Pagi maupun siang telah usai. Aku sama sekali tak menyibukkan diri. Hanya berbaring di kasur berdebu. Memandangi tangan dan kakiku yang sangat kurus kering ini. Mungkin kelaparan penyebabnya.
Aku bahkan tidak tahu usiaku sendiri. Mengapa orang sepertiku masih bisa hidup? Apa ada orang yang masih mau membantuku untuk sedikit merasakan kehidupan?
Disini sepi setiap waktu. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada tetangga sebelah sehingga mereka bisa sesenyap itu. Lantunan suara telinga terus menggangu ku sekarang.
Mungkin ini insting hewan jalang sepertiku. Anehnya aku masih bisa berpikir sehat seperti manusia lainnya. Tetapi untuk mana yang baik atau buruk, aku masih bimbang.
Aku mulai sadar kalau seperti ini terus tak akan membawaku pada MJ. Dia tidak akan datang kalau aku bersikap begini terus.
Perempuan pasti menyukai pria yang bersih dan terawat. Setidaknya aku masih ingin menjadi manusia walaupun tidak utuh. Hanya untuk dia seorang.
Kakiku sebenarnya sudah tidak lemas. Karena untuk menghemat energi jadi aku membiarkan tubuh ini tergeletak begitu saja di kasur.
Kedua kaki ini ingin merasakan pijakan. Kemungkinan perintah dari otak. Niatku juga sudah persis, jadi aku bangun dan beranjak menjauhi kasur.
Aku berjalan menghampiri laci di pojok ruangan. Laci tua berwarna cokelat yang selalu kupakai untuk menyimpan barang penting.
Aku sudah ingat sekarang.
Bahwa ada sekitar 10 CAD di sana. Mungkin itu uang terakhir yang sesuai untuk membeli makanan. Benar saja, saat dibuka memang ada uang lembaran 10 CAD kumal.
Aku mengambilnya dengan perasaan bersyukur. Kemudian agar aman aku meletakkannya di kantong celana jeans yang sedang kupakai.
Ini satu-satunya celana bagus yang kupunya. Terakhir kali aku membeli pakaian bisa dibilang sekitar 3 tahun yang lalu. Semua pakaianku hampir tak pernah kucuci. Jumlahnya ada sekitar 6 pasang kaos dan 4 pasang celana.
Aku benar-benar tidak ingat bagaimana rasanya berbelanja pakaian. Kurasa mall adalah tempat bagus untuk menghabiskan uang.
Menurutku uang lebih berharga daripada waktu.
Aku bisa meluangkan waktu kapan saja jika aku punya uang. Sama hal-nya dengan tidak punya uang, kebanyakan orang akan mencarinya dengan susah payah. Tidak denganku, itu semua sia-sia. Pokoknya tidak akan ada yang pernah mengerti jalan pikiranku kecuali dia seorang.
Aku melihat sehelai topi di atas laci cokelat itu. Topi warna biru yang keluar tahun 90-an. Sudah berdebu karena dibiarkan menggangur.
Tanpa pikir panjang aku langsung mengenakannya. Untungnya aku masih punya jaket untuk menutupi bajuku yang robek-robek.
Entah kapan aku memiliki jaket sebagus ini. Walaupun gayanya kelihatan sudah kuno. Aku tetap bersikukuh untuk pergi ke luar rumah, siapa tahu aku punya petunjuk tentang MJ.
Ini adalah langkah pertama yang harus ku ambil. Aku ingin terus bertahan hidup, demi bisa selalu menemuinya. Jika menunggu bintang-bintang bertengger di langit akan memakan waktu lama. Tadi sudah kubilang, jaman sekarang waktu tidak berharga. Melainkan uang yang bisa dengan mudah membeli waktu.
Pemikiran ku ini tidak akan berubah.
Lagi-lagi aku merasakan bagaimana rasanya turun tangga. Di sudut sana ternyata ada sepasang sepatu yang masih layak pakai. Walaupun sedikit berlubang di bagian pinggirannya.
Aku akan menggunakannya untuk melindungi kakiku di jalanan sana. Untung saja aku masih punya ingatan tentang cara memakai sepatu. Kukira otakku ini akan berubah menjadi otak hewan.
Tidak, aku tetaplah manusia.
Selangkah demi selangkah aku menuju keluar. Matahari masih tak bosan menampakkan diri, aku lebih suka bulan.
Jalan lurus terpampang di depan mata pria kumal ini. Kini aku bisa merasakan bagaimana berjalan seperti manusia normal lainnya. Aku hanya ingin bertahan hidup. Seperti para manusia lainnya.
Menurutku bisa makan sehari saja sudah cukup untukku. Aku tak mengincar yang lebih dari itu. Makanya aku menyebut diriku manusia yang berbeda dari manusia lainnya. Mereka tidak hidup dengan insting, mereka hidup dengan akal.
Akal membuat manusia lupa diri.
Terkadang akal juga memberikan manfaat. Perjalanan ini tidak akan bisa terjadi kalau bukan karena akal. Aku punya sedikit akal. Tapi aku tak ingin punya banyak.
Tidak sadar aku telah berjalan jauh dari rumah. Tetapi aku bisa ingat jalan pulang lewat ingatanku. Di depan sana sudah terlihat beberapa manusia yang memperhatikanku dari kejauhan.
Mereka binatang jalang sama sepertiku. Tak mungkin sesama kawanan bergaduh. Aku melewati mereka dengan tatapan kosong. Mereka juga tidak peduli tentang keberadaanku. Mereka hanya ingin Tuhan lewat di tengah-tengah mereka.
Aku menyusuri gang-gang kecil penuh kesesakan dari orang-orang yang putus asa. Mereka hanya berharap mereka bisa mati tanpa merasakan penderitaan. Aku tidak begitu. Aku yakin penderitaan ini akan terus berkelanjutan sampai ke akhirat. Karena ragaku merasa tak layak.
Aku hanya mengkhawatirkan salah satu anak mereka yang tanpa dosa. Dia terlihat sangat kelaparan dan nyaris mati. Jika ada seseorang yang bertanya padaku kenapa kau ingin menjadi kaya, aku pasti akan menjawab untuk membantu orang miskin.
Pemandangan telah beralih ke sesuatu yang berubah. Dimana orang-orang dengan pakaian bagus berlalu-lalang memikirkan urusan mereka sendiri. Sebagian dari mereka melihatku dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
Akhirnya sepatu ini memijak jalanan yang bagus. Baju maupun celana ini bercengkrama dengan baju dan celana lainnya. Walaupun berbeda level, mereka sama-sama kumpulan benang.
Aku melihat toko swalayan yang tidak terlalu besar di seberang jalan. Dan kendaraan-kendaraan para orang layak juga terlihat berbaris di sepanjang jalan.
Aku biasa menyebut mereka dengan istilah itu.
Aku yakin banyak sumber makanan di dalam toko swalayan itu. Semoga saja orang sepertiku bisa masuk ke tempat bagus seperti itu.
Memang aku merasa terlalu sombong untuk tidak memakan makanan di tempat sampah. Tapi setidaknya wacana itu akan ku gunakan setelah aku benar-benar tak punya apa-apa lagi.
Aku tidak pernah memilih hidup seperti ini. Bahkan kawananku di luar sana. Saat melihat orang memakan makanan yang sudah dibuang ke tempat sampah saja sudah membuatku merasa kecewa. Aku merasa sudah gagal menjadi manusia yang baik.
Kenapa hanya orang-orang sepertiku yang diberikan rasa kasihan. Padahal orang-orang layak itu punya gedung-gedung yang tinggi. Rumah mewah dan makan tiga hari sekali. Kenapa mereka tidak punya rasa belas kasihan?
Hal yang terpenting saat ini adalah mementingkan diriku sendiri dulu. Kalau aku mati kelaparan, bagaimana caranya aku membantu mereka. Itu akan sama saja mati dengan dosa.
Toko yang semula terlihat kecil kini sudah nampak di depan mata. Akhirnya yang sangat mengejutkan, aku bisa melihat bagaimana rupa diriku sendiri lewat kaca depan toko itu.
Seorang pria yang tidak terlalu tua. Aku masih punya harapan hidup. Tetapi setiap hari aku tak mensyukuri itu. Bagi orang-orang kemudaan adalah kesempatan untuk melakukan sesuatu.
Tapi bagiku itu adalah penyiksaan. Aku tidak mau mati dengan cara bunuh diri, aku ingin mati normal seperti manusia lainnya.
Aku tetap ingin jadi manusia.

KAMU SEDANG MEMBACA
MJ
Mystère / ThrillerSetiap malam selalu sama, dia datang ke apartemenku lalu mengajakku mengobrol. Rasanya amat menyenangkan. Tetapi kesenangan itu tidak bertahan lama. Paginya dia selalu pergi entah kemana. Aku tak bisa menemukannya di manapun, dia hilang tanpa jejak...