1. Renungan Penyesalan atau Rindu yang Menunggu

58 3 3
                                    

"Hujan..
Begitu deras tangismu hari ini
Hingga aku mulai berharap
Derasmu mampu mengguyur rinduku
Basahi aku hingga aku mampu melupa.. 

Sunyi.... Kata yang pas untuk menggambarkan situasi ini. Bagaimana tidak, sorang gadis dengan  rambut terurai berjaket hitam dengan bawahan jeans panjang itu sedari tadi hanya menidurkan dirinya disudut kiri ruangan di atas lantai vynil yang licin. Tatapan kosong dan otaknya bergelud dengan kenangan masa lalu. Gitar hitam disebelahnya pun menjadi saksi kebisuan. Hanya jam dinding yang berani bersuara. Tembok yang tertutup cermin dari lantai sampai langit langit mengelilingi ruangan menjelaskan betapa tidak bahagianya dia yang tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Hingga sepersekian detik ia melamun sendirian diruang latihan, ia mengubah posisinya menjadi duduk. Masih seperti semula, bak kegelapan sudah merundung semangat senyumnya. Menengok ke tas ransel yang ia gunakan untuk bantalannya. Perlahan tangannya meraih sesuatu yang berada di saku tas sebelah kanan. Terdapa selembar kertas putih kecil. Disaat kertas itu dibalik, nampak gambar seorang perempuan dan laki-laki yang menggunakan seragam sekolah. Beratasan putih ditemani dasi pita nan cantik dengan bawahan kotak-kotak. Tangan sang lelaki merangkul pundak perempuan itu. Senyum sumringah itu mampu menghipnotis semua mata yang melihatnya. Dan benar saja, si gadis ini yang tadinya redup bagai lampu dop yang 1 watt perlahan menarik sedikit sudut bibirnya keatas. Hatinya terasa damai setelah melihat kebersamaan dalam foto itu.

Anganya sudah berkelana ke masa itu. Masa dimana foto itu diambil. Bak ruang waktu, ia kembali ke masa yang amat teramat menyentuh

Tapi tak lama semua itu berubah menjadi mendung kembali, setelah membawa foto itu ke pelukannya. Ia mulai mengerutkan dahinya dan tanpa sadar butiran air mata sudah tak bisa terbendung dan jatuh membasahi pipi. Menggigit bibir bawah untuk menahan sesak di dada. Entah kenapa emosinya kian memuncak. Kacau sudah.. kini isaknya tak bisa ia sembunyikan, dan luka semakin terasa disaat ia mengingat seseorang dalam hatinya.

"Maafkan aku.." ucapnya di sela-sela sesegukan tangisnya.

Tiba-tiba..



Ceklet suara pintu terbuka

"Paman Son.. " sapa gadis itu dengan berusaha menghapus air matanya dan menutupi pedih dengan senyuman terpaksa.

"Rei-aa.. Kenapa kau tk bergabung dengan yg lain..?" Tanya Paman Son dan berjalan mnghampirinya

"Ahh.. Aku sedang malas saja. Hanya ingin sendiri sebentar." berusaha baik-baik saja.

"Oh Baiklah.. Tapi apa yg membuatmu malas hm? Apa ada masalah? " tanyanya khawatir dan duduk disebelah Rei.

Awalnya ia ragu untuk menceritakannya. Sejenak ia terdiam. Mencoba menata hati yang sedari tadi sudah perih. Dengan mata yg berkaca2 ia menatap Paman Son dan mulai berbicara..

"Aku merasa.. nama yg beberapa kali ku sebut di malamku
Tawa yg sempat mengisi hari2 ku
Detak yg selalu menggebu..
Semua itu tk lagi kurasa Paman.
Aku baru menyadarinya.. Huhhh"
Senyum pahit.

Paman Son menatapnya sendu
"Rei-aa.. Apa kau begitu sedih karena mantanmu itu?
Katanya kau sdah melupakannya. Kenapa sekarang kau masih mengingatnya? "

"Entah kenapa aku merasakan rasa yang selama ini tak pernah lagi kurasa meski berpacaran berkali2 dengan yang lain. rasa itu kembali lagi.. Dan dia orang yg membuat aku merasakannya. Jujur saja aku tak bisa melupakannya."

"Aku mendengar cerita dari adikmu.. Bahwa dia pernah memberimu secarik surat terakhir sebelum dia pergi dari Kota itu. Apa benar? "

"Iya Paman, itu benar. Aku begitu frustasi jika mengingat surat itu.. "

"Apa isi surat itu.. "

"Sebentar, sepertinya aku membawanya.. (berusaha mencari surat itu di sela-sela buku hariannya).. Ini Paman"

"Aku boleh membacanya? "

"Em.. Kau sudah seperti Appa bagiku.. tidak ada yg tidak kau ketahui tentangku Paman.. "

Paman Son tersenyum dengan sedikit mengusap kepala Rei dan mulai membaca secarik surat itu.

Dan setelah beberapa detik membaca surat itu..
"Tunggu dulu.. Apa kau disaat itu tak mendengarkan penjelasanya terlebih dahulu Rei-aa?"

"Iya paman" menunduk merasa bersalah.

"Yyaak.. Bagaimana bisa kau seperti itu. Kau seharusnya mendengarkan nya.. Bisa saja ada orang yg ingin merusak hubunganmu dengan memfitnah kekasihmu agar kau mmbencinya."

Tanpa sadar air matanya mengalir
"Paman, dia bukan kekasihku lagi.. Hiks hiks"

"Yyak kau ini bisanya menangis dan menangis saja.. Berdirilah hampiri dia.. Coba berbicaralah dan cari kebenaran darinya.
Kau ini, hanya menguras waktumu saja..
Jika aku jadi kau aku akan menghampirinya dan menanyakan kesalahpahaman ini."

"Paman.. Kenapa kau memarahiku!!
Aku sedang sedih sekali.. Hiks hiks"

"Oh bukan seperti itu maksudku... Maafkan ak--(terpotong)"

"Apa menurutmu aku tk ingin melakukanya, jika aku bisa sudah kulakukan..
Aku tak tau harus apa, aku begitu malu denganya.
Aku merasa bersalah dan merasa tak pntas denganya.
Makanya aku tk ingin menemuinya Paman!.. "

"Maaf. . Aku mengerti, tapi maksudku kau ha--(terpotong) "

"Sudahlah, (mengusap air mata dan berdiri) aku ingin pulang saja.. Besok aku akan datang terlambat. Karna aku harus mengerjakan tugas kuliah dulu.. Sampai jumpa besok." ketusnya dan langsung pergi meninggalkan ruangan.

"Yyaak Reiaa.. Kau ini
Aishh anak itu selalu saja "

WE MEET AGAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang