8. Kak Bulan Tidak Salah

859 137 0
                                    

"Kata dokter hanya kelelahan, ini vitamin yang perlu di beli." Nanna menyerahkan kertas hasil tulisan tangan dokter Sein pada Hoku.

"Oh? Hm ya.. aku akan ke apotek sekarang."

Hoku melenggang keluar menuju ke arah apotek. "Vitamin jenis apa?" Tanyanya pada angin. Hoku merasa tidak yakin kalau itu Vitamin. Tapi dia tak terlalu mau pikir panjang.

"Hoku mau ngapain?"

"Buat obat biar Matahari sembuh bu.."

Hoku yang berusia 7 tahun saat itu tengah menumbuk bunga-bunga yang ia petik. Menumbuk, mencampur kemudian mencuci bunga itu sampai menghasilkan cairan merah gelap.

"Wah?? Kenapa meracik obat? Kenapa tidak jadi dokter saja?"

Helia yang sedang menggendong Senja menatap Hoku penasaran.

"Karena dokter saja tidak bisa membuat Matahari sembuh. Lalu apa gunanya?"

Helia terpaku. Kalimat itu kasar, tapi memang benar. "Lalu.. apa kamu bisa?"

"Hoku pasti bisa! Aku anak yang pintar kalau ibu tau!" Hoku mulai fokus kembali pada racikan bunga-bunganya.

"Kenapa Tuhan membuat anak anak ini berada di sini?" Gumamnya sebelum melangkah pergi meninggalka Hoku yang masih fokus pada bunga yang ia tumbuk.

Hoku tersenyum. Lucu juga mengingat tingkahnya dulu. Tapi, itu membuahkan hasil. Walau dia belum menemukan cara atau obat untuk Matahari setidaknya menjadi seorang peracik obat seperti impiannya tergapai.

"Ini semua yang ada di resep dokter ya tuan.."

"Oh? Baik, terima kasih."

.

"Senja kamu yakin akan pulang?"

Dokter Sein bertanya memastikan. Ia khawatir dengan keadaan Senja yang belum sembuh total.

"Apa yang kumiliki akan segera pulang. Aku ingin ada di hadapannya."—

"Aku baik baik saja. Takdir sudah berkata tidak pada hidupku."

Setelah melepas kalimat itu, ia menoleh pada dokter Sein. "Anda sudah menyanggupi permintaan saya. Jadi... saya harap anda tidak memberitahukan apapun."

Senja membungkuk sopan pada Sein kemudian melenggang dari sana membawa tasnya.

"Kenapa begitu ingin terlihat misterius Senja?"

.

.

Kini Senja telah menapakan kakinya di lantai sebuah bangunan besar. Bangunan hasil jerih payah kakak kakak tertuanya.

"Agh.. kenapa lagi?" Gumamnya. Itu seperti sebuah film. Film yang sudah sangat lama dan terputar dengan kondisi rusak.

Senja memegang kepalanya sesekali ia gelengkan agar semua yang ia lihat tadi menghilang.

"Senja pulang.."

"Senja?! Kenapa pulang? Memangnya dokter mengizinkan kamu?! Astaga? Lihat wajah pucatmu itu!!"

Ocehan seorang Matahari. Senja tersenyum. "Tidak apa, Dokter Sein sudah mengizinkan. Lagi pula aku hanya kelelahan kan?"

"Tapi.."

Senja menepuk pundak Matahari pelan. Tersenyum penuh arti di hadapan Matahari. Ia berjalan menuju ke kamarnya.

"Besok aku akan lupa, dan semua akan terjadi." Ucapnya sebelum akhirnya benar benar terlelap.

"Ibu kenapa ibu di tempeli selang?"

Helia mengerjap. "Apa maksudmu senja?"

"Ibu tertidur. Banyak selang. Bunyinya berisik. Ibu.... ibu sakit.." ucap Senja terbata bata.

"Ah ibu? Ini apa? Merah..."

"Senja? Kenapa kamu?! Astaga!!" Helia panik. Sangat panik. Ia berlari menggendong Senja.

"Senja tidak apa bu... kak Bulan, dia lebih sakit."

Setelah mengucapkan itu Senja tertidur pulas. Esoknya ketika Helia bertanya tentang dirinya yang di lihat senja dengan selang. Tentang Rembulan yang katanya lebih sakit.

Senja lupa. Senja tak merasa pernah mengatakan itu. Ketika mencoba mengingat apa yang Hekia ceritakan. Senja menangis.

"Sakit bu-hiks-sakit sekali..."

Sejak mengetahui itu. Helia tak lagi terlalu memaksa Senja. Ketika Senja mulai membicarakan tentang dia yang terbaring, tentang dunia yang mulai gelap. Tentang kebencian.

Helia diam. Menangis. Ingin sekali ia merubah semuanya. Tapi seakan semua itu tak bisa. Sama seperti Helia. Kemampuan aneh itu di dapat bungsunya. Dapat melihat kejadian menyakitkan. Tapi tidak dapat merubahnya.

"Sinar di rumah ini akan redup. Kebencian menampakan dirinya jelas. Kemarahan tak lagi bersembunyi. Kesedihan hanya diam. Dan kegembiraan ikut hilang bersama sinar itu."

.
.
.

"Matahari? Kamu mau gantikan aku sebentar?"

"Apa itu?"

"Jaga ini sebentar ya? Aku akan segera kembali."

"Oh? Baiklah.. cepat kembali ya?"

"Pasti."

Rembulan kehabisan cat airnya. Rembulan hanya meminta Matahari duduk di sana menjaga sebuah lukisan.

Sungguh,

Rembulan hanya memintanya untuk duduk di sana.

PLAK!!

"KAMU TAU MATAHARI ITU SAKIT! KENAPA KAMU MENYURUHNYA YANG TIDAK TIDAK HA?!"

Rembulan merunduk. Tamparan keras dari Triton tadi membekas, bukan lagi di pipi. Melainkan di benaknya.

Triton melayangkan kepalan tangannya,

Bugh!

"T-tidak... jangan pukul kak Bulan lagi.."—

"Kak Bulan tidak salah-hiks-kak Bulan..."

"Senja? Senja jangan seperti ini kakak mohon.."—

"PUAS KALIAN?! KALIAN PUKUL AKU SILAHKAN! JANGAN DI DEPAN DIA! KALIAN SEMUA BAJINGAN TULI!!" Emosi Rembulan memuncak begitu saja melihat bungsunya di pukul dengan keras di depannya.

"Bajingan tuli, katanya."













→←→←→←→←→←

🙏

Maafkan aku yang gk jelas ini🙏

●tinggalkan jejak  bila berkenan●

REMBULAN ¦ Renjun NCT[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang