Sifting (III)

490 62 16
                                    

Tengah asyik membaca buku resep lama kakek, aku mendengar suara mobil masuk ke halaman. Aku yakin itu Dewa. Seketika aku melihat jam di dinding menunjukan pukul 7 malam lebih sedikit.

"Sudah makan malam?" tanyaku tanpa basa-basi saat melihatnya masuk. Ekspresi wajahnya sangat lucu saat aku langsung mengajukan pertanyaan itu.

"Belum, kan mau bareng. Aku mandi dulu, ya." Dewa bergegas masuk ke kamar mandi setelah menyemprotkan disenfektan untuk pakaian ke tubuhnya.

"Mau makan apa, Yang?" tanyaku lagi sedikit berteriak sebelum wujudnya menghilang.

"Nasi, telor mata sapi dan kecap." Dan Dewa pun menghilang.

Dewa tahu kalau istrinya ini sangat bisa memasak, tapi entahlah, mungkin karena telur mata sapi dan kecap adalah makanan paling enak menurutnya.

Hari ini cukup melelahkan karena orderan pagi yang full, belum lagi orderan yang minta di antar. Pengunjung yang datang juga cukup ramai hingga jam makan siang tadi. Aku bersyukur hari ini semua lancar.

Hampir saja aku menjatuhkan piring saat Dewa memelukku dari belakang dan terus menempel hingga aku selesai menyajikan makan malamnya.

"Makan dulu, Pak," ucapku memandangnya yang masih menemel padaku. Seolah ada magnet di antara kami.

"Yang ini dulu boleh disantap?"

Aku mencubitnya keras hingga dia melepaskan pelukan dan tertawa terbahak-bahak. Akhirnya dia diam dan duduk, siap menyantap makan malamnya.

"Oh, iya, Al. Tadi Papa nelpon aku. Katanya besok minta temanin jemput Tante kamu yang datang dari Jakarta, katanya anak sulungnya keterima kerja di sini."

"Tante Lidya?" balasku setengah hati.

"Dih, kok gitu amat?" Dewa menyeringai jahil.

"Ya, masa mau teriak hore-hore. Aku tuh malas tau nggak sih, kalau udah ketemu keluarga, tetangga yang usil gitu."

"Usil gimana?" tanya Dewa lalu memasukan suapan besar ke dalam mulutnya, sehingga kedua pipinya membulat.

"Ya, usil. Kayak tadi siang tuh, ada Tante Tini mampir ke toko. Tau kan Tante Tini yang mana?" Dewa menggeleng cepat.

"Itu lo yang rumahnya di depan rumah Mama, yang warna orange."

Dewa mengangguk-angguk tanda mengingat sesuatu.

"Memangnya dia kenapa?" Dewa kembali mempertanyakan maksud usil yang aku sebutkan tadi.

"Dia nanya kapan aku punya anak. Kayak aku tahu aja dikasih kapan, iya kan? Lalu waktu aku jawab sedikasinya, dia malah ceramahin aku panjang lebar. Ih, kalau diingat-ingat bikin jengkel aja." Aku kembali kesal ketika ingat pembicaraan tadi siang. Padahal aku pikir akan biasa-biasa saja sekarang.

Dewa hanya tersenyum dan melanjuatkan makannya dengan hikmat seolah kemarahanku tadi tidak berarti apa-apa.

"Malah senyum-senyum aja, coba kalau kamu yang ditanya begitu terus, pasti sebel juga, kan."

"Terus kamu bilang apa dong?" tanyanya tidak menggubris kalimat terakhirku.

"Enggak ada, Mama aja yang jawab."

"Mama bilang apa?" tanya Dewa penasaran.

Aku menceritakan bagaimana Mama membalas pertanyaan Tante Tini yang seolah menyudutkanku tadi siang. Tentang bagaimana savagenya Mama membalas setiap pertanyaan Tante Tini. Tentang bagaimana senyum tidak lepas saat dia bicara seperti itu.

"Buset. Beneran Mama bilang gitu?" Dewa tergelak tak habis-habis.

Aku hanya menggelangkan kepala melihat tingkah konyolnya. Bisa-bisanya dia tertawa terbahak seperti itu. Padahal aku kesal setengah mati.

Kitchen Talk [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang