🌕

5 1 0
                                    

Suara kicauan burung dari luar jendela yang saling bersahut-sahutan itu seakan menjadi alarm alam untukku. Ya, mereka berhasil membuatku membuka mata pagi ini. Merasa terganggu.

Namun tak cukup juga bagi burung-burung itu untuk menggangguku, ada hal lain juga yang mengganggu di dalam pikiranku. Pening di kepalaku hadir kembali, mencoba mengingat suatu hal yang aku yakini terjadi malam tadi.

Ponselku tiba-tiba berdering.

Kulihat sekilas layarnya yang menyala, menunjukkan sebuah nama.

'Sihun si menyebalkan'

Pengganggu yang lain lagi.

Tak ku hiraukan panggilan itu sehingga mungkin dia bosan dan berhenti membuat ponselku berdering, namun dilanjutkan dengan banyaknya pop up pesan yang muncul di bawah notifikasi bar ku.

Aku menghela nafas jengah dan memutuskan berdiri pergi keluar kamarku menuju dapur, tenggorokanku terasa kering.

Di sela aku menengguk air tersebut, aku sedikit berpikir kejadian semalam.

Jika saja tadi malam 'dia' tak menyelamatkanku, akankah pagi ini aku masih bisa meminum air ini?

Tapi sangat sulit untuk mempercayai hal itu, aku bahkan tidak tahu apakah itu nyata atau hanya mimpiku semata? Tapi aku yakin tentang satu hal.

Bahwa semalam aku berniat bunuh diri, dan itu bukan mimpi.

Jam dinding di dapur telah menunjukkan pukul delapan pagi, aku lagi-lagi menghela nafas.

Sudah terlambat untuk ke sekolah. Hari ini aku akan bolos lagi saja seperti biasanya.

Karena itu aku akan memastikan satu hal saja hari ini. Ku buka lemari pakaianku dan mencoba mencari benda itu. Sudah lama aku menyimpannya.

Sebuah sketch book.

Sedikit ku bersihkan dari debu dan segala bercak yang menempel di sampulnya. Berapa lama ini ada disana? Tiga tahun? Entahlah, mungkin mulai ketika ibu pergi aku tak pernah ingin melihat ataupun mencari buku itu.

Setiap lembarnya mengingatkanku pada ibu, dan itu membuat hatiku sakit. Seorang wanita yang melahirkanku itu terlalu banyak menaruh harapan-harapan di pikiranku sedari kecil, namun saat dewasa aku tak pernah merasakan semua harapan itu. Tak satu pun.

Kecuali satu.

Saat tanganku berhenti membalik lembar lainnya, saat sebuah lembaran itu akhirnya menampakkan apa yang ku cari sedari tadi. Orang itu. Disana terlukis ada dua orang lelaki berwajah tampan, dan tertulis diujung setiap kaki mereka masing-masing.

Seseorang di kanan bertuliskan 'pangeran tampan untuk putri tersayangku', dan satu lainnya hanya berisi nama mereka yang dikarang oleh ibuku kala itu, dan tertulis bahwa dia adalah saudara dari sang pangeran itu.

Mungkin aku sudah gila jika mempercayai nya. Tapi aku sangat yakin, benar-benar yakin saat melihat lukisan ini. Bahwa lelaki semalam yang menyelamatkanku adalah dia. Sang pangeran itu. Wajahnya tercetak jelas di ingatanku. Dan satu orang lainnya ikut menatapku dengan tatapan sendunya.

Dan di satu ujung kertas itu juga tertulis sebuah kalimat.

'Setiap bulan purnama, sang pangeran akan menatap langit dan berdoa kepada Tuhan untuknya dan saudaranya agar terbebas dari istana yang terkutuk itu.'

Tentu saja aku tahu cerita itu, itu hanya penggalan dari sekian banyak kejadian yang ada di cerita. Itu adalah karangan ibu. Sebuah cerita berjudul 'Pangeran Bulan'.

Dia dan kakak lelakinya bukanlah saudara kandung, kakaknya ditemukan oleh sang Ratu di tengah hutan, dia masih bayi dan Ratu memutuskan membawanya ke istana dan berkata akan mengadopsinya karena Kerajaan Bulan belum juga memiliki putra mahkota. Tapi terjadi penolakan oleh Raja, lalu raja membuang bayi itu ke hutan. Tapi Ratu kemudian mengambilnya lagi dan memutuskan untuk membangun sebuah istana kecil di dalam hutan untuknya dan melapisinya dengan sihir.

Setiap hari Ratu pasti mengunjunginya ditemani seorang pelayan kepercayaannya.
Lalu setahun setelahnya Raja mengetahui yang Ratu lakukan selama ini, dia sangat marah, lalu mengusir Ratu dari istana tanpa tahu bahwa saat itu sang ratu sedang mengandung putra mahkota.

Ratu memutuskan untuk tinggal bersama di istana kecil buatannya di hutan itu dengan anak asuhnya yang sudah seperti anak sendiri. Hingga saat sang Putra Mahkota lahir, Ratu pergi dari dunia. Di setiap nafas terakhirnya, Ratu bersumpah untuk tidak akan membiarkan kedua anaknya itu bisa keluar dari istana itu, jika iya mereka akan langsung dibunuh oleh Raja.

Satu-satunya hal yang bisa membebaskan mereka keluar dari sana hanya satu. Bagi siapapun yang memohon dengan tulus pada saat bulan purnama, mereka akan terbebas. Jadi setiap bulan purnama, sang pangeran akan berdoa meminta untuk dibebaskan, tapi tak berhasil. Dia tak memiliki tujuan yang tulus, dia hanya ingin keluar melihat dunia. Bahkan kakaknya sudah menyerah, mereka memang tak memiliki tujuan lain selain ingin keluar, tapi setelah itu? Mereka tak tahu akan melakukan apa. Permintaan egois dan tidak tulus. Tidak bisa diterima oleh sihir istana.

Saat ibu menceritakan itu, dia tak pernah menyelesaikan ceritanya. Setiap kali aku bertanya bagaimana akhirnya, apakah pangeran dan kakaknya bisa keluar dari istana itu atau tidak, ibu tak menjawabnya. Saat itu aku hampir setiap hari menanyakannya, tapi sekarang aku mengerti, sepertinya ibu tak tahu harus mengakhiri cerita itu seperti apa.

Ibu tak mau mengira-ngira apa yang terjadi kedepannya sebab ibu sendiri selalu mengatakan padaku bahwa 'ingatlah, kita tak pernah tahu akan apa yang terjadi di masa depan, jadi hargailah dan nikmati hidupmu dengan baik untuk hari ini seolah besok kau akan mati'. Dia selalu mengatakan hal itu padaku setiap waktu.

Ya, kita tak pernah tahu masa depan. Itulah kenapa ibu selalu saja tersenyum dan aku tak pernah sekalipun melihatnya menangis, hingga karena kejadian itu, aku melihatnya menangis untuk pertama kalinya sembari mendekapku erat dan berkata.

'Hiduplah dengan baik dengan atau tanpa ibu, maaf ibu tak bisa ada di sisimu lagi'

Kecelakaan kala itu merenggut ibu yang menyelamatkanku dengan sepenuh jiwanya. Setiap hari aku telah mencoba hidup seperti ibu, tapi tak bisa. Aku bukanlah ibu, dan aku membencinya jika mengingat betapa lebih sulitnya ibu menahan semua ini sendiri selama ini dan hanya menunjukkan senyumnya padaku.

Aku tak sekuat ibu.

Tak ada lagi yang harus aku hargai tentang hidupku, bu.

Tapi mengapa sekarang jika aku berniat melakukannya lagi, bahkan hanya terlintas di otakku, aku tak bisa.

___
-moon wish🌕

Fantasia [Kumpulan Cerpen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang