"Gar, gue mau nembak lo. Ntar lo terima, ya?" Alana menghampiri Edgar di ruangannya.
"Depresi lo?"
"Setelah gue pikir-pikir. Ada baiknya kita jadian aja." Alana berpikir ini saat yang tepat untuk meminta bantuan Edgar, kebetulan baru kemarin cowok itu putus dengan Vera.
"Gak jelas."
Edgar malas menanggapi ucapan Alana yang plin-plan, bukannya tempo hari dia sendiri yang melarang Edgar untuk menyukainya, kenapa sekarang malah mengajak jadian. Labil!
"Edgar, lo sibuk apa, sih?" Alana kesal karena Edgar mengabaikan perkataannya dan memilih sibuk dengan nasi kotak sialannya. Maklum ini jam makan siang.
"Ini, gue lagi makan kinderjoy, tapi kok asin banget, ya?" Edgar mencoba melawak.
"Itu telur asin, bego!"
"Oh, ya. Lo tadi ngomong apa?"
"Setelah gue mikir-mikir, daripada gue cape nyari jodoh, mending gue sama lo aja."
"Bukannya lo yang bilang kalau kita nggak mungkin jadian?" Edgar mengingatkan perihal perjanjian mereka.
"Gue mau nunjukin ke mas Adrian kalau gue bisa move on dari dia. Makanya gue mau kita pura-pura pacaran."
"Biar apa coba? Kekanakan!"
"Ya biar dia nggak ngeremehin gue, Edgar!"
"Kenapa lo nggak minta tolong aja sama si morning itu?"
"Fajar, Edgar. Lo punya dendam apa sih sama dia?" Alana merasa heran karena Edgar seolah memusuhi Fajar. Padahal Fajar selalu bersikap ramah padanya.
"Nggak ada, gue nggak suka aja liat dia kalau senyum."
"Kan manis, ada gingsulnya. Kek Glenn Fredly."
"Apaan, kayak Inuyasha, tau!" Edgar kesal karena Alana malah memuji Fajar.
"Dahlah, Edgar. Pokoknya lo harus mau, mulai sekarang lo jadi pacar gue." Alana memutuskan sekehendak hatinya, membuat Edgar protes.
"Dih, kok lo seenaknya?"
***
Malam ini Adrian kembali menjemput Alana, sepertinya pria itu tidak akan menyerah sebelum Alana memenuhi permintaannya.
"Udah pulang 'kan?"
"Kalau udah kenapa, kalau belum kenapa?" kata Alana ketus.
"Mau ngajak makan malam aja."
"Kenapa?"
"Karena udah jam makan malam. Lagian kamu juga belum makan."
"Bisa aja 'kan kita makan di tempat masing-masing? Tapi ya udahlah, kalau kali ini aku nolak kamu nggak akan nyerah 'kan? Besok kamu pasti datang ke sini lagi."
"Ya, begitulah."
"Sebenarnya mau kamu apa sih, Mas? Bukannya kamu sendiri yang mau mengakhiri hubungan kita? Seharusnya udah selesai 'kan?" Alana heran dengan sikap Adrian.
"Hanya menjalin silaturahmi apa salahnya? Banyak kok yang berteman setelah putus?"
"Tapi nggak maksa kayak gini juga. Lagian tiap orang 'kan beda-beda. Aku tipe orang yang kalau udah putus malas berurusan sama mantan." Alana berkata dengan ketus.
"Kelihatan banget kalau kita putusnya nggak secara baik-baik."
"Mau baik-baik apa nggak, nyatanya udah putus. Itu hanya sekedar istilah, intinya putus ya putus."
"Aku ngerasa punya ganjalan kalau kamu masih ngerasa sakit hati sama aku."
"Aku tegaskan, kamu nggak perlu merasa merasa punya ganjalan atau sebagainya. Ini bukan salah kamu, ini masalah sama hati aku sendiri. Kamu nggak salah, aku nggak bisa memaksa orang untuk terus berhubungan sama aku, padahal orang tersebut merasa nggak nyaman, mungkin juga udah nggak cinta," sindir Alana.
"Itu nggak bener ...."
Bagian mana yang nggak bener? Alana bertanya dalam hati. Sudahlah, buat apa ia permasalahkan, udah berlalu juga.
Ia sudah malas terjebak dalam masalah yang sama berulang-ulang dengan Adrian. Dari gelagatnya sepertinya pria ini ingin mengajaknya balikan, lalu apa? Putus lagi? Ia sudah bosan, ia ingin mengakhiri siklus menyebalkan ini secepatnya. Ia sudah lelah dipermainkan oleh pria labil ini.
"Oke, makan di mana?"
"Gimana kalau di kafe Copy Paste?"
(Nama kafenya ngasal gila! Udahlah, gue puyeng mau pilih nama hehe ....)
Alana mengernyit, itu 'kan nama kafe langganan mereka saat masih pacaran. Sepertinya Adrian bermaksud membangkitkan kenangan tentang mereka berdua. Alana menghela nafas, baiklah kali ini ia akan menunjukkan pada Adrian bahwa tempat itu sudah tak berarti apa-apa untuknya.
***
"Mau pesan apa?" Adrian bertanya sambil membolak-balik buku menu. Alana hanya meliriknya malas, tanpa menjawab.
"Oh, ya aku ingat! Kamu 'kan sukanya espresso, terus makannya scramble egg."
"Cappucino dan roti sandwich."
Alana berbicara pada pelayan. Ia ingin menunjukkan pada Adrian bahwa saat ini ia sudah berubah, ia bukan Alana yang dulu, yang sukanya minum espresso dan makan scramble egg. Sekalian ia ingin memberi kesan seolah Adrian tak tau apa-apa tentang dirinya yang sekarang.
Setelah pelayan pergi, Alana langsung ke pokok pembicaraan. Ia ingin menggunakan waktu untuk berbicara selagi pelayan menyiapkan makanan. Dan ia akan pergi segera setelah selesai makan. Ia malas membuang-buang waktu lebih lama bersama Adrian.
"Apa yang mau kamu bicarakan?" Alana bertanya langsung ke inti.
"Kamu masih marah sama aku?"
"Kalau aku jawab nggak apa kamu akan percaya?"
"Nggak."
"Ya udah, terserah. Lagian apapun jawaban aku apa berpengaruh pada kehidupan kamu?" sindir Alana.
"Ya, tentu saja. Aku merasa ... Bersalah?" Adrian berkata ragu.
"Kamu takut karma? Baiklah, sekarang udah aku maafkan. Jadi mulai sekarang kamu udah bisa tenang menjalani kehidupan kamu."
"Apa kita nggak bisa berteman?"
"Aku nggak biasa berteman dengan mantan. Lagipula ada hati yang harus aku jaga." Alana mulai memanasi Adrian.
"Apa maksudnya?" Adrian memicingkan mata.
"Aku sama Edgar udah jadian."

KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Cinta
HumorNggak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita? Setuju? Kalau nggak percaya baca aja cerita ini.