35 | Fake Anger

1K 123 12
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Setibanya mereka di Jakarta, June maupun Jenna lantas bergegas menuju rumah Jenna yang letaknya berada di pinggir kota. Mereka perlu melewati gang-gang sempit yang hanya bisa dilewati oleh motor untuk sampai di sana. Namun, bangunan itu tidak sekumuh yang semula June bayangkan, ketika Jenna berkali-kali meminta maaf perihal rumahnya yang tak layak buat orang seperti June.

Bangunan itu masih bagus, meski banyak debu bersarang di mana-mana—mungkin karena sudah ditinggal pemilik rumah selama berbulan-bulan. Tempatnya juga tidak bisa dibilang kecil, ada satu jalan lain di sisi kiri rumah yang rupanya bisa digunakan untuk akses keluar-masuk mobil.

Begitu pintu terbuka, June disambut oleh suasana rumah yang temaram. Lampu-lampu pada dimatikan, hanya bermodal cahaya remang dari matahari yang masuk menerobos jendela di sela tirai yang sedikit terbuka. Tetapi barang-barang di sana masih tertata rapi, walaupun sedikit tidak terawat.

"Maaf, ya. Lantainya berdebu, dipakai aja sendalnya." Jenna meringis tak enak begitu mereka beranjak memasuki rumah. "Selama ini gue tinggal di mansion Julio, jadi gue jarang pulang ke rumah. Paling itupun sebulan sekali, kalau gue ingat. Ada, sih, tetangga yang seringkali ngerawat rumah gue, tapi gue dapat kabar kalau dia baru aja pindah."

June hanya mengangguk sambil sesekali mengiyakan guna menyimak ucapan Jenna. Setelah menyalakan lampu, wanita itu membawa June ke sebuah kamar tidur berdominan biru dongker dan putih. Pintu sedikit berdecit saat terkuak, membuat kesan suram tampak sangat jelas.

Sontak, Jenna menarik kursi belajarnya dan membersihkan benda tersebut menggunakan tissue basah yang ia bawa di dalam tas. Kemudian membuka jendela agar udara segar berhasil lolos ke ruangan tersebut.

"Duduk dulu," perintah Jenna. "Tempatnya emang agak panas, makanya jendela itu gue buka."

"Nggak apa-apa, gue udah cukup kedinginan sepanjang perjalanan tadi." June mendaratkan bokongnya di atas kursi. "Makasih, ya, Jen."

"Gue mau mandi, nggak apa-apa 'kan kalau gue duluan?"

June mengangguk, membiarkan Jenna membuka kopernya untuk mengambil peralatan mandi dan pakaian ganti. Lantas, wanita itu bergegas meninggalkannya sendiri saat Jenna masuk ke sebuah kamar mandi yang saling terhubung dengan ruangan yang ia tempati sekarang.

Selama beberapa menit, June hanya bisa melarikan pandangan untuk menjejaki tiap sudut ruangan. Dinding-dinding tampak kosong, berbeda dengan kamar Jenna di apartemen. Hanya ada beberapa polaroid yang digantung di dekat meja belajar. Rata-rata didominasikan oleh foto Jenna kecil, salah satunya siluet Jenna dengan seorang pria yang dijepret dari arah belakang.

Melihat itu, June jadi merindukan sosok Papa yang hanya akan selalu menjadi bayang-bayang di hidupnya. Bagaimana bisa ia menemukan sosok itu ketika ingatan tentang pria itu saja berhenti tanpa waktu yang jelas.

Namun, begitu pandangannya tersita pada salah satu foto yang ada di sana, wanita itu dalam sekejap tersentak. Ada sesuatu yang asing tiba-tiba melintas di pikirannya, sampai sebuah suara menginterupsi lamunan June yang mulai menenggelamkan.

Something in Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang