Xavier Jevano Baskara. Si pendiam kesayangan Bunda. Si pendiam yang selalu digilai anak SMA Angkasa. Si pendiam yang selalu memendam segala rasa dan emosi. Si pendiam yang paling mandiri, paling cerdas, dan paling terpuji.
Namun Jevano tetaplah manusia, ialah yang paling rapuh di antara para saudaranya.
Ialah yang sering terjaga hingga pagi datang hanya untuk menanggapi ramainya suara dalam tempurung kepalanya.
"Jev, tidur." Suara Bunda mengetuk gendang telinga pemuda berparas tampan dengan usia yang baru beranjak 17 tahun. Baru saja kemarin, hingga ia belum sempat pergi ke kecamatan untuk membuat kartu tanda penduduk.
Dada Jevano berguncang, ia langsung menarik selimut tebalnya hingga kepala. Untung saja ia sudah mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu tidur.
Harusnya Bunda tidak tahu.
Namun, kenop pintu malah terputar, membuat pelipisnya mengeluarkan peluh secara tak sadar. Dadanya naik turun tak karuan, hingga pemuda itu harus menarik napas panjang untuk menormalkannya.
Tepi kasurnya berdecit lirih, Bunda duduk di sana. Tangannya pergi ke kepala Jevano, mengusap surai legam halus itu, membuat Jevano bersikap senetral mungkin menunjukkan bahwa dirinya telah terlelap.
"Bunda tahu kamu belum tidur, masih pura-pura? Dikira Bunda nggak tahu apa kalau kamu tidurnya jam empat pagi?"
Deg. Jujur Jevano kaget. Ia rasa tiap jam sepuluh, kala lampu sudah dimatikan, semuanya beranjak tidur. Termasuk Bunda, kecuali dirinya. Namun, Jevano salah?
Kok bisa...?
Sudah kepalang tertangkap basah, pemuda itu membalikkan tubuhnya sehingga berhadapan dengan Bunda yang terkena cahaya lampu tidur di nakas sebelah tempat tidurnya.
"Kenapa? Ramai, di sini?" tanyanya sambil mengusap kepala anak bujangnya.
Jevano mengangguk lemah. "Bunda tahu darimana?" lirihnya bertanya. Ini sudah lewat jam dua belas. Yang artinya sudah berganti hari.
"Karena Bunda juga sering merasa ramai. Dan, apalagi kalau bukan karena Bunda sayang sama anak ganteng Bunda yang satu ini?"
Jevano tersenyum tipis. "Mereka selalu ngomong yang aneh-aneh Bunda, bikin kepala Jevan rasanya mau pecah. Bikin Jevan pusing, bikin Jevan nggak bisa buat tidur karena selalu mereka cegah. Selalu mereka paksa untuk menanggapi mereka semua. Bun, Jevan capek. Berisik banget, Bun. Jevan juga mau tenang."
Bunda mengulum bibir sebelum mengangkat kakinya ke kasur yang Jevano tiduri. "Bunda tidur di sini ya?" Netra Jevano berbinar meski dalam gelap. Ia mengangguk cepat, sudah lama rasanya tidak tidur bersama Bunda. Bersama sayang yang menenangkan segala pikiran yang membuat kepalanya ingin pecah.
Bunda merengkuh anaknya yang sudah bukan bayi lagi, ia mengusap surai legam itu dengan lembut sambil sesekali meniupinya. Hingga lama-lama kantuk mendatangi Jevano, membuat pemuda itu memejam, dan pergi menjemput mimpi dalam alam bawah sadarnya.
"KalauBunda udah nyusul Om Tara, kamu baik-baik ya di sini. Kalau Ayah baik, tinggalsama Ayah. Jangan merasa ramai dalam pikiran, kamu juga harus merasa hangat,Jev. Good night, sayangnya Bunda. Have a nice dream," Kemudiandikecupnya kening Jevano sebelum Bunda beranjak dari sana ketika ia merasaJevano sudah benar-benar terlelap dalam tidurnya.
- tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunda dan Semestanya [COMPLETE]
Ficción GeneralKisah si kembar Baskara yang harus menelan pahitnya kehilangan pusat orbit dari hidup mereka. Kepada Juna, Jevan, Harsa, dan Naresh, jangan putus asa. Orbitmu selalu ada, tidak hilang. Hanya saja, Tuhan memiliki cinta yang lebih besar.