01

54 3 0
                                    

Sampai kapan penderitaan yang kualami segera hilang? Kurasa pertanyaan itu tidak akan pernah ada jawabannya.

Kenapa bisa kukatakan begitu? Jika aku terlahir dengan pilihan, pasti aku lebih memilih mati daripada hidup disertai kesesakan yang tidak berujung. Kesuraman, kepedihan, dan kegelapan yang selalu setia menemani. Mereka sudah kuanggap sebagai sahabat.

Setidaknya aku sudah siap jika ajal menjemput. Aku ingin lari dari kenyataan, dan membayangkan sedang meraungi ombak di lautan lepas. Biarkan desiran angin laut menghempas tubuhku begitu saja. Kakiku sudah tidak sabar ingin menginjak pasir untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Orang-orang berpendapat pasir jumlahnya akan sama seperti bintang-bintang di langit. Menurutku itu merupakan sebuah simbol dari mimpi-mimpi manusia yang terlalu tinggi. Mereka bermimpi untuk bisa menjadi bintang. Tapi mereka hanya bisa menjadi pasir di pinggir laut. Setidaknya mimpi-mimpi itu tidak akan bertahan lama, pasti diserbu ombak.

Terkadang manusia suka lupa siapa dirinya ketika sedang bermimpi. Semua itu tidaklah semudah yang didengar sebatas telinga.

Kebodohan dan kesombongan mengalahkan harapan.

Menembus pikiranku yang selalu dalam keadaan sepi.

Perlahan-lahan cahaya mulai masuk menembus kelopak mataku. Ternyata sudah pagi hari lagi.

Aku membuka mata, menatap kosong sebuah jendela yang menjadi tempat cahaya matahari masuk. Aku benci pagi hari karena banyak alasan.

Pertama, aku selalu lupa apa saja yang terjadi semalam. Kedua, aku tidak ingat siapa diriku. Tetapi setelah beberapa jam pasti aku akan mengingatnya kembali.

Sebenarnya aku selalu ingat kejadian semalam lewat pikiranku yang terasa sangat nyata. Tapi anehnya indra perasaku tidak berkata demikian.

Layaknya kemarin kau sedang berjalan di suatu daerah, tetapi rasanya kakimu tak pernah menginjak daerah itu.

Sulit dijelaskan dengan logika maupun  naluri.

Sekarang yang harus kupikirkan adalah cara mengatasi perut kosong ini. Untuk berjalan saja rasanya sangat lelah. Terbaring lemah dilantai kotor penuh barang-barang yang porak poranda. Aku tak tahu harus memulai dari mana jika harus membersihkan sampah-sampah ini.

Setelah beberapa lama akhirnya aku bisa bangkit dengan sisa tenagaku. Berusaha berjalan menuju dapur didepanku.
Berharap disana ada sumber makanan.

Aku membuka pintu kulkas yang kelihatannya juga sudah rusak. Listrik sudah lama dipadamkan karena aku tidak membayar tagihan. Begitupun juga air. Terkadang aku harus mandi di perempatan jalan. Itu tempat mandi untuk anjing.

Terlunta-lunta di tengah padatnya aktivitas masyarakat kota. Kota yang kejam, serakah, dan tidak ada rasa kepedulian terhadap kaum rendahan sepertiku.

Mereka menyebut kaumku sebagai orang yang tak mampu bersaing. Padahal untuk apa persaingan diciptakan? Semua itu hanya akan membuat manusia tak punya lagi rasa peduli.

Kini tersisa beberapa makanan kaleng di lemari. Aku melihat bahwa makanan-makanan itu sudah kadaluwarsa. Tetapi tak apa, manusia sepertiku tak jauh beda dengan hewan. Aku hidup dengan insting, bukan dengan akal. Karena akal akan membawa malapetaka seperti manusia lainnya.

Kaleng berisi daging sapi mentah itu langsung ku lahap tanpa memikirkan besok mau makan apa. Kelaparan merajalela, salah satu kebutuhan manusia yang tak dapat dicegah.

Aku mendongakkan kepalaku ke arah jam dinding. Untungnya jam itu masih menyala, waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Entah kenapa badanku sama sekali tidak bugar.

Otot maupun tulang rasanya sangat lelah untuk digunakan. Wajar saja, mungkin efek keroncongan.

Akhirnya santapan pagi telah habis.

Walaupun aku tahu daging kaleng itu seharusnya dimasak terlebih dahulu. Matang maupun mentah rasanya tetap sama di lidah. Lidah ini bukan lidah manusia yang pandai memilih.

Perlahan ingatanku mulai kembali. Hari-hariku memang seperti ini, artinya keadaan ini bukanlah terjadi sehari saja. Kehidupan menyedihkan dari seorang pria yang bahkan lupa seperti apa wajahnya sendiri.

Aku tak punya cermin.

Tak punya apa-apa.

Bahkan rumah ini tidak nampak seperti tempat bernaung manusia. Melainkan kandang ternak untuk sapi. Setidaknya sapi lebih berguna daripada manusia gagal ini.

Tapi aku punya keinginan kecil untuk merasakan teriknya matahari. Aku mulai berdiri lagi setelah kekuatanku pulih. Makanan tadi amat membantuku untuk berdiri kokoh seperti sekarang.

Dari ujung mata terlihat beberapa anak tangga menuju ke bawah. Aku menghampirinya. Satu per-satu kupijakkan kaki menuju ke bawah.

Mulai terlihat pemandangan luar yang amat sepi. Halaman rumahku penuh dengan rumput liar. Dari luar pun terlihat sepeti rumah tak berpenghuni. Tapi tak jauh beda dengan rumah disebelah.

Nampaknya juga tak terawat.

Dilihat dari suasana rumah ini, nampaknya aku tinggal di pinggir kota. Dimana para orang-orang sepertiku berkumpul. Tak satupun dari mereka yang kulihat sekarang berada di depan rumah mereka. Semuanya sama sepertiku, larut dalam kekelaman.

Rasanya aku tak ingin bercengkrama dengan manusia lainnya. Mereka adalah pendusta yang suka merendahkan. Tidak akan ada yang mengerti jalan pikiran orang sepertiku.

Tidak ada, kecuali satu. Dia.

Dia datang setiap malam ke apartemen ku dulu. Bahkan dia tadi malam sempat menginap di rumahku ini. Tapi dia hanya membuatku tambah putus asa saja. Di sisi lain sangat menghibur, aku butuh orang seperti dia, yang mengerti setiap masalah yang kujalani.

Memberikan ketenangan dari hiruk pikuk kota. Setidaknya aku ingin merasakan sedikit kenyamanan dan kedamaian. Sosok yang hadir tadi malam maupun malam-malam sebelumnya.

Kenapa aku tak pernah ingat bagaimana perawakannya. Aku hanya ingat dia seorang wanita dengan pakaian hijau tua. Selalu.

Kenapa dia sekarang tidak ada disini?

Dia selalu pergi setelah kejadian itu. Kejadian yang sama sekali tak bisa ku jelaskan dengan kata-kata saja. Aku ingin ikut dengannya apapun halangan nya itu.

Sepertinya dia satu-satunya harapanku untuk merasakan kebahagiaan. Aku bahkan bisa merasakan kehadirannya lewat tulang-tulangku yang bergema. Tetapi untuk semalam saja.

Waktu berjalan begitu lambat. Hanya orang cerdas saja yang merasa waktu berjalan sangat cepat. Hidup adalah impian bagi para orang bijak, lelucon untuk para orang kaya, dan tragedi untuk para orang miskin dan bodoh.

Semangat sudah tak ada lagi di dalam aliran darah ini. Mereka hanya bisa merasakan keputus-asaan.

Aku harus menunggu matahari mengalah untuk bulan.

Siang hari sama sekali tak memberikan pengecualian. Sangat egois seperti manusia. Memang, malam adalah menakutkan bagi sebagian orang. Tapi malam merupakan harapan untuk orang-orang sepertiku.

Mereka yang terlelap di tempat layak sangatlah tertutup kesadarannya. Mereka tidur di atas ketidaktahuan mereka kalau ada manusia lain yang menderita di bawah.

Ujaranku ini hanya keluhanku yang tak pernah berhenti. Aku akan kembali masuk.

Aku menunggu bintang-bintang muncul di langit.

Mereka adalah penunjuk jalan untuk MJ.

MJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang