Berkumpul, Menjadi Lengkap Walau Sesaat

164 15 0
                                    

Radika Baskara. Sosok yang nama belakangnya dijadikan sebagai marga anak-anaknya. Lelaki berumur 40 tahunan itu terbalut kemeja floral berwarna baby blue dengan paduan celana kain biru dongker. Di sebelahnya, ada sang sulung bermarga Baskara.

Sabulan Arjuna Baskara. Juna panggilannya. Menjadi si paling kuat dan si paling bijak. Tinggal berdua dengan sang Ayah selama kurang lebih sepuluh tahun bukanlah hal yang mudah baginya. Ayahnya seorang workaholic yang tentunya jarang sekali berada di rumah. Sedangkan rumah Bunda jauh dari kediaman sang Ayah, hampir beda kota karena sama-sama berada di ujung.

Tiga tahun awal ia hanya tinggal bersama sang Ayah, ia hampir mendapat ibu tiri dengan dua anak perempuan. Namun, berhasil ia gagalkan karena kedok busuk calon Ayahnya terkuak, bahkan disaksikan oleh Ayahnya sendiri.

Hal itu membuat Dika, sampai saat ini masih sendiri. Itu juga berpengaruh kepada Juna yang seakan-akan merasa dirinya hanya anak tunggal yang kesepian. Tongkrongannya kalau tidak Ruang OSIS ya Kafe Hana - kafe dekat perumahannya. Berteman dengan lima orang yang selalu ada, membuatnya tak begitu kesepian dua tahun terakhir.

Hari ini akhir pekan, semalam Jevano menelponnya. Katanya, Bunda merencanakan piknik bersama. Kalau Ayahnya tidak bisa, Bunda dan para saudaranya yang akan mengunjungi rumah. Naresh juga sempat berbincang, kalau ia merindukan piano putih di sudut ruangan.

Piano itu masih bersih, selalu Dika rawat. Kadang juga ia mainkan, meski harmoninya tak seindah permainan Nareshwara.

"Yah, Ayah sibuk nggak?" Dika menggeleng, membuat Juna bisa menapas lega.

"Piknik yuk? Bunda ngajakin semalam,"

Ayahnya mengangguk. "Ayah tahu. Malam tadi Bundamu juga nelfon. Tapi, Bundamu ngide katanya main di rumah aja. Naresh kangen main piano, gitar Jevan yang di sana juga udah rusak, jadi sekalian main musik di rumah. Biola mu masih bagus, kan, Jun?"

Juna mengangguk. "Masih, Yah."

Dika menggumam. Korannya ia lipat dan menghadap sang anak. Menatap si sulung yang selalu menemaninya sampai beranjak dewasa. "Nanti sekalian bikin ktp ya. Udah lewat tiga bulan kok masih ilegal."

"Dih. Terus Bunda ada ngomong apalagi, Yah? Semalem Bunda lagi ke resto katanya."

Dika menggumam panjang sebelum akhirnya berdehem. "Request lagu, sih. Tapi nanti aja kamu tahunya."

Juna mencibir pelan. Sebelum ia berdehem kecil. "Ayah nggak rujuk aja sama Bunda?"

Dika tersenyum tipis. "Nggak bisa. Ayah sama Bundamu udah selesai. Ayah sama Bundamu cuma orangtua kalian, bukan sepasang suami istri lagi."

Juna mengatupkan bibirnya rapat. Iya, bagaimanapun ini keputusan Ayah dan Bunda. Ia sebagai anak juga tak bisa egois dengan memaksakan mereka kembali bersama. Ia harus mengerti keadaan. Ayah dan Bundanya memiliki jalan tersendiri untuk bahagia, meskipun di antara keduanya tak ada yang kembali melakukan ijab qobul dan memiliki pasangan baru.

"Ya udah, Ayah ke supermarket dulu. Kamu mau ikut nggak? Sekalian supirin Ayah, hari ini capek banget rasanya."

Juna mengangguk. Ayahnya terlalu banyak lembur, "Besok minta Mbak Laras panggilin tukang pijit aja, Yah."

Dika mengangguk. "Boleh-boleh, terakhir juga empat bulan lalu kayaknya Ayah pijit."

***

"AYAAAAHH!!!"

Satu persatu anaknya menubrukkan badan dan memeluk Dika. Dika tersenyum, setelah sekian lama mereka kembali berkumpul. Seperti sebuah keluarga utuh.

Biasanya, mereka hanya berkumpul setahun sekali, itupun di hadapan keluarga besar. Sebagai formalitas menjadi orangtua dari keempat anak laki-laki mereka. Tak ada acara peluk memeluk, hanya halal bihalal biasa dan menengadahkan telapak untuk meminta THR rutin tiap lebaran.

"Hati-hati, Naresh."

Naresh menyengir sambil menggaruk tengkuknya. "Hehe, iya, Yah."

"Jevan sama Harsa habis berantem?"

Dua kembar itu kicep, malah menoleh dan menatap Bunda. Takut menjelaskan sendiri, karena Bunda adalah jubir paling mengerti.

"Berantem, Harsa biasa mimpin sekolah. Jevan, ya ngikut si Harsa gara-gara sekolah sebelah katanya ada yang maki-maki gebetannya."

"DIH, BUNDA KOK MALAH BUKA KARTU?"

Bunda terkekeh. "Gapapalah, biar Ayahmu juga tahu. Nanti sewaktu-waktu kalian tinggal sama Ayah, Ayahmu nggak kaget lagi."

"Apa-apaan! Naresh tetap tinggal sama Bunda! Bunda jangan bikin Naresh keinget sama omongan burung-burung itu lagi, dong!"

Bunda tersenyum tipis. Sedangkan Dika mengernyit dalam. Ia pandang mantan istrinya yang sedang tersenyum kecil. "Kamu sakit, Rin?"

Bunda menoleh dan menggeleng. "Nggak kok, Mas."

"Ayah kenapa sih? Orang Bunda seger bugar gitu kok," sangkal Naresh yang disetujui para saudaranya. Padahal, Naresh sendiri melihat Bunda pucat, sama seperti Dika. Namun, Juna, Jevano, dan Harsa melihat Bunda sehat seperti biasa.

Dika menghela kecil. "Yaudah, yuk, katanya mau main musik bareng? Itu Isabela udah lama nggak ada yang belai, Na. Olivia juga tuh, kangen dipetik senarnya sama Jevan." Naresh dan Jevano menyengir lebar sebelum akhirnya berlari kecil menuju ruangan cukup besar yang berisi alat-alat musik.

Mereka ... dulunya keluarga utuh pecinta musik. Sebelum Dika menjadi seorang workaholic - tiap sore, tiap akhir pekan mereka habiskan bernyanyi bersama. Mengisi hangat dalam rumah besar berwarna broken white ini.

"Kamu bohong sama saya, ya, Rin? Kamu belum sembuh?"

Rindu terkekeh pelan di samping Dika. "Nggak kok, Mas. Saya sembuh, sebentar lagi."

Dika menghela, Rindu masih saja keras kepala.

"Oh iya Mas, saya mau ngomong sesuatu dulu sebelum main musik, bisa?"

Dika mengangguk, menyanggupi. Mereka pergi ke ruang tengah. Rindu butuh menjelaskan semua, Dika juga sudah menantinya sejak lama.

"Mas, bisa nggak jangan sering-sering lembur. Jangan terlalu workaholic, Mas. Mungkin selama ini kamu cuma ada Juna, tapi kalau sewaktu-waktu kamu harus jagain keempatnya, mereka bakal ngerasa kurang kasih sayang. Apalagi, lingkungan pertemanan tiga anakmu nggak sesehat Juna. Jadi, tolong ya, Mas, perhatikan anak-anak lebih lagi."

"Kamu kenapa, Rin? Jangan bicara seolah-olah kamu mau pergi jauh."

Rindu tersenyum kecil. "Naresh udah sadar. Burung-burung udah mulai mau bicara sama dia, mereka ngambek sama saya karena saya sering cerita dan meminta mereka janji untuk nggak kasih tahu anak-anak. Tapi, mereka akhirnya kasih tahu Naresh, Mas."

Rindu tersenyum tipis. "Kamu masih nggak percaya pasal burung-burung itu ya?"

Dika terdiam. "Sedikit, tapi tadi Naresh nyinggung. Saya jadi mulai percaya."

"Jangan, Mas. Musyrik. Percaya sama Tuhan aja, udah cukup."

Kemudian, Rindu merogoh tasnya. Meraih map merah yang berisi beberapa lembar kertas tebal. "Ini Mas, saya mau jujur aja. Sama kamu dulu, tolong jaga rahasianya."

"R-Rin..?" gelagap Dika kala selesai membaca kertas-kertas itu.

Rindu tersenyum simpul. "Akhir-akhir ini saya sering ngantuk, sering juga kangen Tara."

"Jangan, Rin. Mereka masih butuh kamu,"

"Makanya, saya ajak ke sini, supaya kamu memahami mereka. Jiwa mereka jujur tiap mereka main musik. Saya titip mereka kalau sewaktu-waktu saya memang ngantuk sekali dan ingin tidur panjang."

- tbc.

Bunda dan Semestanya [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang