam masih belum mengerti tugas Bundanya di rumah sakit seperti apa. Ia hanya mengerti bahwa kedua orangtuanya bekerja sebagai dokter. Lebih detailnya, Haruto sendiri kurang paham.
Haruto yang berlarian mengitari lapangan hijau di area taman rumah sakit langsung berhenti kala Bundanya meminta Haruto masuk kedalam ruangan praktiknya.
Haruto pikir, punya banyak luka seperti yang Bunda deskripsikan semalam berarti Asahi sering jatuh, atau tertabrak barang-barang. Sama seperti luka Haruto akibat kecerobohannya tiap hari.
Namun, luka yang dimiliki bocah lelaki kurus dihadapan Haruto kini terlihat 'berbeda'. Di ujung dahinya, ada bekas jahitan yang belum kering. Lengan kirinya di gips, dan pergelangan kakinya di perban memutar. Haruto sampai termangu keheranan melihat bocah dengan luka tidak umum itu. Apalagi, di bawah telapak kirinya ada dua buah jahitan cukup panjang melintang hampir mengelilingi setengah keliling pergelangan tangannya.
Bocah dihadapan Haruto berpakaian cukup modis dan mahal. Topi baseball yang ia pakai keluaran terbatas, Haruto tau karena beberapa waktu yang lalu ia pernah meminta dibelikan topi yang sama. Tapi entah kenapa, Haruto bisa melihat ketidakbahagiaan dibalik barang yang membalutnya dari ujung kepala sampai kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remuk Redam (Jaesahi/Hasahi/Hajeongwoo)
FanfictionRutinitas yang berputar begitu saja menjadikan apa-apa yang seharusnya indah jadi membosankan. Yang tadinya dilalui dengan suka cita, kini dihabiskan dengan penuh luka. Asahi X Jaehyuk X Haruto bexgonisaur's proudly presents Remuk Redam Start 26-06...