7

241 20 1
                                    

Bus melaju kembali setelah sempat berhenti karena bel yang sebelumnya dibunyikan oleh Lan Wangji. Wei Wuxian mengalihkan pandangannya ke jendela bus. Memandang sebuah punggung tegap yang terus berjalan menyusuri trotoar. Ia tetap tak mengalihkan pandangannya meskipun figur Lan Wangji sudah tidak terlihat lagi. Menghela napas, memang cukup munafik untuk mengatakan bahwa sudah cukup untuk terus berdampingan dengan Lan Wangji sebagai teman. Di dalam hati Wei Wuxian sendiri masih terus saja memanggil-manggil nama Lan Wangji. Semua kebersamaan yang mereka lalui meskipun hanya dalam beberapa bulan ini semakin memperbesar hasrat di dalam dirinya untuk bisa memiliki Lan Wangji seutuhnya. Ya, seutuhnya dan hanya untuknya.

Banyak hal yang terus menghantui pikiran Wei Wuxian. Kekhawatirannya tentang karir di masa depan, perseteruan dengan orang tuanya tentang memilih jurusan di universitas, dan ketakutannya akan kehilangan sosok Lan Wangji yang suatu saat akan menemukan orang yang dicintainya. Semua ini membuatnya mual. Ah, ingin rasanya Wei Wuxian melepas sejenak beban yang ada di pikirannya ini. Andaikan saja orang tuanya bisa lebih memahami dirinya dan tidak memaksakan kehendak mereka. Andaikan saja orang yang dicintainya juga bisa mencintainya. Andaikan saja Wei Wuxian memiliki keberanian barang sedikit saja untuk bisa mengungkapkan perasaannya pada Lan Wangji.

"Aku berharap bisa memiliki wajah yang tebal saat berurusan dengan masalah percintaan. Sunguh...," gumamnya.

Wei Wuxian berdiri lalu memencet bel untuk menghentikan laju bus. Setelah turun dari bus, ia lantas berjalan menyusuri trotoar yang cukup lengang. Angin bertiup cukup kencang. Membawa hawa dingin yang membuat tubuh munginya sedikit menggigil. Untungnya jarak antara halte dan rumahnya cukup dekat. Wei Wuxian hanya perlu berjalan sekitar lima menit untuk sampai ke rumahnya. Terlihat sebuah rumah dengan cat hijau muda yang menyapa pandangannya. Ah, saatnya kembali ke rumahnya yang cukup menyesakkan ini. Wei Wuxian menanti hal apa yang akan menyambutnya setelah ia membuka pintu masuk rumah itu.

"Apa yang baru saja kau lakukan? Kenapa kau tidak ada di kamarmu?!"

Seperti saat ini. Sebuah suara wanita paruh baya yang tegas menyapa Wei Wuxian setelah ia memasuki rumahnya.

"Aku pergi bersama temanku," jawabnya pada wanita itu.

"Kau sudah berada di tahun ketiga sekolah menengahmu, dan masih memiliki waktu untuk bermain-main keluar dengan temanmu? Kenapa kau bisa sebodoh itu?! Apa kau hanya bisa membuatku terus naik darah?!"

"Ibu tenanglah, kami tidak bermain. Kami hanya pergi ke toko buku saja. Aku baru saja membeli buku referensi belajarku," Wei Wuxian lantas menunjukkan buku yang tadi dibelinya bersama Lan Wangji ke seorang wanita berwajah tegas yang merupakan ibunya.

"Hoo.. berikan padaku struk pembayarannya!"

"Tu-tunggu sebentar Ibu, sepertinya struknya sudah hilang tadi ahahaha..," ujar Wei Wuxian sambil menggaruk pipinya yang sebenarnya tidak gatal itu.

"Apa yang coba kau sembunyikan, A-Ying? Kuharap kau tidak menggunakan uang bulanan yang kuberikan untuk diam-diam membeli sesuatu yang tidak berguna," mata wanita itu memincing mengintimidasi Wei Wuxian.

"Tidak, tidak ada Bu. Kalau begitu aku akan langsung ke kamar untuk melanjutkan belajarku tadi. Sampai jumpa, Bu."

"Tunggu, Wei Wuxian! Kembali!! Anak tidak tahu sopan santun!"

Tanpa mengindahkan teriakan dari ibunya, Wei Wuxian langsung melesat menuju ke dalam kamarnya. Ia yakin kalau tadi ia tidak membuat alasan untuk belajar, sudah pasti ibunya tidak akan melepaskannya dan akan terus menanyainya tentang struk pembelian di toko buku tadi.

Sesampai di kamar, lantas dikeluarkannya buku-buku dan sebuah kuas yang tadi diam-diam dibelinya saat di toko buku. Buku-buku itu ia tata di meja belajar bersama dengan buku-buku tebal lain yang senantiasa menemani dirinya. Untung saja ibunya tadi tidak melihat kuas ini. Sudah pasti dirinya akan dimarahi habis-habisan. Tangan indah itu mengusap perlahan kuas indah itu, memperlakukannya dengan hati-hati seolah-olah benda yang sangat berharga.

"Kau bukanlah benda yang tidak berguna. Tapi kau adalah satu-satunya yang akan menjadi temanku bercerita di setiap keadaan. Kau juga akan menjadi kenang-kenangan kencan pertamaku dengan Lan Zhan hari ini. Ah, tapi kurasa tadi ini tidak bisa disebut kencan." Wei Wuxian terkekeh, senyum kecil terbit di bibir mungil yang ranum itu.

Keluarganya bukan lah keluarga kaya seperti keluarga Jiang dan keluarga Lan yang bisa mengeluarkan uang sesuka hatinya. Untuk itu keluarganya sangat teliti dalam pengelolaan uang. Semua uang yang dikeluarkan harus jelas fungsinya dan tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak berguna. Wei Wuxian takut kalau ibunya akan marah karena ia telah membeli buku yang terlampau cukup mahal untuk sebuah buku referensi dan sebuah kuas yang mungkin menurut ibunya merupakan benda yang tidak berguna meskipun uang yang digunakannya tadi bukan uang bulanan yang biasanya diberikan ibunya, namun uang tabungannya sendiri. Meskipun Wei Wuxian bisa dibilang sangat berbakat dalam melukis, namun hal tersebut tak lantas membuat kedua orang tuanya bangga. Mereka bahkan sangat menentang hobi yang dimilikinya itu.

Dirinya lantas merebahkan tubuhnya di atas kasur kesayangannya. Sebenarnya ia bukan seseorang yang membenci belajar. Ia bahkan sangat menyukainya. Tapi tekanan yang diberikan oleh orang tuanya terkadang membuatnya muak untuk terus berhadapan dengan setumpuk buku-buku di mejanya. Wei Wuxian paham kalau semua tekanan yang diberikan kepadanya ini demi masa depannya agar terjamin. Namun, apa gunanya kalau yang bisa menikmatinya hanya kedua orang tuanya saja sedangkan dirinya tidak. Orang tuanya menuntut dirinya agar bisa melanjurkan studinya ke departemen kedokteran. Mereka mengharapkan dirinya agar bisa menjadi seorang dokter yang nantinya akan memiliki gaji cukup besar agar bisa memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Sedangkan didalam hatinya, Wei Wuxian merasa dirinya sangat ingin menjadi seorang pelukis. Dirinya merasa bisa lebih bebas tanpa kekangan untuk bisa mengekspresikan perasaannya.

"Hahhh... andaikan aku dan Lan Zhan bisa berada di departemen yang sama. Lalu kami bisa menghabiskan waktu di perpustakaan seperti saat ini. Aku juga lupa menanyakan Lan Zhan ingin di departemen apa,"

Penat di tubuh dan pikirannya lama-kelamaan membuat kelopak mata Wei Wuxian terasa semakin berat dan membawanya memasuki alam mimpi.

***

Saya kembali setelah sekian lama hiatus karena berbagai kesibukan yang ada. Makasih banget buat yg udah mampir ke lapak abal-abal ini 🤧

Stay safe & healthy semuanya 👋

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MENGEJARMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang