Pembicaraan Tengah Malam

71 20 0
                                    

Hester berbalik menghadap Dareson. Kekasihnya itu tertidur dengan wajah terbenam di bantal, sementara punggungnya yang telanjang terpampang jelas. Perlahan, Hester membawa tangannya untuk menyusuri punggung itu. Bahkan di dalam kegelapan kamarnya, Hester merasa masih bisa melihat tato itu.

"Mengapa kau tidak tidur?" tanya Hester lembut.

"Bagaimana kau tahu aku tidak tidur?" balas Dareson.

"Punggungmu kaku ketika kusentuh," jawab Hester.

Dareson tersenyum. "Ada bagian lain yang juga kaku ketika kau sentuh."

"Dareson!"

Mengulurkan tangan, Dareson membawa Hester ke pelukannya. Tubuh mereka lekat hingga detak jantung mereka terasa berdetak seirama.

"Kau kedinginan?" tanya Dareson.

"Aku memiliki pemanas ruangan. Kau lupa?" balas Hester.

Dareson menghela napas. "Rasanya aku ingin menyumpal mulut pintarmu itu."

Tertawa, Hester menanamkan kecupan manis di dada Dareson.

"Terima kasih sudah membawaku ke rumah Livia hari ini. Aku sangat bahagia. Ini adalah ulang tahun terbaik yang pernah kumiliki," ucap Hester lembut.

Setelah Dareson dan Rallga selesai bicara, mereka merayakan ulang tahun Hester dengan kue ulang tahun yang dibeli Elec juga Valerie. Pantas saja dua anak itu pergi di tengah-tengah makan siang. Lalu mereka menghabiskan hari untuk mengobrol dan bermain bersama Reese, anak Rallga. Segalanya berjalan sangat sempurna bagi Hester. Ia kembali merasakan kehangatan keluarga.

"Aku akan membuat ulang tahunmu menjadi yang terbaik setiap tahunnya," sahut Dareson penuh percaya diri.

Tawa Hester kembali lepas. Namun, ia tidak mengatakan apa pun, hanya memeluk Dareson semakin erat. Karena apa yang dikatakan Dareson adalah benar. Selama Hester memiliki Dareson, segala momen akan menjadi yang terbaik.

Tiba-tiba saja Hester teringat pada ayahnya. Pada sosok bijak yang selalu ada untuknya. Hester merindukannya.

"Hei, ada apa?" tanya Dareson ketika merasakan dadanya basah.

Hester menggeleng. "Maafkan aku."

"Ada apa, Hester?" tanya Dareson cemas. "Apa yang membuatmu sedih?"

"Aku tidak sedih. Aku hanya merindukan ayahku," jawab Hester.

Dareson terdiam. Tangannya kembali memeluk Hester, sementara bibirnya mendaratkan kecupan di puncak kepalagadis itu.

"Dia adalah ayah terbaik di dunia, Dareson," bisik Hester. "Dia membiarkanku menari meskipun itu membuatnya berada dalam masalah. Dia adalah pekerja keras dan selalu sibuk, tetapi tetapi memiliki waktu untuk anak-anaknya. Dia adalah pria paling tegas, sekaligus penyayang. Aku sangat menyayanginya. Dan... aku... merindukannya."

"Aku yakin dia pun merindukanmu, Hester. Namun, kau sudah memiliki aku sekarang. Aku akan menjagamu," sahut Dareson menenangkan.

Hening. Hester membiarkan dirinya menangis selama sesaat.

"Aku benar-benar gadis bodoh kekanakan," gerutu Hester seraya menghapus air matanya.

Tertawa, Dareson membalas, "Benar. Dan kau adalah gadis bodoh kekanakan yang aku cintai."

Hester tersenyum. Tiba-tiba, entah datang dari mana, benak Hester menampilkan sesosok pemuda berambut pirang. Hester teringat pada Elec.

"Dareson, apa kau tahu tentang Elec? Apa yang terjadi pada orangtuanya?" tanya Hester.

"Mengapa kau tiba-tiba ingin tahu tentangnya? Kau tidak berencana untuk menduakanku, bukan?"

Hester memukul dada Dareson. "Berhenti bercanda. Aku serius. Anak itu terlalu pemurung untuk anak seusianya. Hanya bicara pada Valerie. Aku sedikit khawatir."

"Elec baik-baik saja. Dia memang seperti itu sejak dulu. Mungkin karena dia merasa Valerie yang paling mengerti, karena itu dia selalu mengikuti ke mana pun Valerie pergi. Kami menjulukinya sebagai bayangan Valerie."

"Lalu apa yang kau tahu tentangnya? Tentang keluarga kandungnya, maksudku."

Dareson menghela napas. "Yang kutahu hanyalah ayah Elec bertengkar dengan kakek Elec. Pertengkaran itu diakhiri dengan kematian kakek Elec. Ia terjatuh karena didorong dan kepalanya terbentur keras. Ayah Elec masuk penjara, sementara ibu Elec bunuh diri. Saat itu Elec adalah teman sekelas Valerie dan karena tidak ada keluarga lain yang bisa mengurusnya, Valerie memohon agar Bibi Liv mengadopsinya."

Tubuh Hester membeku.

"Ayah Elec membunuh ayahnya sendiri?" gumam Hester tidak percaya. "Bagaimana bisa seorang anak melakukan itu? Astaga, benar-benar manusia tanpa hati! Aku benar-benar membenci orang seperti itu!"

Dareson tidak menjawab. Lama. Hingga akhirnya Hester mendongak.

"Dareson? Apa kau tertidur?" tanya Hester.

Dareson masih tidak menjawab, tetapi seluruh tubuhnya menjadi kaku.

"Hei, Dareson. Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?" Nada suara Hester semakin cemas.

"Aku mengantuk. Bisakah kita tidur sekarang?" balas Dareson pelan.

Hester merutuki kebodohannya. Tentu saja Dareson lelah. Setelah perjalanan tiga puluh jam, Dareson langsung mengajaknya pergi ke rumah Livia. Lalu mereka pulang ke apartemen Hester dan melepas rindu. Bagaimana mungkin Dareson tidak lelah?

"Tidurlah, Dareson. Selamat malam," bisik Hester lembut.

Dareson tidak menjawab. Hanya memeluk Hester semakin erat. Menit demi menit berlalu dengan keheningan. Hester sudah lelap dalam tidur, tetapi Dareson masih terjaga. Benaknya dipenuhi jeritan tanpa daya.

Untuk kali pertama, Dareson benar-benar berharap hantu-hantunya tetap hanya menghantuinya.

Tanpa sekali pun menampakkan diri.

Lalu menghancurkan segala sesuatu yang sudah dibangunnya.

***

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang