🌊

5 0 0
                                    

Dan kini kamu kembali. Dalam tujuh tahun. Kamu dalam versi yang sudah dewasa, dua puluh lima tahun. Kamu yang saat ini sedang menyentuh wajahku lembut dan mengatakan bahwa kamu merindukanku.

Tahukah kamu? Bahwa kamu mengingkari dua janjimu. Kamu yang tak pernah datang esok hari, dan kamu yang tak datang kesini saat kelulusan sekolahmu.

Dan dengan bodohnya, aku menunggumu selama itu.

Tapi kenapa, setelah tujuh tahun kamu pergi, kamu malah menunjukkan wajah sedihmu itu saat pertama bertemu denganku kembali saat ini?

Apa ada yang menyakitimu?

Apa kamu kesakitan, dan aku tak bisa menyembuhkanmu lagi seperti dulu?

"Maafkan aku." Kamu menangis dan melepaskan sentuhan tanganmu pada wajahku.

"Kenapa?"

Kamu menggelengkan kepala dan mengusap kasar wajahmu, lebih tepatnya air matamu. Aku meraih tanganmu yang hangat itu dan membawanya ke dalam genggaman tanganku yang selalu dingin ini.

"Maaf, Jun. Maaf...."

Aku tidak akan pernah mengerti jika kamu hanya selalu mengatakan kata maaf tanpa mau menjawabku, kenapa?

"Aku tak ada pilihan. Apa selama ini kamu menungguku?"

Menunggu. Kata itu sudah terasa familiar bagiku. Sudah seperti bukan masalah besar lagi untukku. Setiap hari dalam tujuh tahun menunggumu itu sudah lebih dari cukup untukku berdamai dengan kata itu.

Jadi aku hanya memberikanmu seulas senyum tulus yang selama ini selalu aku sembunyikan, lalu berkata singkat. "Tak apa."

"Kamu harus terkena air laut. Rambut dan kulitmu sudah kering." Begitu kata kamu sembari memegangi tanganku.

Lalu kamu berdiri dan mulai melangkah masuk ke air laut, dan kamu melihatku ke belakang. "Cepat kesini."

Bukannya aku tak mau, tapi aku takut. Air itu kini sudah mencapai ujung gaunmu, tapi kamu tak kunjung berhenti juga. Jadi aku dengan cepat menghampirimu dan menenggelamkan diri ke dalam air, lalu menyembul tepat di hadapanmu.

"Berhenti." Ucapku sembari menahan tanganmu ketika air laut itu sudah mencapai pinggangmu.

"Kenapa?"

"Aku takut."

Kamu terkekeh, namun tatapan sedihmu tak kunjung hilang.

"Jun, aku sangat egois ya? Setiap waktu aku berharap kamu adalah seorang manusia. Sejak pertama kita bertemu."

Mataku membulat mendengar itu.

"Jadi aku berpikir, jika kamu tak bisa menjadi manusia, apakah aku bisa menjadi Siren jika masuk ke dalam air? Tapi nyatanya tidak. Bukannya menjadi sepertimu, aku sempat hampir mati karena itu. Seperti ibuku."

Aku tahu arah pembicaraanmu. Kejadian tujuh tahun lalu itu.

Tatapanmu menurun dan memperhatikan ekor hijau kebiruan milikku di bawah air.

"Kenapa Tuhan membuat kita bertemu? Kenapa Dia memberikan takdir seperti ini pada kita?"

Entahlah. Aku juga selalu menanyakan itu pada Dewa.

"Jun, sebenarnya aku kemari untuk mengatakan sesuatu padamu selain meminta maaf."

Aku hanya ingin mendengarnya saja, tak ada keinginan untuk menyela, jadi aku tak menjawab apapun.

"Kamu tahu? Bertemu dan mengenalmu adalah hal paling indah dalam hidupku. Dan... pernah mencintaimu adalah hal paling menakjubkan bagiku. Serta jauh darimu adalah hal yang paling menyiksa hatiku. Dan melepasmu adalah hal yang paling sulit saat ini."

"Kamu... akan pergi lagi?" Pertanyaan itu mampu membuatmu akhirnya menatapku. Matamu sembap dan memerah kembali.

"Jun, kamu tahu? Semua makhluk di dunia ini diciptakan untuk saling berpasangan, begitupun manusia."

"Apa kamu akan menikah?" Tanyaku, lalu matamu membulat menatapku. Tak lama, kamu menunduk kembali dan melepaskan genggaman tanganmu pada tanganku.

"Maaf."

"Tidak." Ucapku cepat. "Kamu berhak untuk mendapatkan hidupmu sendiri. Bahkan, sejak awal kita tidak seharusnya bertemu."

"Kenapa kamu berbicara seperti itu?"

"Karena aku adalah Siren. Dan kamu adalah manusia. Kita tak seharusnya bersatu."

Kalimatku itu membuatmu semakin terisak. Apa aku lagi-lagi menyakitimu?

"Maafkan aku."

Aku akhirnya kembali meraih tanganmu lembut, menarikmu supaya lebih dekat denganku, lalu kakimu melangkah lebih dalam lagi ke laut.

"Terimakasih, karena mau menjadi temanku. Terimakasih, karena pernah mencintaiku. Terimakasih, karena aku tahu jika penantianku tak sia-sia. Terimakasih.... karena kamu telah menemukan kehidupanmu sendiri. Sekarang kamu boleh pergi, jangan lagi merasa berat untuk melepasku."

Sungguh, bukankah aku yang telah menyakitimu? Kamu selalu menangis pada setiap kalimatku, tapi kenapa kamu yang selalu meminta maaf seakan aku yang disakiti olehmu?

"Jun, aku harap kamu juga menemukan pasanganmu di lautan lain."

Aku hanya tersenyum saat mendengarnya karena itu tak mungkin. Seekor Siren hanya ditakdirkan memiliki satu pasangan yang akan diberikannya mutiara miliknya, dan mereka akan terhubung satu sama lain.

Kamu pasanganku.

Satu-satunya.

Dan ketika Siren kehilangan pasangannya atau memutuskan hubungan mereka, mereka akan mati dan menjadi gelembung.









"Jadi kini sudah saatnya."

"Apa?" Tanyamu dengan suara yang terisak.

"Aku akan mengembalikan suaramu kembali."

Lalu genggaman tanganku terlepas, dan berganti aku yang merengkuh pinggangmu, mendekatkan diriku padamu sembari memiringkan kepala.

Untuk kedua kalinya, dan terakhir. Aku mengecup lembut bibirmu. Dapat kurasakan jika kamu menitikkan air matamu lagi, lalu tanganmu juga terangkat ke arah leherku.

Untuk terakhir kalinya, biarkan aku mengatakan satu hal ini padamu. Di sela-sela ciumanku, aku berhenti.

"Aku sudah menemukan pasanganku sejak dulu. Aku mencintaimu."

Lalu mulutku terbuka dan lidahku terjulur masuk ke mulutmu, kembali mengambil benda bulat berkilau itu dari sana.

Tanganmu mencengkram punggungku perlahan saat aku hendak melepaskan pelukan kita. Lalu aku menatapmu sendu.

Bersama dengan matahari sore yang semakin tenggelam bersamaan cahaya oranye nya, aku memberikan senyum terkahirku padamu. Lalu aku melepaskan tanganmu dan segera berbalik masuk ke dalamnya air laut.

Semakin jauh aku darimu, semakin memudar suara tangisanmu. Hingga akhirnya aku memutuskan terus berenang ke dalam laut yang gelap, membiarkan air mataku tercampur dengan air laut.

Sangat dalam dan jauh aku berenang, lalu tak lama aku mulai dikelilingi oleh banyak bulatan tak kasat mata.

Aku menghentikan gerakanku. Kulihat diriku yang mengambang di tengah dalamnya laut itu.

Tubuhku perlahan menghilang dan menjadi gelembung. Kulihat puluhan bulatan itu menuju atas.

Lalu saat aku telah menghilang sepenuhnya, aku selalu bersyukur.

Setidaknya aku bisa terbang tinggi menjadi udara diatas sana

Dan ku harap, kamu akan mengetahui kehadiranku sebagai hembusan angin di sekelilingmu.


















_______END______

Fantasia [Kumpulan Cerpen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang