Bagian Terpenting

72 15 0
                                    

            Isak tangis menyayat juga erangan kesakitan memenuhi ruangan itu, bersama benda-benda yang hancur berantakan. Di sudut ruangan, seorang anak laki-laki berusia lima belas tahun terbaring meringkuk, memeluk perutnya yang begitu nyeri setelah mendapat serangan bertubi-tubi. Sementara itu, orang yang menjadi pelakunya kini masih sibuk memukuli anak laki-laki lain: kakaknya.

"Kumohon ... hentikan...." Ibu terisak dengan nada yang begitu tersiksa. Membuat sang anak yang masih meringkuk memejamkan mata, merasa bahwa isakan ibunya itu lebih menyakitkan dibanding seluruh luka pada tubuhnya.

"Anak ini harus diberi pelajaran!" Teriak sang pelaku yang terus menyarangkan tinju. "Apa kau pikir karena usiamu sudah delapan belas tahun, kau bisa melawanku? Kau pikir aku tidak tahu rencanamu? Kau akan membawa keluargamu yang tidak berguna ini untuk pergi dariku, bukan?"

Ibu menyeret tubuhnya mendekati pelaku itu, membuat anaknya yang masih tidak bergerak dari sudut ruangan membelalakkan mata. Anak itu mencoba memanggil ibunya, tetapi suaranya tidak keluar. Apa yang harus ia lakukan?

"Hentikan!" Jerit Ibu. Tangannya menarik celana sang pelaku, memaksanya untuk mengalihkan perhatian. Karena memang itulah tujuannya.

"Diam kau!"

"Berhenti! Kau bajingan!"

PLAK!

Detik berikutnya hantaman bersarang di wajah Ibu. Membuatnya terpelanting tanpa ampun ke lantai yang dingin.

"Ibu!" Kedua anaknya berteriak kalap.

Setelah itu segalanya menjadi semakin kacau. Pukulan demi pukulan mengudara, sementara jeritan berubah menjadi permohonan tanpa daya. Puncaknya adalah ketika kakaknya tak lagi mampu melawan. Kesadarannya mulai timbul tenggelam, tetapi matanya masih menatap nyalang.

Anak laki-laki yang berada di sudut ruangan itu menangis. Apa yang harus dilakukannya? Dua orang yang dicintainya akan mati. Apa yang harus dilakukannya?

Lalu matanya menangkap kilauan sebuah benda yang tergeletak tak jauh darinya.

Sebuah pisau.

Ketika sang pelaku masih sibuk mengamuk dan berteriak, anak laki-laki itu mulai bergerak. Perlahan, dengan sangat perlahan, ia mendekati pelaku itu. Dengan pisau di tangannya. Dan begitu jarak mereka sudah dekat....

***

Dareson terbangun dengan napas berkejaran. Jantungnya berdetak begitu cepat, seolah berusaha keluar dari tubuhnya. Jam digital di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 2 dini hari.

Bahkan setelah empat belas tahun berlalu, mimpi itu masih mendatanginya.

Mimpi yang sesungguhnya bukanlah sebuah mimpi.

Menghela napas, Dareson menarik rambutnya kuat-kuat. Tiba-tiba saja segalanya menjadi terlalu berlebihan untuk ditanggungnya. Ia merasa lelah. Amat lelah.

Lalu apa yang harus dilakukannya?

Gadis itu. Dareson harus bertemu dengannya. Karena sungguh, dua minggu terakhir adalah neraka yang tidak ingin ia rasakan lagi seumur hidup. Mungkin ini yang dinamakan candu. Sebelum mengenal gadis itu, Dareson mampu menanggung apa pun. Sepuluh tahun yang dijalaninya bersama hantu-hantu itu adalah buktinya. Namun, kini, dua minggu tanpa kehadiran gadis itu saja sangat menyiksanya. Dareson membutuhkannya seperti pecandu yang membutuhkan obatnya.

Dareson membutuhkan gadis itu.

Membaringkan tubuh, Dareson memutuskan untuk mengakhiri penderitaannya. Entah penyesalan atau kebahagiaan yang akan ia rasakan di akhir nanti, Dareson tidak peduli.

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang