Part 4

795 153 12
                                    

Javier sudah kapok di jodohkan dan ia khawatir jika wanita pilihannya nanti akan menyakiti anak-anaknya. Ia tak akan memaafkan dirinya sendiri jika hal buruk terjadi kepada ke dua anaknya hanya karena ia egois.

Tanpa sadar Javier kembali ke kedai kemarin dan ia pun akhirnya tetap masuk dan memesan makanan seperti yang kemarin ia pesan. Makanan datang dan ia segera memakannya dengan lahap.

Ternyata makan di tempat seperti ini lebih tenang dan nyaman. Lagi pula ia tak perlu menunjukkan jati dirinya dan tak perlu mengatur gaya makannya. Ia nampak bebas di sini seperti seekor burung yang terlepas dari sangkarnya.

Selesai makan ia pun seperti biasa membayar di kasir dan ia nampak kecewa karena bukan wanita itu lagi.

"Mencari Cindy?" tanya sang kasir yang membuat Javier tersentak.

"Cindy?" ulang Javier.

"Iya, kasir yang kemarin melayani Bapak, kalau bukan mencari Cindy ya saya minta maaf, Pak," jawabnya. Javier nampak garuk-garuk leher perlahan dengan jari kelingkingnya.

"Saya tidak mencarinya kok."

"Oh, maaf kalau begitu."

"Ehm, memangnya Cindy itu ke mana?" Akhirnya tanpa sadar ia penasaran juga.

"Tadi bilangnya nggak nyari, kok sekarang kepo?" tanya sang kasir.

"Ya kalau kamu tidak tahu juga tidak apa-apa," jawab Javier agak kesal. Kasir itu nampak menahan tawanya.

"Ya ampun, santai saja, Pak. Cindy sedang istirahat, Pak, tuh di sebrang dia." Javier melihat ke arah yang di tunjuk sang kasir dan melihat Cindy memang tengah duduk di pinggir jalan sembari meminum kopi dan se-cup mie instan.

"Kenapa Cindy harus duduk di pinggir jalan, bukankah itu banyak debu?"

"Mana ngaruh sama Cindy, dia mah kuat, Pak."

"Begitukah?"

"Iya, tanya aja sana sama orangnya kalau tidak percaya, Pak." Javier tak mengatakan apa pun tapi tubuhnya memberikan jawabannya. Ia benar-benar menghampiri Cindy yang tengah duduk santai menikmati mie dan kopinya.

Cindy tersentak dan hampir tersedak saat tiba-tiba ada orang berdiri di sampingnya tanpa mengatakan apa pun.

"Astaghfirullah, ngapain Mas di sini?" tanya Cindy waspada. Bagaimana pun ia tetaplah perempuan. Harus waspada pada siapa pun dan kapan pun.

Entah kenapa saya ke sini," jawab Javier yang membuat Cindy melongo.

"Saya juga jadi bingung kalau Mas nya bingung. Yaudah sini, ikut duduk sama saya, tapi kotor nggak apa-apa?"

Javier menolak duduk dan tetap berdiri. Cindy pun hanya membiarkannya saja tidak perlu repot memikirkan orang asing. Sementara dirinya masih perlu di pikirkan.

"Apa mie itu saja cukup untuk makan siangmu?" tanya Javier tiba-tiba.

"Ya cukup aja sih."

"Itukah kenapa kamu nampak kurus?"

"Dari sananya saya kurus bukan karena makanan."

"Oh, apa mie itu juga rasanya enak, seenak makanan di kedai kamu?"

"Mas belum pernah coba?" Javier menggeleng.

Buset tajir beneran.

"Mas mau coba?" Cindy memberikan miliknya tapi Javier menolak.

"Tidak."

"Nggak mau karena bekas saya ya, mau saya belikan yang baru?"

"Tidak perlu, saya sudah kenyang."

"Oh."

"Nama kamu Cindy?"

"Lah, tahu nama saya dari siapa?"

"Teman kasir kamu."

"Oh, bocor juga tuh anak."

"Bocor?"

"Atap rumah saya bocor," jawab Cindy asal ceplos.

"Sungguh? Di mana rumah mu, mungkin aku bisa bantu betulkan."

"Yakin bisa?" Cindy akhirnya melanjutkan kebohongannya.

"Tinggal panggil tukang saja kan?" Cindy tertawa mendengar itu. ia lupa jika pria di hadapannya ini adalah orang kaya. Tentu saja ia akan berfikir begitu bukan berfikir untuk membenarkannya sendiri.

Cindy berdiri dan menepuk pantatnya beberapa kali agar debu dan pasir tidak menempel di sana. Javier membuang muka saat Cindy melakukan hal itu. Cindy tersenyum kagum karena selain kaya dan tampan ia juga punya etika.

"Saya bohong soal genteng rumah bocor, saya nggak punya rumah jadi nggak mungkin genteng rumah saya bocor." Cindy nyengir setelah menjelaskan itu.

"Lalu?"

"Saya anak kost, anak rantau, orang miskin."

"Orang tua?"

"Orang tua di kampung jadi petani, tapi nggak punya lahan sendiri."

Javier mangangguk paham. Cindy menghela nafas dan menatap Javier.

"Kenapa saya jadi cerita ke Mas ya, hahaha. Kenal juga nggak. Sudahlah saya harus balik kerja, kalau bisa sering mampir ya, biar makin ramai kedainya."

"Kok bisa makin ramai?"

"Tuh, lihat aja, banyak cewek cakep dateng ke sini semenjak tahu Mas pernah makan di sini, di tambah hari ini datang lagi, jadi kemungkinan pelanggan saya makin banyak, hehehe." Cindy lantas melambaikan tangannya dan masuk ke dalam kedai lagi tanpa menoleh.

"Loh, aku lupa kasih tahu nama ...." gumam Javier.

****

Cindy bingung melihat sebuah kartu nama terselip di sepedanya. Ia turun dari sepeda dan mencoba membaca kartu nama tersebut.

Javier Aldelmo, Ceo perusahaan J.A company.

"Perusahaan apa ya ini, Ceo, berarti jabatan tinggi di kantor kan, wih, pantes aja mobilnya mewah. Tapi, siapa peduli dah." Cindy membuang kartu nama itu, tapi menit berikutnya ia pungut kembali. "Nggak sopan buang barang yang di kasih orang, simpen aja deh." Cindy pun menjalankan sepedanya sampai kost-kost-an.

Cindy yang hendak rebahan terpaksa bangun karena temannya mengetuk pintu.

"Masuk!" Masuklah teman kerja Cindy yang sama-sama kasir tadi.

"Ada apa, Han?" tanya Cindy.

"Penasaran sama cowok cakep tadi siang."

"Siapa?"

"Cowok yang pakai mobil mewah itu loh."

"Oh. Mas Javier."

"Javier? kok kamu bisa tahu namanya, kalian saling kenal, kenal di mana, kok bisa?"

"Iya, tahu dari kartu nama, nggak saling kenal, baru kenal di kedai tadi siang, bisa karena ia pelanggan."

"Ih, mau dong di kenalin."

"Kenalan sendirilah, mungkin besok Mas Javier datang lagi."

"Kok kamu enak banget sih manggil nya Mas."

"Ya kan Mas Javier lebih tua dari aku, masa aku panggil nama?"

"Pak gitu?"

"Emang aku tahu kalau Mas Javier udah punya anak, kan nggak tahu."

"Iya juga sih, ikut ah panggil Mas."

"Terserah kamu aja, Han. Aku mau tidur, ngantuk."

"Yaudah sana tidur."

Hana pun pergi dari kamar Cindy dan kembali ke kamarnya sendiri.

Cinderella Mom (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang