Berharga - END

307 45 3
                                    

"Kau sudah bangun?"

Luhan terpaku. Setengah nyawanya yang belum terkumpul, terasa langsung merasukinya dengan cepat. Ia berdiri di ambang pintu, dan tak bisa beralih pada lelakinya yang berdiri di seberang, tersenyum melihat penampilannya. Luhan baru saja bangun tidur, dan Sehun menertawakan muka bantal serta rambutnya yang acak-acakan.

Luhan tak peduli. Ia memilih untuk duduk di kursi makan, terseok-seok, mencoba untuk cuek.

Sebab sebenarnya, Luhan tak menduga Sehun masih di apartemennya di waktu seperti ini. Agak aneh rasanya.

Luhan bangun dan melihat pukul 8 pagi itu. Sesaat setelah bangun, ia teringat yang dikatakan Sehun semalam. Jadi Luhan segera keluar dari kamar dan melihat kondisi ruang tengah. Saat itu, Luhan tak melihat keberadaan Sehun di sana. Padahal lelaki itu bilang dia akan tetap di apartemennya dan tak akan pergi. Tapi nyatanya... Sehun tak ada.

Kecewa dan lemas, Luhan berjalan pelan menuju dapur. Nyawanya yang belum terkumpul semuanya membuatnya tak sadar kalau ada suara orang yang beraktivitas di dapur. Ketika Luhan membuka pintu dapur, dan melihat Sehun berbalik sembari menyapanya, Luhan benar-benar terkejut. Aneh sekali melihat keberadaan lelaki itu di pagi hari ini setelah berbulan-bulan lamanya Sehun tak kemari. Pun, Sehun tak pernah menetap di apartemennya sampai jam segini. Biasanya Sehun segera pergi sebelum matahari terbit. Maksimal pukul 6 pagi-lah.

Kini, saat jam dinding menunjukkan pukul 8 lebih beberapa menit, Luhan melihat Sehun beraktivitas di dapur. Entah apa yang dilakukan lelaki itu, Luhan tak tahu. Luhan sedang sibuk menata dirinya di hadapan Sehun. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun lamanya mereka tak ada di ruangan yang sama dan hendak melakukan aktivitas bersama.

"Aku buat sup," kata Sehun. Lelaki itu meraih mangkuk di meja, lalu menuangkan sup yang baru saja matang dari panci ke mangkuk itu.

Luhan bergeming memperhatikan.

"Kau kelihatan kacau semalam." lanjut Sehun sembari meletakkan panci ke tempat cuci piring. Kemudian dia memunggungi Luhan, sibuk lagi dengan pekerjaannya. "Aku ingin kau merasa lebih baik dulu sebelum beraktivitas. Jadi kubuatkan sup. Tak apa, ya?"

Luhan mengangguk kecil, mengabaikan fakta kalau Sehun masih memunggunginya. Sehun tak tahu jawabannya.

Beberapa saat kemudian, Sehun kembali lagi sambil meletakkan beberapa lauk di hadapan Luhan. Luhan juga merasa asing, sebenarnya. Ini kali pertama setelah berbulan-bulan Sehun memasak untuknya. Dengan situasi mereka yang seperti ini, pula.

Agak aneh, sih... Luhan jadi tak tahu harus bersikap dan berkata apa. Ia hanya menatap makanan-makanan itu selama berdetik-detik, lalu berdiri, lalu berjalan keluar dari dapur. Itu membuat Sehun memandangi Luhan dengan heran.

Luhan masih marah padanya?

Pertanyaan itu membuat Sehun menghela napas pelan. Jelaslah Luhan masih marah padanya. Semalam Luhan tak memberinya perhatian lebih, menatapnya dengan tatapan penuh-penuh-penuh luka pula. Siapa yang tak sakit hati melihatnya? Semalam, Sehun ingin menghabiskan waktu dengan Luhan. Namun situasi dan kondisi mereka yang kurang baik itu... Sehun akhirnya mengalah. Dia biarkan Luhan menyesuaikan diri dulu. Mungkin Luhan masih terkejut dengan kabar-kabar yang muncul kemarin.

Sehun memenangkan pengadilan. Lalu nanti agensi yang akan bertanggung jawab atas beberapa hal yang digugatkan Sehun. Setelah ini, Sehun akan mengurus hal itu. Namun dia harus beristirahat dulu.

Tapi sepertinya... Yah... Tempatnya beristirahat sedang tidak baik-baik saja. Mereka sedang tidak baik-baik saja.

Jadi Sehun diam saja. Tak protes. Baginya, wajar apabila Luhan marah dan memperlakukannya seperti ini. Apa yang selama ini Sehun berikan untuknya memang pantas untuk dibalas demikian.

Ten Years ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang