Prolog

56 7 3
                                    

Sepasang earphone terpasang di telinga gadis berumur enam belas tahun, benda itu menyeka suara bising dari keramaian kelasnya. Salah satu lagu yang dipopulerkan oleh Fiersa Besari setia menemaninya, sampai-sampai lagu berjudul 'Garis Terdepan' itu telah ia putar hampir tujuh kali putaran.

'Entah aku pengecut, atau kau tidak peka'

Nadya memejamkan matanya, merasakan setiap lirik masuk dalam akalnya, meremas rindu yang kadang datang walau tengah bertemu.

Tiba-tiba suara itu menghilang, mata Nadya terbuka. Sontak gadis itu menatap pelaku yang melepas earphone miliknya.

"Apa sih lu, Bim? Gak ada kerjaan apa?" tanya Nadya.

Lelaki dengan tubuh tegap itu sudah dari tadi menatap Nadya, dia Bima. Bima menaiki meja, kemudian duduk menyamping dengan wajah terus menatap gadis itu.

"Dari tadi lu sibuk mulu, guenya kapan lu perhatiin? Sebagai sahabat, kita itu harus berbagi!" ucap Bima dengan tangan memetakan ucapannya.

Nadya melotot, bibirnya manyun, kemudian merebut earphone dari tangan Bima. "Dih, najis!"

Bima tidak akan marah, sekalinya marah dia hanya bisa diam tanpa kata. Apa boleh buat, Nadya adalah sahabatnya dari kecil, wajar jika persahabatan mereka sekuat baja juga seerat jiwa dan raga.

Jam pelajaran awal sudah diperkirakan kosong, karena hari itu adalah awal masuk semester dua, yang kemungkinan besar pelajaran tidak akan efektif.

Siswa kelas sepuluh IPA-I masih dengan keributan semula, sebagian siswa tengah sarapan di kantin, ada yang beberes, ada yang di koridor, ada juga yang sibuk mengasah hobinya, ghibah.

"Ini yakin lu gak bakal ngasih denger ke gue?" tanya Bima. Nadya masih menghiraukan Bima. "Nad, Nanad! Ih, awas lu, ya! Nad, gue gak ada temen sumpah," paksa Bima.

Nadya menatap Bima sinis, sedetik kemudian gadis itu melepas salah satu earphone, dan memasangkannya untuk Bima. Dengan jahil, ia telah memindahkan lagu yang ia dengar ke lagu yang lain.

"Anjir, dangdut. Kalau tau gini, gue lebih baik nongkrong di depan, jadi lalat sekalian," ucap Bima seraya melepaskan earphone. Lelaki itu turun dari tempat duduknya, berpindah ke kursi di samping Nadya yang sudah kosong sejak tadi.

"Makanya diem! Gue lagi suka genre dangdut sekarang tahu!" ucap Nadya dengan tawa yang ia pendam.

Bima melepas earphone itu, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Nadya. Gadis itu tertegun, satu detik terasa hampa tanpa suara, jantungnya bedegup kencang, apalagi adegan selanjutnya lelaki itu membuat dia terbawa perasaan.

"Nad, gue pengen pacaran. Seru kali, ya? Lihat temen-temen kita yang punya pacar rasanya itu greget gimana gitu. Gue bosen jadi penonton, kali aja gue jadi pemeran, kan?" tanya Bima panjang lebar.

Wajah Nadya yang putih kini merona, ia tak bisa berkata-kata.

"Gue, pengennya. Sama cewek yang bisa ngerti gue, bisa jadi pendengar yang baik, bisa menegur gue dengan lembut, yang paling penting, bisa menerima gue apa adanya, Nad." Bima menatap langit-langit, ia memeluk lututnya dengan kepala masih bersandar pada bahu Nadya.

'Denger hati gue, Bim! Gue cinta sama lu!

I Can't Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang