"Meski kau berlayar dan berlabuh di pulau yang hilang.
Aku akan selalu ada menyertai setiap waktu yang kau lalui,
meski kakiku sudah tidak lagi memijak di bumi."
—LOSE IN MAY 1999—
KELUARGA ANGGARA
"Nanti kalau sudah besar, Dwi mau jadi apa?"
"Dwi mau jadi pilot, seperti Ayah."
"Memangnya Dwi siap, mempertaruhkan nyawa Dwi untuk menyelamatkan para penumpang pesawat?"
"Hm, Dwi nggak yakin Ayah."
"Loh kok nggak yakin? Ayah aja yakin banget kalau nanti Dwi bisa jadi sosok pelindung bagi orang-orang. Makanya Dwi juga harus yakin sama diri Dwi.
"Barang kali, Dwi bisa jadi pilot yang hebat seperti Ayah."
"Tapi kalau Dwi nggak siap, gimana, Yah?"
"Segala sesuatu yang belum kita mulai memang terasa seperti kita tidak siap untuk melakukannya. Tetapi dengan tekad, usaha, dan kerja keras. Segala hal yang mustahil kedengarannya, segenap menjadi mungkin untuk dilakukan."
"Jadi kalau Dwi mau jadi pilot, Dwi harus punya sikap optimis dalam menjalaninya, Paham kata Ayah?"
Dwi membuka matanya bertanggang. Ia memaksa tubuhnya terduduk meski dirasa nyawanya belum terkumpul penuh.
Tik-tik-tik!
Bunyi hujan dari arah luar. Hujannya sangat lebat, rasanya seperti benar-benar menyatu dengan keadaan hati saat ini. Mula-mula ia menyibak selimut yang membukus penuh tubuhnya. Lalu menurunkan kaki dari atas ranjang hendak bangun dari sana. Namun, seketika niat dirinya yang ingin bangkit seketika terurung, kala dirinya merasa sangat tidak bersemangat untuk hari ini. Mungkin bukan hanya hari ini, tetapi hari-hari berikutnya yang akan terasa sama tidak menyenangkannya dengan hari ini.
Ceklek!
Ibu dengan santai membuka pintu kamar Dwi. Tersenyum mekar seolah menampakkan dirinya dalam keadaan baik. Itu pandangan Dwi pada sang Ibu saat ini. Bukan berarti pada kenyataannya Embun tidak bersedih setelah kehilangan Anggara. Hanya saja, sejatinya memang tidak terlalu terbuka. Terutama pada anak-anaknya sendiri.
"Dwi, ayo makan, Ibu udah masak," kata Ibu. Dwi hanya balas berdehem kecil. Mendengar jawaban itu Ibu tak banyak menghabiskan waktu di ruangan itu, ia lantas pergi meninggalkan kamar Dwi yang kemudian disusul Dwi beberapa saat kemudian. Di ruang makan, sudah ada Mas Tama yang terduduk manis di tempatnya. Dwi pun ikut duduk ke kursi yang ada di samping Tama. Pandangannya tak luput meratapi satu buah kursi kosong di samping ibu.
Serta merta hati Dwi gundah. Terlebih melihat Ibu tak banyak bereaksi, bahkan lebih terlihat seperti tidak bersedih sedikit pun. Padahal semuanya di ruangan ini tahu betul kehilangan yang sedang menyelimuti mereka. Apakah bersikap biasa saja bisa dikatakan normal? Monolog Dwi dalam hati. Rasanya tak wajar jika kehilangan ini tidak dianggap sebagai persoalan yang serius.
"Bu, Ibu kok nggak kelihatan sedih?" Tanyanya begitu terang terangan.
Dwi memang tidak suka berbasa-basi, ia lebih suka berterus terang. Dan pertanyaan ini memang sudah sangat gatal ingin ia katakan sejak tadi. Tama menyikut Dwi ketika adiknya itu mengatakan hal yang tidak seharusnya dikatakan di situasi seperti ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
1| LOSE IN MAY 1999 [END]
Ficção HistóricaIni kisah kota yang mengalami banyak duka pada insiden jatuhnya pesawat Air 1125, 21 Mei 1999. Kepada yang kuat meninggalkan Bumi tanpa salam berpisah. Kepada bayangnya yang tak lagi mencerat di bawah Matahari benderang. Kepada hadirnya yang tersis...