Epilog

181 22 0
                                    

New York City, Maret 2020

"Baiklah, pelajaran hari ini selesai. Sampai jumpa besok!"

Ucapan Hester menjadi penutup kelas menarinya sore itu. Anak-anak dengan usia berkisar tujuh tahun hingga duabelas tahun mengucapkan terima kasih, juga melambai sebelum akhirnya keluar dari ruangan.

Hester membalasnya dengan senyum lebar.

Sudah enam bulan sejak Hester memutuskan untuk mengajar di sebuah studio tari yang berada tak jauh dari apartemennya. Entah mengapa, Hester kehilangan minat untuk melakukan pertunjukan ke berbagai negara seperti yang dulu diinginkannya. Saat ini Hester hanya ingin menikmati waktunya. Dan pilihan Hester jatuh pada mengajar. Hester tidak pernah menyangka ia akan mencintai dunia mengajar sebesar itu.

Ponsel Hester berdering. Telepon dari Dareson.

"Halo?" sapa Hester. Tangannya masih sibuk membereskan tas.

"Kelasmu sudah selesai?" tanya Dareson.

"Hm. Aku baru saja akan pulang," jawab Hester. "Ada apa?"

"Aku menunggumu di depan. Kita akan makan malam di rumah Bibi Liv. Rallga juga akan datang."

Hester tersenyum. Makan malam di rumah bibi Dareson adalah salah satu rutinitas baru mereka. Kini, setelah Hester memutuskan untuk bekerja di New York, Dareson pun memilih untuk pindah kembali. Dareson membuka restoran baru di pusat kota, sementara restorannya di Jakarta dipercayakan kepada asistennya. Hubungan mereka berjalan lancar. Dan meskipun Dareson selalu mengeluh karena pengaturan hidup mereka—Hester hanya mau tinggal di rumah Dareson ketika libur mengajar—segalanya berjalan dengan sempurna.

"Tunggu sebentar. Aku akan keluar sekarang," balas Hester sebelum memutuskan sambungan.

Ketika akan berjalan keluar dari kelas, Hester melihat seorang gadis kecil masih duduk di sudut ruangan. Hester mengenalnya. Gadis kecil itu bernama Daisy, usianya baru sepuluh tahun. Dan wajahnya secantik namanya.

"Daisy, apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau tidak pulang?" tanya Hester setelah berada di dekat gadis kecil itu.

"Aku tidak mau pulang," jawab Daisy.

"Apakah terjadi sesuatu? Kau bisa menceritakannya padaku," ucap Hester lembut.

"Kakakku membenciku," sahut Daisy lirih. Bibirnya mulai bergetar.

Hester mengulurkan tangan dan mendongakkan wajah mungil di hadapannya.

"Mengapa kau berpikir kakakmu membencimu?"

"Aku merusak boneka kesayangannya pagi ini dan dia tidak mau bicara padaku. Aku ... aku menyayanginya. Aku tidak ingin dia membenciku. Kakakku adalah satu-satunya sahabatku."

Tersenyum, Hester berkata, "Minta maaf padanya dengan tulus. Setiap kakak pasti menyayangi adiknya dan kakakmu pasti begitu. Dia akan memaafkanmu."

"Bagaimana kau bisa yakin?" tanya Daisy ragu.

"Karena aku juga memiliki kakak," jawab Hester ringan.

"Tapi ... aku takut. Tidak ada yang menolongku. Aku takut," bisik Daisy.

Masih tersenyum, Hester menyentuh kedua bahu Daisy dengan lembut.

"Kau tidak bisa mengharapkan seseorang akan selalu datang dan menolongmu. Ada kalanya kau harus berjuang sendiri. Kau hanya perlu berhenti menyalahkan diri sendiri, lalu mulai berdiri. Tidak ada yang mustahil, karena hantu paling gelap pun akan takut pada cahaya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang