2

1.4K 48 1
                                    

°°°

Suasana terasa hening saat tatapan kami beradu. Lelaki itu masih tetap sama seperti beberapa puluh tahun lalu. Tetap gagah dan keren. Hanya saja waktu telah membuat wajahnya semakin matang dan malah semakin berkharisma.

Rasanya dadaku sesak. Perpaduan rindu, kesal, marah, senang, semua bercampur jadi satu. Entah mana yang terlebih dahulu harus kuungkapkan.

Namun saat kulihat lirikan ke arah istrinya, membuatku tersadar sesuatu. Ada rasa cemas dan ketakutan di wajah itu.

Seketika aku pun tersadar.

Aku pun menoleh ke arah putriku yang senyumnya masih bertengger manis menatap kekasihnya di depan sana. Aku genggam erat tangannya sejenak. Meremasnya.

Aku harus melakukan hal yang akan dibenci oleh putriku sendiri.

Sebentar lagi senyum itu akan hilang. Dan entah apakah nanti ia akan memaafkanku atau tidak setelah apa yang akan kulakukan nanti.

Maafkan ibu Nak ...

Tanpa menoleh lagi ke arah lelaki sebelah Ari, aku bergegas mengambil mic di tangan MC, dengan suara bergetar aku berucap, "Maaf lamaran ini dengan terpaksa saya TOLAK!"

Semua hadirin terlihat syok, termasuk dia, dan aku tak ingin peduli. Aku langsung berbalik kembali memasuki rumah. 

Aku tak ingin ada keributan bila acara ini masih tetap memaksa dilanjut. Apalagi bila sampai ibunya Ari tau kenyataan yang sesungguhnya. Bahaya. Aku sudah pernah berjanji dengannya untuk tak pernah mengganggu kehidupan mereka. Apalagi sampai diketahui hubungan yang sudah lama tertutupi ini.

Kulihat tatapan tak percaya putriku. Tatapan penuh kekecewaan dan kebingungan.

Salahku memang. Tidak mengecek lebih jauh tentang asal asul Ari. Pantas saja, saat melihat Ari untuk pertama kalinya, aku seperti pernah melihatnya, entah dimana. Kini semua yang mengganjal itu terjawab sudah.

Aku bergegas memasuki kamar, lalu menguncinya. Tak kuhiraukan gedoran pintu dan tangisan putriku.

Maaf. Maaf. Maaf.

Beruntung, aku hanya menggelar prosesi lamaran yang sederhana. Hanya tetangga dekat saja yang aku undang. Di kampung ini, aku tak memiliki sanak saudara. Karena memang aku bukan asli orang sini. 

Lelaki itu yang sudah membuatku terdampar di tempat ini. Tak berani pulang. Jauh dari keluarga dan handai taulan.

Banyak yang sudah aku kecewakan, hingga membuatku tak berani pulang.

"Bu, ada apa? Kenapa ibu mendadak tak setuju? Bukanya ibu suka dengan Ari? Dengan kepribadiannya? Dengan semangatnya?" tanya putriku dengan suara serak.

Terdengar suara argumen Ari dan putriku di depan pintu kamar. Keduanya sibuk berdebat, hingga akhirnya Ari pun mengalah pergi, setelah putriku itu memaksanya dengan sangat. Aku hanya menjadi pendengar setianya dibalik pintu.

Semua terasa kosong. Kenapa juga kami harus berjumpa kembali. Padahal hidupku sudah baik-baik saja tanpanya. Dan lucunya, kami malah dipertemukan sebagai calon besan. 

Lucu sekali hidupku. Rasanya aku ingin tertawa begitu kencang. Menertawakan hidupku yang konyol. 

Suasana sudah hening, tak seramai tadi. Mungkin tamu dan yang lain pun sudah pulang. Entah nanti akan ditaruh dimana muka ini, pasti tetangga akan ngomong aneh. Tapi sungguh aku tak peduli. 

Lebih baik sakit sekarang daripada nanti jadi dosa.

Pantas saja. Melihat Ari aku sepertinya menemukan sosok yang dulu pernah kukenal. Aku kira itu hanya kebetulan semata. Nyatanya malah sesuatu yang luar biasa.

Aku sudah mengecewakan putriku. Aku sungguh merasa bersalah padanya. 

Gedoran pintu sudah tak terdengar. Tak ada lagi suara lirihnya. 

Hari bersejarah putriku sudah kukacaukan. Entah apa nanti ia masih mau mendengarkan semua penjelasanku atau tidak. Tapi nanti saja aku kasih taunya. Untuk sekarang aku ingin sendiri dulu.

***

Hari pun sudah berganti pagi. Keadaan rumah sudah rapi saat aku keluar kamar. Bunga-bunga dekor yang menempel di dinding sudah teronggok di tempat sampah. Membuatku jadi teringat kembali dengan kejadian kemarin.

Aku pun terduduk di balai bambu di ruang tengah dengan pintu terbuka dan menghadap keluar. Terlihat bisik-bisik tetangga ke arahku, lalu tak lama pergi. 

Aku menghela napas sejenak. Pasti aku jadi trending topik gosip tetangga paling hot saat ini. Mau bagaimana lagi, terkadang kenyataan itu memang pahit.

"Alhamdulillah. Ibu udah mau keluar. Kita sarapan yuk, Bu. Dari kemarin ibu belum makan, kalau nanti sakit gimana coba," ucap putriku dengan senyum kecil. Matanya terlihat sembab. Dan aku yang menyebabkan itu semua.

"Sini, Nak. Duduk dekat ibu." Aku menepuk sebelah tempat yang aku duduki, sebagai isyarat agar putriku duduk sebelahku.

Tak banyak kata, putriku menurut. Ia pun duduk tak jauh dariku.

"Maafkan ibu ya, Nak. Sudah membuat kamu kecewa. Maafkan juga bila ibu abai. Tak langsung mengecek asal-usul Ari."

Putriku tak langsung menjawab. Ia masih menunggu penjelasan.

"Kalau kamu putus dan tak jadi menikah dengannya, kamu tak apa kan?" Aku mengelus puncak kepalanya dengan lembut, lalu membawanya dalam dekapan. 

Hanya putriku, harta paling berharga yang aku punya. Yang membuatku sanggup untuk bertahan hidup. Yang menolongku dari keterputusasaan dari kejamnya dunia.

"Tak apa, Bu." Shina berusaha tersenyum dengan tegar setelah kami melepas pelukan. "Aku yakin ibu pasti punya alasan untuk itu. Tak mungkin ibu membenci sesuatu tanpa alasan. Aku percaya, ibuku tak sejahat itu. Tapi kalau diizinkan, apa aku boleh tau penyebabnya, Bu? Mungkin bila aku sudah tau alasannya, itu akan menjadi motivasi terbesarku untuk berusaha melupakan Ari," ujarnya dengan suara bergetar.

Lihatlah. Betapa berjiwa besarnya putriku ini. Aku sungguh begitu beruntung sudah memiliki karunia indah sepertinya.

Tentu tak mudah melupakan seseorang yang dicinta. Apalagi mereka sudah lama menjalin hubungan. Dari semenjak SMA.

Aku memang belum pernah bertemu keluarganya Ari. Bahkan saat Ari mengutarakan keinginannya untuk melamar Shina, lelaki itu hanya sendiri tanpa ditemani orang tua. Katanya resminya nanti baru bareng orang tuanya. Seperti hari kemarin lalu. Maklum, papa Ari orang sibuk. Jarang ada di rumah. Itu yang aku tau.

"Ibu hanya bisa berdoa, kamu bisa dapat jodoh lain yang lebih baik dari Ari. Dan bisa membantu mengobati luka hatimu, hingga kamu terlupa pernah dikecewakan dengan kejadian hari kemarin."

Shina tak langsung menjawab. Ia hanya terdiam, entah menatap apa. Lalu kembali menoleh ke arahku. "Aamiin. Ehmm, kalau nanti Ari tanya alasan, aku harus jawab apa, Bu?"

Aku terpekur mendengar pertanyaannya. Aku menatap langit langit ruang tengah berharap dapat jawaban. Terlihat sarang laba-laba begitu suburnya. Sepertinya sudah lama aku tak membersihkan rumah.

Mungkin lebih tepat disebut gubuk. Rumah kecil yang hanya mampu aku bangun dari hasil jerih payah jualan plus uang yang tak seberapa yang dulu pernah lelaki itu berikan.

"Jawab saja, kalau kamu adalah adiknya."

"A-apa ma-maksudnya, Buu ...

"Ibu akan menceritakan semuanya. Dari awal. Hingga bagaimana kamu tak pernah bisa bertemu dengan ayahmu sedari kecil. Ayah yang selalu kamu tanyakan."

Aku tau, seharusnya sudah lama aku menceritakan semuanya. Tapi luka hatiku masih saja belum sanggup untuk bercerita. Aku selalu menundanya. Kupikir bersamaku saja, putriku sudah bahagia. Ia tak butuh ayahnya. 

Nyatanya aku salah. Sosok ayah tetap dirindukan oleh putriku. Betapa ia selalu menangis bila melihat tayangan seorang anak kecil yang sedang bermain dengan ayahnya, atau sesuatu yang berhubungan dengan hal itu, pasti menembus lerung hatinya.

Bukan aku tak ingin memberitahu tentang sosoknya. Apalagi memberikan fotonya yang selalu Shina minta. Karena sejujurnya aku tak pernah memiliki jejak apapun tentang dia, apalagi fotonya.

Karena bahkan nama aslinya saja aku tak pernah tau ...

***

Calon besanku Ternyata Suamiku Sendiri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang