03 | Tragedi 19 Mei 1999

82.5K 15.3K 6.2K
                                    

—LOSE IN MAY 1999—






















Jakarta, 19 Mei 1999

Bandar Udara Radin II, Bandar Lampung

"Selamat datang di dalam pesawat Air 1125, penerbangan tujuan Bandara Soekarno-Hatta. Penerbangan menuju Soekarno-Hatta akan kita tempuh dalam waktu 1 jam 30 menit. Dengan ketinggian 25 ribu kaki di atas permukaan laut. Peringatan dalam penerbangan ini, kami menghimbau para penumpang untuk tidak merokok selama penerbangan. Terima kasih atas perhatiannya, selamat menikmati penerbangan bersama kami."

Passanger door telah ditutup, dan para penumpang pun telah duduk di kursinya masing-masing. Tinggal menunggu kembali arahan dari Pramugari dan Pramugara yang mengatur ketertiban di dalam pesawat.

"5 Menit lagi kita Take Off, ya?"

"Siap, Kep," jawab Pramugara Joshua. Kemudian pergi keluar dari Kokpit pesawat menuju ruang khusus penumpang.

"Sesudah ini kamu mau ke mana, Ngga?" tanya Adipati pada Anggara. Pandangan dan kedua lengan Anggara tetap fokus pada sistem kendali, meski bibirnya mengarah ke yang lain.

"Biasalah, mau pulang. Nemuin anak istri," balas Anggara.

"Wealah, nggak ikut ngopi-ngopi dulu? Si Radit iki mau neraktir kita."

"Dalam rangka apa? Ulang tahun tah?" tanya Anggara pada laki – laki yang berada persis di sampingnya itu.

"Anak itu mau melamar Hasya katanya. Makanya minta tolong kita untuk bantuin dia," jelas Adipati.

Anggara terkaget di tempatnya. "Cah gembleng ternyata ngedemeni Hasya. Tak pikir Radit rak suka karo wadon, sukane karo lanang."

Adipati terkekeh. "Yo ndak toh, masih lurus, buktine iki mau ngelamar karo Hasya."

"Ya Alhamdulillah kalau begitu mah"

"Terus gimana? Kamu ikut ndak?"

"Enggak dulu kayanya, nanti tak bantu doa saja untuk keduanya. Soalnya anak aku, Tama sama Dwi mau ulang tahun. Jadi mumpung aku pulang, mau tak rayain dulu."

Adipati memanggut, lalu mengambil lengan kiri Anggara. Menjabat bebas lengan karib perpilotannya tersebut, "Wah, selamat atuh kalau begitu. Bilangin anak-anakmu hadiahnya menyusul nanti."

Anggara tersipu, kemudian menggarukki ujung kepalanya yang tidak gatal sama sekali itu. "Ndak perlu repot-repot. Lagian anak-anak nggak minta hadiah sama sekali, mereka cuman minta Ayahnya pulang saja katanya."

Adipati tertegun iri. "Anak-anak mu itu loh, berbakti semua sama orang tuanya. Anakku satu, tapi susah dibilangin."

"Namanya juga remaja, lagi pinginnya ngikutin kemauan sendiri."

"Aku sih biasa saja, tapi istriku itu loh, paling nggak senang Raka terlalu bebas. Raka pun nggak pernah mau diatur. Jadi sama-sama keras kepala, sama-sama nggak mau ngalah. Persis banget mereka berdua tuh."

Anggara tergelak. "Namanya juga satu darah toh, wajar mirip."

Adinda masuk ke wilayah kokpit, seketika percakapan terhenti. "Kep? Ini mau take off jam berapa?" tanya Dinda, dengan raut wajah jutek yang begitu khas. Jangan heran dengan Adinda, wajahnya memang begitu. Sering kali terlihat judes dan jutek, namun aslinya ia orang yang baik dan murah hati. Memang realita dari don't judge a book by it's cover, benar adanya. Apa yang terlihat terkadang tidak selaras dengan kenyataan.

"Iya-iya, ini tak kabari pihak towernya sek," kata Adipati.

Terlalu terbawa alunan obrolan yang asyik membuat mereka seketika lupa dengan tugas. Adinda lantas tak mengubris, sedetik kemudian dia menghilang dari pintu ruang kokpit.

1| LOSE IN MAY 1999 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang