08 | 21 Mei 1999

45.6K 9.9K 2.7K
                                    


"Manusia akan selalu belajar dalam hidup.

Pada kegagalan dan pada kehilangan"


—LOSE IN MAY 1999—















"Pada tanggal 21 mei 1999, pukul 16:12 wib. Pesawat air-1125, penerbangan bandar lampung tujuan jakarta, dinyatakan jatuh dan tenggelam di perairan banten, setelah dikabarkan hilang 2 hari yang lalu. Para masyarakat, khususnya keluarga korban berbondong - bondong membanjiri pantai anyar."

"Sebanyak 59 penumpang beserta awak kabin dan dua pilot dinyatakan tidak ada yang selamat pada insiden kecelakaan tersebut. Beberapa korban telah dievakuasi, dan sisanya masih dalam pencarian."

"Pecahan pesawat air-1125 ditemukan terpisah - pisah dari satu titik ke titik lainnya. Sebagian ditemukan 20 meter berlawanan dari tempat jatuhnya pesawat air - 1125, dan sebagiannya lagi ditemukan sekitar 1 sampai 5 meter tak jauh dari titik pesawat jatuh. Beberapa bagian milik para korban juga telah ditemukan dan dievakuasi ke darat, berikut juga dengan jasad jasad para korban yang telah ditemukan. Namun masih belum diketahu pasti, alasan pesawat tersebut jatuh. Badan - badan terkait masih menyelidiki informasi lebih lanjut untuk mengetahui penyebab dibalik jatuhnya pesawat air - 1125."

Nama - nama korban yang telah ditemukan ; Chandie Alina Dayana (36 tahun), Fathur Arizal (27 tahun), Joshua Radennata (48 tahun), Firmansyah Arif (17 tahun), Karno kusuma (32 tahun), Putri anindia (21 tahun), sisanya masih belum ditemukan.

Langit kelabu kian lama kian memudar. Semakin gelap, semakin hampa.

Ketika suara senyap menyayat hati yang tak berperasaan.

Tentang kota yang semakin terluka akan pilunya.

Tak ada yang bisa disenangi ketika harapan menjadi Pupus

atau pertemuan yang berakhir perpisahan.

Karena pada dasarnya, yang abadi tidak benar-benar ada.

Bahkan untuk seseorang yang tersenyum padamu sebelumnya.

Kepada negeri yang sedang menangis.

Menangislah.

Menangislah pada ribuan luka perejat yang masih saja mengoyak hati itu dengan benda tumpul yang tak mampu kau deskripsikan bagaimana pedihnya.

Dan tersenyumlah ketika pilumu sudah tidak lagi mau menguak. Karena semestinya alam semesta bekerja, tidak mungkin rasa sakit abadi selamanya.

~o0o~

Ratusan keluarga, puluhan wartawan, ribuan penonton yang hanya datang karena penasaran. Berkumpul dan mengerubung di pinggiran pantai Anyar. Hendak penyaksikan prosesi pengangkatan bangkai pesawat serta potongan tubuh dan benda-benda milik para korban. Hari itu langit begitu cerah, namun suasana di sana begitu sendu. Suara tangis terdengar seperti suara ombak yang bergemuruh. Begitu hancur, begitu rapuh.

Pada titik pusat, terdapat terpal biru yang mewadahi benda benda milik korban yang berhasil di evakuasi. Titik itu digaris polisikan, tetapi orang – orang bisa melihat dengan jelas benda benda tersebut. Bagi para keluarga korban, dengan melihat benda benda yang mereka yakini itu merupakan milik orang yang mereka cintai. Itu merupakan kenyataan pahit yang harus bisa mereka terima, bahwa orang – orang yang mereka cintai ada di pesawat tersebut dan mereka tidak tahu bagaimana nasibnya.

Sebab, kepercayaan demi kepercayaan yang mereka panjatkan dalam setiap doa, seketika sirna begitu saja.

"Ibu! Itu topi Ayah!" Dwi tersedu sedan memeluk sang Ibu.

Tama sama hancurnya, ia menangis bahkan jauh sebelum langkahnya menginjakan pantai Anyar ini. Ia bahkan tidak sempat menelan nasi untuk sarapan, karena pikirannya yang kacau dan takut menghadapi hari ini.

Di sisi lain pantai, Banu tampak histeris dalam tangisnya. Menyebutkan nama sang kakak dalam setiap ucapan. "Mbak Sinta!" Banu menjeru. Tangisnya pecah tak karuan. Bibi yang berdiri di sampingnya pun lantas memeluk tubuhnya erat.

Latifah mengamati tas ransel hitam dan biru milik kedua putranya, Bima dan Awan. Ia tak akan pernah sanggup menerima kenyataan ini. Ia tak kuasa menahan tangis. Bahkan sang Ibu, nenek dari Bima dan Awan tak kalah terisaknya dengan Latifah.

Jujur saja, hati kecilnya masih percaya bahwa Regandra masih hidup di luar sana. Hanya saja, ia tidak tau di mana keberadaannya. Sampai sorot matanya terfokus menatap blazer cokelat milik suaminya itu, mematahkan keyakinannya soal nyawa yang masih hidup. Blazer yang ia beli sebagai hadiah ulang tahun Regan ke tiga puluh tahun itu, tergeletak di antara koper dan sepatu milik orang lain, yang sudah tak terbentuk seperti sejak pertama kali ia membelinya.

Teremuk redam, hatinya merengut. Lagi-lagi, harapannya pupus oleh semesta yang tak pernah setuju. Ia masih tak percaya bahwa blazer itu milik suaminya, tetapi tanda R dengan huruf besar pada dada kanan tersebut mengatakan hal sebenarnya. Ia berusaha keras menahan tangisnya, tetapi berujung petaka tangis yang lebih besar. Kakinya jatuh tersungkur ke atas pasir, yang kini basah oleh air matanya.

Dua anak kembar berlarian mendekat, kini berdiri di samping Fara. Sang gadis Elvira tampak menunjuk ke arah name tag bertanda pengenal 'Pramugara Joshua Radennata' milik Papa. Dimas sektika mennagis tak karuan, sementara Elvira pergi membelakangi benda benda tersebut karena tak sanggup lagi untuk melihat kenyataan itu. Ia menangis begitu dalam, Dimas lantas memeluknya dari belakang. Tangis keduanyapun semakin pecah, mengalah ngalahkan suara ombak yang begitu dasyat hari ini.

Sampai datanglah beberapa kapal yang membawa kantong mayat korban. Para tim medis di kawal anggota kepolisian turun dari kapal sembari membopong kantong- kantong mayat tersebut menuju ambulans. Dari situlah para keluarga korban mericuh, pindah mengerubuni para pihak pengurus untuk mengetahui siapa saja mayat yang berhasil mereka temukan. Hingga akhirnya pihak kepolisian harus turun tangan akibat banyak timbulnya desak desakan yang menghalangi jalan para tim medis.

"Tolong minggir dulu, biarkan para tim medis melakukan pekerjaannya¸" peringat Pak Gandi, anggota kepolisian yang bertugas untuk menjaga keamanan di lokasi kejadian saat ini.

Beberapa polisi bergandengan membentuk lingkaran mengelilingi tiga orang tim medis yang sedang membopong kantungan tubuh korban di dalamnya. Mereka pun menuntun tim medis menuju ke mobil ambulans untuk segera membawa korban ke Rumah Sakit. Tak lama kemudian, datang lagi kapal yang membawa tubuh korban lainnya. Yang kemudian turut Memicu histeris para keluarga korban yang hadir di tempat.









—LOSE—


Oke, sampai ketemu di chapter berikutnya.

1| LOSE IN MAY 1999 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang