2. Mereka Sudah Dewasa

1.2K 178 1
                                    

19 tahun kemudian, lebih tepatnya 7 tahun setelah wafatnya Helia. Anak anak yang dulunya bermain dan tertawa tak tau waktu, kini sudah dewasa. Mereka sudah punya impian masing masing.

"SENJA!! MAKAN DULU!"

"AKU BERANGKAT KAK THEMIS!! DADAHHHH!!!"

Themis menggeleng. Yang lain juga sama. Mereka bingung, setiap pagi seperti rutinitas. Themis akan berteriak pada Senja untuk makan. Dan Senja akan berkata 'dadah'.

"Sudahlah Them, sabar. Senja memang seperti itu." Ucap Orion yang sudah duduk di meja makan panjang lebar itu.

"Dia belum makan dan sudah kuliah, aku harus sabar?"

Orion menyeringai. Mengambil beberapa potong roti ke atas piringnya. "Apa yang mau dia makan jika pagi saja kamu tidak pernah memasak makanan kesukaannya."

Themis diam, dia melirik isi meja makan. Itu adalah masakan netral yang semua adik adiknya suka. Tapi, Senja... Themis tidak tau makanan kesukaannya.

"Aku tidak tau apa yang dia sukai."

"Ck! Kenapa kakak tidak bertanya? Biar Matahari susul dia. Aku akan membelikan makanan di luar." Matahari berdecak kesal. Ia menggait satu potong sandwich itu kemudian beranjak dari meja makan.

"Aku ikut! Dadah kak Themis! Muah!"

Themis tersenyum menanggapi. Kebiasan para adik termuda. Pergi sebelum makanannya habis. Untung Themis sudah tau tabiat mereka. Kalau tidak akan busuk makanan makanan itu.

"Rembulan?"

Rembulan sang pemilik nama mendongak menatap kakak tertuanya itu. "Ada apa kak?"

"Kamu tidak ikut mereka?"

Rembulan menggeleng. Hari ini dia hanya ada kelas sore. Jadi dari pagi nanti di akan si rumah.

"Them, aku berangkat."

Themis mengangguk. Orion pergi dari meja makan itu di ikuti adik adiknya yang lain. Di rumah saat ini tersisa dia Rembulan dan juga Triton.

"Aku ke kamar Them."

"Triton, ikut aku sebentar kita bicara."

Triton dengan malas mengangguk. Ia berjalan mengikuti Themis masuk ke dalam ruang belajarnya.

.

"Rembulan... Rembulan... bulan yang terang di fasenya dan hilang di fasenya juga."-

"Rembulan... hiks.. ibu.. Rembulan takut.. Rembulan sendirian.. Rembulan, Rembulan cuma punya ibu saja.."

"Rembulan punya Matahari. Rembulan juga punya Senja. Rembulan tidak sendiri. Kalau ibu pergi nanti jangan pernah merasa sendiri."

Mengingat itu tangisan pilu Rembulan kembali pecah. Entah kenapa emosinya memuncak. Perasaan sedih berlebihan ini muncul lagi.

"Rembulan ingat bu... Rembulan akan terus ingat itu."

Namun, di balik pintu. Ada yang menatap punggung Rembulan yang lemah dengan tatapan nanar. Tak tega berlama lama di sana. Ia berbalik meninggalkan daun pintu kamar milik Rembulan.

Lintang, pemuda itu awalnya ingin mengajak Rembulan jalan jalan karena mereka sama sama tak punya jadwal pagi. Tapi, inilah yang ia dapat. Rembulan dengan segala kehancurannya.

"Maaf Rembulan, Lintang tak sanggup dan tak mampu membantu menopang bebanmu." Lintang berjalan menjauh. Niatnya ingin keluar tadi ia urungkan.

.

"Aku merasa aneh dengan Senja, Ton."

"Apa itu? Dia bukannya seperti itu sejak awal."

"Ini."

Themis memberikan 2 butir obat berwarna putih. "Aku temukan di lantai. Saat menyapu kolong ranjangnya itu menggelinding."

"Tunggu sebentar."

Triton menenkan satu nomor di sana. Panggilannya terhubung.

"Hoku?"

"Iya kak?"

"Kamu bisa mengetahui jenis obat kan?"

"Bisa. Kenapa?"

"Pulang nanti kamu ke ruangan ku, temui aku di sini."

"Hm.. baik."

Triton menunggu dengan tenang di meja bacanya. Membaca beberapa buku tentang teori pembentukan bumi dan isinya.

Sementara Themis sangat gelisah. Jika itu obat obatan terlarang. Salahkan dia yang tak bisa mendidik Senja si bungsu.

"Mana obatnya." Kalimat singkat itu membuat Triton tersentak.

"Bisa tidak? Ketuk pintu dulu. Salam dulu?"

Hoku hanya tersenyum tipis. Ia menerima obat yang di genggam Themis.

"Aku bawa ke lab. Nanti akan aku beri tahu jenis obat apa ini." Ucapnya kemudian melangkah pergi dari ruangan itu.

"Siapa yang dia contoh? Tidak sopan." Triton dengan omelannya.

Hoku berjalan memasuki ruang labnya. "Ini seperti obat penenang."-

"Bukan.. ini obat pereda rasa sakit?" Hoku membolak balikan butir obat itu.

Ia menumbuk salah satu butir menjadi bubuk. Memeriksanya dari satu tabung ke tabung yang lain.

1 jam setelahnya, Hoku akhirnya mendapatkan hasilnya. "Ini benar benar obat pereda rasa sakit. Tapi dosis satu butirnya tidak besar. Sepertinya tidak masalah."

.

.

"Ayo makan. Tidak ada yang boleh beranjak jika aku melihat piring kalian tidak terisi makanan."

Themis menginterupsi. Ia melihat satu satu, adik adiknya muali mengambil potongan demi potongan makanan yang ia buat.

"Senja. Kami mau kamu menjelaskan sesuatu."

Senja yang terpanggil mendongak, menatap kakak ketiganya itu.

"Jelaskan obat ini."

Triton memperlihatkan obat putih itu. Reaksi Senja di luar dugaan mereka. Senja tidak memperlihatkan rasa takut sama sekali.

"Itu punya kak Matahari. Hari itu sempat tercecer di kamarku karena aku panik dia tiba tiba kambuh."

Penjelasan itu di balas anggukan oleh Matahari. Memang benar adanya, obat miliknya tercecer kemana mana saat itu karena tangan ceroboh bungsunya ini.

"Dosis yang ada dalam obat ini terlalu kecil untuk Matahari. Itu tidak akan berefek." Jelas Hoku.

Senja masih dengan ekspresi tenang. "Aku mana tau, saat check up di rumah sakit. Dokter memberikan itu."

Lagi, benar adanya. Matahari pernah check up bersama Senja. Dan memang obatnya ada 2 botol. Yang satu di pegang Matahari, dan yang satu lagi di pegang Senja.

"Begitu ya? Tapi kamu benar-benar tidak apa apakan Senja?"

Senja menggeleng dengan yakin. Dia baik baik saja, di hadapan kalian.









→←→←→←→←→←

Yok bisa yok

>tinggalakan jejak bila berkenan^^<

°baca nama Themis tu Temis ya? Kalau versi aku gitu. Kalau Demis aneh deh kayanya:'

REMBULAN ¦ Renjun NCT[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang