1

278 42 5
                                    

Gadis manis berkacamata tengah duduk di bangku cafe. Dia tidak sendirian, di hadapannya seorang pemuda tampak duduk bersandar pada kursi menatap dirinya. "Kamu mau putus?"

"Lea?" Pria itu Arka, sedikit tekejut dengan ungkapan gadis yang satu setengah tahun ini dipacarinya.

"Kamu beda, Ka. Ada sesuatu di diri kamu yang bikin hubungan kita nggak nyaman." Namanya Alea, gadis mandiri yang seringkali mengandalkan buku sebagai temannya.

Sejenak Arka tertegun, ditatapnya perempuan itu lama. Akhir-akhir ini dia memang sedikit merasa bosan dengan hubungan mereka, yang terkesan hambar dan biasa saja. Tapi bukan ingin berpisah juga.

Satu setengah tahun yang lalu, Arka mengutarakan perasaannya pada gadis itu karena sudah merasa dekat, saling mengerti satu sama lain. Alea yang begitu sabar dan pengertian membuatnya jatuh sayang. Tidak ada kesulitan berarti, Alea langsung menerimanya. Tapi bukan gadis itu sebenarnya yang dia suka.

"Aku tau kamu bosen, Ka. Nggak usah merasa nggak enak kalo emang mau pisah, aku nggak apa-apa kok. Daripada terus-terusan kaya gini." Alea berucap lagi, tentang yang ingin dibicarakan sore ini  dia sudah merencanakan jauh-jauh hari.

Arka seringkali sulit dihubungi, tidak memberi kabar sampai beberapa hari. Padahal rumah mereka terbilang dekat, Alea merasa isi pesan di ponselnya dengan pria itu sudah terlalu dingin. Mereka mulai merasa asing.

Pria di hadapannya itu masih diam. Alea menghela napas, kemudian kembali berkata, "beberapa bulan aku bertahan dengan ketidak pastian, hubungan kita nggak seperti pasangan. Kita mungkin perlu waktu untuk saling sendiri dulu."

Iya, mungkin memang seperti itu. Arka perlu waktu untuk sendiri dulu. "Aku cuma lagi males ngapa-ngapain aja," ucapnya.

"Ya mangkanya itu, lebih baik kita istirahat dulu, kalo ada perempuan yang bisa bikin kamu lebih nyaman ya silahkan. Silfi misalkan."

Arka yang semula memandangi gelas di hadapannya, beralih pada wajah Alea yang kini menatapnya datar. "Jangan jadikan hal itu sebagai alasan kamu mutusin aku, Lea."

"Aku nggak mutusin kamu." Alea menyangkal. Dia tahu, Silfi adalah gadis yang pernah disukai kekasihnya, hanya karena Silfi lebih dekat dengan Bian, sahaba Arka. Dia lalu berpaling pada dirinya, setidaknya itu yang Alea rasakan selama menjadi pasangan Arka. "Aku cuma mau membuat kesepakatan," imbuhnya.

"Kesepakatan untuk berpisah?" Arka menegakkan duduknya, melipat lengannya di atas meja. "Kalo misal aku ternyata nggak bisa lupain kamu, gimana?" tanyanya.

Alea tertegun, tatapan pria itu membuatnya memalingkan wajah. Dia selalu merasa lemah. "Aku nanti bantuin kamu buat lupain aku kok," ucapnya tanpa menoleh. "Berpisah dari aku yang biasa aja tuh gampang, Ka."

Arka mengulas sedikit senyum. "Kamu udah ada cowok yang bisa bikin kamu nyaman, yah? Dafa misalkan," tanyanya.

Mendengar itu Alea menoleh, kemudian menghela napas. "Jangan jadikan itu alasan buat kamu merasa jadi korban, aku sama Dafa bahkan nggak berteman."

Beberapa saat berlalu, keduanya memilih untuk saling diam. Mungkin mereka juga sadar, tengah mencari-cari kesalahan atas hubungan keduanya yang terasa hambar.

"Kita putus aja, Ka. Mungkin itu yang terbaik," ucap Alea akhirnya. Meski terdengar sedikit ragu, keputusan ini bukanlah hal yang baru. Dia sudah memikirkannya sepanjang waktu berlalu.

Lekat Arka menatap gadis itu dengan masih memilih bungkam, ada perasaan berat yang mengganjal di dalam hatinya. Mungkin karena sang mami begitu menyayangi gadis itu. Sepertinya iya.

"Jika memang itu yang terbaik, yaudah. Tapi ada syaratnya."

"Syarat apa?"

"Ajarin aku buat lupain kamu."

***

Arka menaiki motor menuju rumah, setelah mengantarkan Alea yang beberapa menit sebelumnya, telah resmi menjadi mantan. Entah kenapa dia merasa masih punya tanggung jawab pada gadis itu, mungkin karena sudah begitu mengenal papanya. Pria itu sering berpesan agar dia menjaga putrinya. Tapi setelah hari ini, semuanya akan berbeda.

"Arka!" Sebuah panggilan membuat si empunya nama menghentikan langkahnya kemudian menoleh. Sena, sepupunya itu muncul dari arah dapur, berlari menghampirinya. "Buku Alea, entar lo kasih ya," ucapnya dengan memberikan benda tebal ke tangan pria di hadapannya.

Arka sesaat terdiam, tali tasnya yang sempat merosot dari pundak kembali ia naikkan. "Lo kasih aja sendiri," ucapnya dengan mengembalikan buku di tangannya pada gadis itu.

Sena mengernyit. "Emangnya kenapa?" tanyanya heran. "Lo ada masalah ya?" desak gadis itu.

Arka berdecak malas, lalu menduduki sofa untuk melepaskan sepatunya. "Kita udah putus," ucapnya.

"Apah!" Sena yang merasa terkejut ikut duduk di sebelah pemuda itu dengan menaikkan kedua kakinya ke atas sofa. "Lo bercanda?"

Arka menggeser duduknya. "Gue lagi nggak ada alasan buat bercanda sama lo," ketusnya.

Sena berdecih sinis. "Aneh banget lo, kurang apa Alea, udah cantik, pinter. Bodoh banget jadi cowok." Gadis itu menoyor pipi sang sepupu di hadapannya. Meski bukan teman akrab, dia mengenal Alea yang adalah gadis baik-baik.

"Apaan si, orang dia yang mutusin gue."

"Lo nya aja kali yang ngeselin."

"Gue mana pernah ngeselin sih."

"Yee nggak nyaadar." Sena memukul lengan Arka dengan buku tebal di tangannya.

"Sakit, wooy." Pria itu mengeluh.

"Gue bilangin tante pokoknya." Sena hendak meloncat dari sofa yang ia duduki, saat pria itu lalu menarik sebelah kakinya. Dia jadi terjatuh. "Arka!" murkanya.

"Gue abang lo, wooy." Arka mengingatkan, dua tahun lebih tua dari gadis itu, sudah seharusnya Sena bersikap sopan pada dirinya.

"Bidi imiit." Sena kembali bangkit dan berniat ke dapur untuk mencari sang tante, namun pria itu menarik bagian belakang kausnya hingga dia kembali terduduk.

"Jangan bilangin mami," pesan Arka. Atas kabar putus hubunganya dengan Alea, wanita itu pasti akan menjadi orang yang paling kecewa.

"Tante!" Sena sempat berteriak sebelum pria itu membungkam mulutnya dengan telapak tangan.

"Kelien besa nggak seh, seheri eje ngge berentem." Wanita yang dipanggil tante itu muncul dari arah dapur. Kulit wajahnya tertutup masker hitam yang membuatnya menjadi seram.

"Ih, Tante." Sena yang terkejut nyaris melemparkan buku di tangannya pada wanita itu.

"Mami ngapain si, siang bolong begini pake masker?" Arka yang juga kaget melihat wajah sang mami memutuskan untuk bertanya, sengaja ingin mengalihkan suasana agar Sena tidak membahas tentang kabar putusnya.

"Edem." Wanita itu menjawab dengan hati-hati, wajahnya yang terasa kaku membuatnya kesulitan untuk berbicara. Dia lalu bertanya kenapa Sena memanggilnya.

"Nggak apa-apa kok, Mi." Dengan cepat Arka menjawab. Merangsek maju menutupi tubuh Sena yang duduk di sebelahnya.

"Itu loh, Tante-" Sena memutus kalimatnya, saat Arka merapatkan punggung ke tubuhnya membuat ia terhimpit di sudut sofa. "Iih." Gadis itu mendorong kepala pria di hadapannya. "Arka putus sama Lea, Tante," akhirnya.

Hening.

Arka dapat melihat sang mami tengah mencerna kalimat Sena, mungkin tidak percaya.

"Apah!?"

"Ar-ka pu-tus sa-ma Al-ea." Sena mengulang kalimatnya dengan mengeja. Arka tampak pasrah di sebelahnya.

"Kok bisa!?"

Bentakan itu membuat keduanya sedikit terlonjak. Arka menyikut kan lengan pada gadis di sebelahnya, mengomel tanpa suara.

Sena sedikit menyesal saat sang tante meraung seperti orang menangis, dia tentu tidak menyangka reaksi wanita itu akan sedemikian lebaynya. Siapa yang putus cinta siapa yang menangis. "Tante kenapa?" demi ikut merasa iba, dia lalu bertanya.

"Masker tante rusaak."

Lah.

Selepas Kau Pergi (Tamat DI KBMAPP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang