Folding In (III)

409 54 0
                                    

Tante Lidya diam setelah pertanyaan yang membuatku tidak nyaman itu. Aku bahkan tidak berani memandang wajahnya, tidak berani menyahut atau bersuara. Waktu seolah berjalan lama saat ini. Kenapa juga aku harus keluar dari kamar Gladis tadi. Situasi ini benar-benar menyebalkan.

"Pesan Tante, jangan terlalu nyaman dengan situasi kamu sekarang. Mulai lagi program-program itu, usaha. Jangan sibuk dengan pencapaian kamu sekarang. Perhatikan Dewa. Mungkin dia enggak banyak menuntut, tapi nanti siapa yang tahu."

"Maksud, Tante?"

Dia mentapku lurus, membuatku merasa tidak nyaman.

"Enggak ada maksud apa-apa. Kamu sudah dewasa, harusnya paham."

Aku benar tidak nyaman dengan tatapan matanya. Tidak juga nyaman dengan setiap perkataannya barusan. Syukurlah, tak lama Papa dan Mama datang. Aku memanggil Gladis agar bisa memakan kue pukis yang dibeli.

"Alma, balik, ya, Pa," ucapku bersiap mengambil jaket.

"Loh, enggak nunggu dijemput Dewa?" tanya Mama.

"Kayak rumah kita jauh aja, Ma. Lagian aku mau nyiapin perlengkapan buat besok pagi," elakku. Kalau harus menunggu Dewa, bisa lebih lama aku berada di sini.

"Adek antar, Kak," ucap Galdis cepat masuk ke kamar dan tidak lama keluar memakai jaket dan membawa kunci motor bersamanya.

Akhirnya aku bisa bernapas sedikit lega, aku berharap kami tidak perlu bertemu seperti tadi. Apa aku terlalu sensitif belakangan ini? Sehingga jenis pernyataan atau pertanyaan serupa rasanya begitu menyebalkan hingga membuat aku muak mendengarnya berkali-kali. Apa sih urusan orang-orang dengan kehidupan rumah tangga kami?

 Apa sih urusan orang-orang dengan kehidupan rumah tangga kami?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pagi, sayang. Tumben banget kamu bangun duluan." Aku menghindar ketika Dewa berusaha mencium pipiku. Dia aja yang enggak tahu kalau semalam aku enggak bisa tidur gara-gara kepikiran perkataan Tante Lidya. Aku berusaha mengalihkan perhatian dan fokus dengan rutinitas pagi.

"Ada apa, sih, Al? Aku perhatiin dari tadi malam kamu aneh banget? Ada masalah? Aku ada salah?"

"Menurutmu?" jawabku ketus.

"Ya ampun, Al. mana aku tahu kalau kamu enggak ngasih aku clue apa-apa." Dewa menarikku dan menghadapnya. Aku menatapnya balik dengan berani, aku tidak tahu kenapa aku melimpahkan kekesalan ini padanya. Padahal dia tidak-tahu apa-apa. Aku tidak tahu mengapa aku begini.

"Udah, ah. Aku mau berangkat dulu."

Aku menepis tangannya dan berjalan meninggalkannya yang memanggil namaku beberapa kali. Sesampainya di Moema, aku menangis. Aku enggak tahu kenapa begini. Cepat aku masuk ke kamar mandi dan kembali mencuci muka. Aku harus tenang dan minta maaf sama Dewa nanti.

Setelah berhasil menenangkan diri, aku kembali melakukan pekerjaan harianku di Moema. Membuat menu sarapan bersama Aji dan menyelesaikan orderan dengan cepat.

Kitchen Talk [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang