6

282 26 3
                                    


Sang mentari kini telah menampakkan sinarnya. Semburat cahaya oranye kekuningan mulai menerangi cakrawala. Membuat sang ayam jantan lantas menyerukan dengan lantang suara berkokoknya. Sang burung mulai menyenandungkan kicauan merdunya. Mendatangkan perasaan damai bagi pendengarnya meski berada di tengah-tengah hiruk pikuknya perkotaan.

Para manusia mulai terbangun dari tidur lelapnya semalam, menanggalkan sisa-sisa mimpi yang menjadi bunga tidur untuk kembali menghadapi kenyataan hidup. Mereka mulai mempersiapkan dirinya untuk menyambut hari baru yang telah datang, kembali beraktifitas meskipun di akhir pekan.

Pagi ini tidak seperti pagi biasanya. Seorang pemuda manis tengah termenung menatap beberapa potong pakaian yang ia letakkan di atas ranjangnya. Terhitung sudah hampir satu jam ia melakukan hal itu. Helaan napasnya terdengar untuk kesekian kalinya. Bukan karena kondisi kamarnya yang kini terlihat bagai habis dihantam badai, namun karena ia belum bisa memutuskan pakaian yang akan digunakannya untuk ke toko buku bersama Lan Wangji. Seketika Wei Wuxian teringat sesuatu.

"Tunggu, kenapa aku bertingkah seperti seorang gadis yang akan pergi berkencan?" batin Wei Wuxian. "Ah, sudahlah! Aku pakai ini saja."

Wei Wuxian akhirnya memilih untuk memakai hodie berwarna hitam dengan aksen merah pada tepiannya dan celana merah selutut. Setelah selesai, Wei Wuxian lantas pergi menuju tempat pertemuan yang telah mereka tentukan kemarin.

Perasaan gugup melingkupi tubuh Wei Wuxian. Ia makin mengeratkan pegangannya pada ransel yang dipakainya. Mungkin karena sudah tidak sadar, ia berangkat tiga puluh menit lebih awal dari jam yang ditentukan. Namun, saat Wei Wuxian tiba di taman kota, ia melihat Lan Wangji sudah berdiri di sebelah patung maskot kota. Pemuda itu memakai sweater turtleneck putih dengan celana jeans hitam. Meski pakaiannya sederhana, hal itu tidak membuat ketampanan Lan Wangji menghilang.

"Ugh, dia tampan sekali," batin Wei Wuxian. Ia merasa lama-lama jantungnya bisa meledak karena menghadapi ketampanan Lan Wangji.

Wei Wuxian lantas berlari kecil menghampiri Lan Wangji.

"Lan Zhan!"

"Wei Ying,"

"Maaf Lan Zhan, apa aku membuatmu menunggu lama?" tanya Wei Wuxian setelah berada di hadapan Lan Wangji.

"Tidak. Aku baru sampai beberapa menit yang lalu,"

"Syukurlah, hehe... kalau begitu, ayo pergi!" ajak Wei Wuxian dengan semangat.

Mereka lantas berjalan beriringan menuju toko buku yang terletak lima ratus meter dari taman kota itu. Setelah memasuki toko buku, mereka lalu menuju ke bagian rak berlabelkan buku sains dan teknologi.

"Buku apa yang kau cari, Wei Ying?"

"Hmm... buku anatomi manusia. Tapi aku bingung, buku mana yang bagus. Apa kau ada saran, Lan Zhan?"

"Kalau begitu pilih saja buku anatomi Sobotta. Gambarnya bagus dan lengkap, mudah dimengerti."

"Oke. Aku akan beli buku itu saja. Terimakasih, Lan Zhan!"

"Mn,"

"Lalu, kau sendiri mau mencari buku apa?"

"Sastra klasik,"

"Kalau begitu, mau ku temani mencari buku?"

"Tidak perlu. Kau pergilah ke kasir dulu. Aku tidak akan lama,"

"Oke!"

Wei wuxian lantas membawa buku-buku yang telah dipilihnya menuju kasir. Meski hidup Wei Wuxian pas-pasan, namun ia tidak akan segan-segan untuk menghabiskan uangnya untuk membeli buku referensi yang terbilang cukup mahal. Ia lebih memilih menghabiskan uangnya untuk membeli buku ketimbang menggunakannya untuk membeli pakaiaan-pakaian dan ponsel mahal keluaran terbaru. Apalagi buku-buku ini Lan Wangji sendiri yang merekomendasikannya padanya. Wei Wuxian tidak enak hati bila harus menolaknya. Terlebih lagi, dirinyalah yang mengajak Lan Wangji ke sini.

Setelah Wei Wuxian selesai membayar buku-bukunya, Lan Wangji telah muncul dan menghampirinya. Pemuda di depannya ini hanya menenteng sebuah buku yang entah apa judulnya.

"Aku akan membayar ini sebentar. Kau tunggu aku di luar saja,"

"Oke, Lan Zhan!"

Wei Wuxian memilih untuk duduk di bangku panjang yang berada di depan toko buku itu. Ia menunggu Lan Wangji sambil menatap orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Sekarang memang akhir pekan, namun jalanan tetap dipadati oleh orang-orang. Hari ini cuaca sangat cerah. Bahkan tidak ada satu awan pun yang terlihat menghalangi sinar sang mentari.

Tidak terasa sekarang Wei Wuxian sudah berada di tahun ketiga sekolah menengah atas. Sebentar lagi ia akan berpisah dengan hal-hal berbau masa remaja, dan segera terjun ke dunia orang dewasa yang keras. Berpisah dengan kawan-kawan sepermainannya untuk saling mengejar mimpi dan cita-cita masing-masing.

Saat memikirkan ini, tiba-tiba hati Wei Wuxian sedikit terasa asam. Namun, perasaan itu segera menghilang saat teringat bahwa ia dan Lan Wangji akan memasuki perguruan tinggi yang sama. Hatinya terasa menghangat, tak disangka ia dan Lan Wangji akan tetap bertemu di perguruan tinggi. Meski fakultas yang mereka ambil belum tentu sama. Namun, Wei Wuxian merasa ini sudah cukup. Setidaknya ia tetap bisa memandang pemuda itu dari kejauhan. Ataupun terkadang hanya akan bertegur sapa.

Momen-momen yang ia dan Lan Wangji habiskan selama ini, tidak akan Wei Wuxian lupakan. Akan ia simpan dengan rapi di memorinya, bersama dengan perasaannya pada Lan Wangji yang kian tumbuh makin besar.

Wei Wuxian menghela nafas. Dua minggu lagi, adalah hari pengumuman beasiswa Universitas Gusu. Ia berharap semoga dirinya dan Lan Wangji bisa lolos dan diterima di sana. Meskipun Lan Wangji tidak pernah berbicara tentang beasiswa Universitas Gusu, namun Wei Wuxian tahu bahwa Lan Wangji juga mendaftarkan dirinya.

Sebuah bayang-bayang seseorang tiba-tiba menghalanginya dari teriknya sinar matahari. Wei Wuxian mendongak, dan mendapati Lan Wangji telah berdiri di hadapannya.

"O-oh... kau sudah selesai, Lan Zhan?" tanya Wei Wuxian dengan agak terkejut.

"Mn,"

"Kalau begitu, mau makan siang dulu?"

"Maaf, ibuku menelponku. Ada hal mendesak. Aku harus pulang,"

"Ooh... baiklah. Kalau begitu mari kita berjalan ke halte sebelah sana," ada sedikit kekecewaan terlintas di hati Wei Wuxian.

"Mn."

Sebuah bus berhenti di halte itu. Mereka berdua lantas memasukinya dan mencari tempat yang kosong. Suasana bus agak sedikit lengang, sehingga dengan mudah mereka bisa mendapatkan tempat duduk. Setelah beberapa saat, Lan Wangji memencet bel di bus itu, pertanda bahwa ia akan turun di halte depan.

"Kalau begitu, aku akan turun di sini. Sampai jumpa besok Senin..!"

"Oke Lan Zhan, berhati-hatilah!"

"Mn."

Setelah itu Lan Wangji turun dari bus. Meninggalkan Wei Wuxian sendiri dengan kekosongan hatinya.

MENGEJARMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang