Aku memandangi benda kecil panjang berwarna putih dan biru yang aku letakkan di atas meja. Aku termangu sedari tadi, melihat garis yang tak kunjung bertambah jumlahnya. Aku berusaha menjauhkan diri dari sedih itu. Aku berusaha agar tidak terpuruk dalam harapan palsu yang selalu tercipta setiap kali aku menggunakan benda ini.
Hujan pagi hari di luar sana membuat suasana semakin sendu. Aku berbalik dan melihat ke sekeliling rumah. Menatap ruang kosong tanpa kehadiran Dewa. Tanpa kehadiran buah hati di antara kami. Sepi. Hampa. Kosong. Seolah tak bernyawa, rumah ini seketika menjadi sepi, terlalu sunyi. Kembali aku menoleh kepada benda yang sudah aku pandangi selama berjam-jam, mengambilnya perlahan dan kembali memandangnya.
Aku melemparkan benda itu marah. Entah marah kepada siapa. Padahal yang salah adalah diri ini. Berani-beraninya mengambil kesimpulan dan memberi harapan palsu terhadap diri sendiri. Mencoba berandai-andai bagaimana jika harapan itu benar adanya. Bagaimana caranya aku memberitahukan Dewa nantinya. Oh, bodohnya diri ini. Harapan itu tidak nyata terjadi. Kini aku marah, memaki pada diri dan apa saja yang bisa aku limpahkan.
Dering telepon memaksaku menyudahi perasaan gelisah yang bercampur dengan sedih yang kentara. Saat aku melihat nama yang tertera di layar, air mataku tidak mampu terbendung lagi.
"Sayang, sudah sarapan?"
Suaranya renyah dan riang dari seberang saluran telepon. Kalimat pertama yang dia tanya adalah pertanyaan jahil karena dia tahu aku tidak terbiasa sarapan. Jikapun harus, biasanya hanya untuk menemaninya, karena Dewa benci makan sendiri.
"Aku lagi sedih, nih," ucapku menahan gugu akibat menangis.
"Loh, kamu kenapa, Al?" Nada bicaranya tidak lagi riang, Dewa berubah panik saat mendengar suaraku yang jelas terdengar sedang menangis.
"Aku tadi testpek, hasilnya negatif!" Aku masih terisak layaknya anak kecil. Kepada siapa lagi aku bisa bersikap kekanakan dan egois kalau bukan kepada Dewa.
"Ya ampun, Al. Jangan gini dong, udah ya, jangan sedih. Atau aku perlu balik habis acara ini kelar?" tanyanya lagi. Aku menggeleng, padahal Dewa tidak bisa melihatku.
"Enggak, aku udah enggak apa-apa. Cuma agak emosional aja. Gara-gara kemarin ke dokter sendirian juga. Terus denger berita Mila hamil. Jadi, ya, gitu."
"Mila hamil?" tanyanya terdengar kaget. Aku ingat Mila belum memberitahukan saudaranya ini. Mungkin karena dia pikir aku sudah tahu artinya Dewa juga akan tahu. Atau anak itu hanya lupa mengabari saudaranya ini.
"Iya, katanya dia juga baru tau. Oh, iya, baliknya tetep Senin pagi aja, ya. Alu udah enggak apa-apa."
"Bener? Ya udah nanti kalau aku udah balik aku traktir makan apa aja yang kamu mau?"
Aku tergelak mendengar cara Dewa membujukku. Aku rasa tidak semua suami seperti dia.
"Iya, oke. Hasil dari dokter kemarin aku di suruh balik waktu jadwal mentruasi hari kedua bersamaan dengan hasil test kamu juga. Surat rujukannya ada di aku."
"Aku test sperma itu ya?"
"Iya yang itu, jangan ogah-ogahan ya, nanti enggak aku kasih jatah baru rasa."
"Yah, kejam! Hahaa."
Obrolan kami pun berlanjut dengan hal lainnya. Sepertinya pekerjaannya sudah selesai, Dewa hanya perlu melanjutkan pekerjaannya siang nanti. Tidak lupa aku mengingatkan dirinya agar selalu waspada dan hati-hati, syukurlah acara berada di area terbuka dan jumlah tamu tidak terlalu banyak. Tetap saja perasaan ini was-was saja dibuatnya.
Aku memutuskan untuk membuat bomboloni untuk mengisi waktu. Bomboloni adalah donat tanpat lubang di tengah. Bentuknya bulat dengan isian di bagian dalamnya. Aku menyiapkan semua bahan-bahan di atas meja. Rencananya aku akan membuat isian vanilla dan cokelat cream custard kesukaan Gladis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kitchen Talk [TERBIT]
RomanceKini impiannya memiliki toko roti menjadi kenyataan dan perkembangan Moema Bakery benar-benar menjadi kebahagian Alma yang sempat merasa kehilangan gairah akibat keguguran saat tahun pertama pernikahannya. Namun, setelah memasuki tahun keempat pern...