Prolog

4.3K 144 19
                                    

New York City, Mei 2012

"Maafkan aku, Mrs. Evans. Aku ... tidak bisa menerima tawaranmu."

Ucapan itu begitu berat untuk disuarakan. Bersama rasa kecewa yang menyisip secara perlahan, dibayangi oleh luka sayatan akan ketidakberdayaan.

"Mengapa, Hester?" tuntut Livia Evans. "Kau adalah penari paling berbakat yang kutemui selama tiga tahun terakhir. Aku yakin kau bisa mengejar teman-temanmu yang sudah lebih dulu belajar di Julliard. Aku sendiri yang akan memastikannya. Aku akan mengajarimu seluruh teknikku. Mengapa kau menolakku?"

Sungguh, tidak ada rangkaian kalimat yang lebih menyiksa Hester selain kalimat itu. Menatap wanita anggun di hadapannya, Hester kembali mengulang ucapannya: maaf dan tidak bisa.

"Apa kau tidak bisa memikirkannya kembali, Hester? Aku benar-benar menggantungkan harapanku padamu—"

"Maafkan aku, Mrs. Evans," sela Hester. Nada suaranya bergetar ketika ia mengatakan, "Aku harap kau menemukan penari lain yang lebih baik dan ... tidak akan menolakmu. Terima kasih banyak atas kesempatan yang sudah kau berikan. Selamat tinggal."

Angin musim semi bertiup, menerbangkan helai-helai rambut cokelat keemasan Hester saat gadis itu berbalik. Kakinya melangkah menyusuri halaman luas dengan berbagai bunga yang bermekaran, sementara matanya menatap pada gerbang besar di hadapannya dengan pandangan yang mulai mengabur.

Langkah demi langkah berhasil Hester ambil sampai tangisnya tak terbendung lagi. Menepikan tubuhnya hingga rapat pada dinding sebuah toko pastry, akhirnya Hester membiarkan isakannya terurai udara. Hester tidak peduli pada tatapan aneh orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak mengerti rasa sakit yang kini Hester rasakan. Mereka tidak mungkin mengerti betapa hancurnya hati Hester karena gadis itu telah melepaskan satu-satunya kesempatan untuk meraih cita-citanya.

Susah payah Hester kembali melanjutkan langkah. Mobilnya terparkir di seberang jalan. Ia harus segera pulang. Karena saat ini, yang Hester butuhkan adalah ayahnya, juga kakaknya. Mereka adalah alasan Hester hidup, sekaligus alasannya melepaskan impian.

Tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja. Semua ini untuk kebaikan Ayah dan Javier. Aku tidak bisa membiarkan mereka menderita karena keegoisanku, batin Hester.

Namun, langkah Hester yang limbung menyebabkan gadis itu terjatuh. Tangannya yang berusaha menahan tergores aspal hingga menimbulkan rasa perih, membuat Hester kembali menangis. Di tengah suara percakapan, orang-orang yang berlalu-lalang, juga peperangan batin di dalam dirinya, terdengar sebuah suara.

"Kau baik-baik saja?"

Hester mengerjap, berusaha menjernihkan pandangan. Hal pertama yang Hester lihat adalah sebuah uluran tangan. Gadis itu menarik mata cokelatnya ke atas untuk menyusuri tangan tersebut hingga sampai pada wajah pemiliknya.

Dan, Hester tidak bisa bernapas.

Orang yang berdiri di hadapannya adalah seorang pria berusia awal dua puluh tahun. Mungkin seusia dengan kakak Hester. Rambutnya sehitam arang sementara matanya berwarna biru. Biru yang terlihat begitu gelap. Bukan karena warnanya, tetapi karena penderitaan yang seakan dijeritkannya.

Lagi, Hester mengerjap. Apa yang baru saja dia pikirkan? Otaknya jelas mulai melantur karena dia membayangkan hal-hal tidak masuk akal.

"Kau baik-baik saja?" ulang pria itu. Kali ini dengan nada lebih cemas.

"Oh," gumam Hester. Tersadar dari lamunannya. "Aku...."

Tidak baik-baik saja. Itu yang ingin Hester katakan, tetapi ia tidak bisa mengatakannya pada orang asing, bukan? Ia juga tidak ingin berbohong, sungguh terlalu lelah berpura-pura tidak memiliki masalah ketika masalah itu hadir di setiap tarikan napasnya. Maka diam yang dipilih Hester sebagai jawaban.

Pria itu berdeham, tangannya masih terulur. "Bisakah aku membantumu untuk berdiri?"

Hester mengulurkan tangan kanannya, langsung berjengit tatkala merasakan rasa perih yang menusuk.

"Tanganmu terluka," ucap pria bermata biru itu. Ia membawa Hester menuju tempat duduk yang berada di depan toko kue, lalu berkata, "Tunggu di sini. Aku akan segera kembali."

Hester yang terlalu bingung tidak sempat menjawab. Lima menit, sepuluh menit berlalu. Hingga dua puluh menit kemudian, saat Hester merasa sudah cukup menunggu dan bangkit berdiri, pria itu kembali dengan sebuah bungkusan dari apotek. Napasnya berkejaran dan titik-titik keringat mulai menghiasi wajahnya.

"Sudah kubilang aku akan kembali, bukan?"

Hester duduk. Terus menatap pria di hadapannya dengan bingung. Karena sungguh, apa yang sebenarnya dilakukan pria setampan itu di hari yang indah ini? Menolong seorang gadis tidak dikenal dengan wajah sembap juga tangan yang terluka? Benar-benar tidak masuk akal.

Namun, pada kenyataannya, itulah yang pria itu lakukan. Dengan cekatan ia membersihkan luka Hester, lalu menutupnya dengan plester bergambar Mickey Mouse. Diam-diam Hester tersenyum.

"Sudah selesai," gumam pria itu seraya mendongak. Matanya melebar ketika melihat senyum Hester.

"Terima kasih," ucap Hester tulus. Masih dengan senyum tipis terulas.

Kali ini pria itu yang kehilangan kata. Tangannya masih memegang tangan Hester dan ketika ia menundukkan kepala, ia kembali melihat sebuah tanda lahir yang ada di pergelangan tangan Hester. Tanda itu berwarna merah muda, membentuk sebuah garis sepanjang kurang-lebih tiga sentimeter, dan meliuk di bagian ujungnya. Hingga selintas lihat, tanda itu menyerupai tato.

"Mmm ... bisa kau melepaskan tanganku?" tanya Hester.

Pria itu langsung melepaskan genggamannya. Sesaat mereka terdiam. Menatap ke segala arah, kecuali pada orang yang berada di hadapan mereka. Sampai akhirnya sebuah pertanyaan dilontarkan pria itu.

"Mengapa kau menangis?"

Hester menoleh. Terkejut ketika menemukan kesungguhan dalam mata biru yang balas menatapnya.

"Aku...." Hester menarik napas. "Aku melepaskan impianku."

Lalu mengalirlah kisah Hester. Bagaimana ia terlahir dengan takdir yang tidak bisa diingkari, tentang pilihan yang harus diambil, juga rasa sakit yang kini menyelimuti hati.

"Namun, aku akan baik-baik saja," ucap Hester menutup cerita. "Setelah ini, aku akan baik-baik saja."

Pria di hadapannya masih belum merespons. Membuat Hester memainkan kukunya yang dicat hijau muda dengan gugup. Apa Hester sudah terlalu banyak bicara? Biar bagaimanapun, mereka baru saja bertemu. Rasanya sangat berlebihan menceritakan segala masalahnya, meskipun orang itu sendiri yang bertanya.

"Jangan menyerah sebelum kau mencobanya."

Hester tertegun. Ucapan pria itu menggema dalam benaknya. Ucapan yang sangat sering didengarnya dari dua orang paling penting dalam hidupnya, ayahnya dan kakaknya.

Pria itu melanjutkan, "Ketika kau menyerah, hanya akan ada satu hasil: kegagalan. Namun, ketika kau berusaha, kau masih memiliki kemungkinan untuk berhasil. Karena itu, jangan menyerah sebelum kau mencobanya."

Hening. Hester membiarkan mata cokelatnya kembali tergenang air mata. Karena apa yang dikatakan pria itu benar. Dan, Hester sudah menyerah bahkan sebelum mencoba bicara dengan keluarganya. Mengapa Hester begitu mudah melepas impiannya? Seharusnya Hester menanyakannya terlebih dahulu pada ayahnya juga kakaknya. Bisakah ia berhenti sekolah bisnis dan menjadi penari? Hester bahkan belum mengetahui jawabannya, tetapi sudah memutuskan untuk menyerah.

Dengan cepat Hester meraih tas. Tubuhnya berdiri seiring dengan ucapan terima kasih yang ia ucapkan. Setelah itu, ia berlari menyeberangi jalan menuju mobilnya.

Tanpa menyadari pria yang ditinggalkannya di belakang masih terus menatapnya dengan berjuta tanya.

Dan, yang paling utama adalah ... mengapa mereka tidak bertukar nama?

***

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang