Hari terus berganti, angin telah berirama menjadi melodi asmara. Hangat mentari kali ini terasa berbeda, memadu kasih antara bumi dan surya, semua berdamai sesuai kehendakNya.
SMA Garuda tengah berbising ria, mengalun nada, bergerak sama rata.
Keringat menyusuri dahi Nadya, menjadi anggota marching band bukanlah suatu hal yang mudah. Melatih kekompakkan, fokus, dan disiplin adalah kunci utama.
Gadis itu tengah memainkan marching bells yang digantung ke pundaknya. Sementara matanya fokus pada dua kubu.
Kadang Nadya tersenyum, melihat Bima yang tengah berdiri menunggu jam istirahat eskul marching band, seraya memegang sebotol minum dan kotak bekal milik Nadya. Kadang ia juga jengah, melihat Arjun dan teman-temannya yang malah bergoyang ria mengikuti irama yang dimainkan tim itu.
"Bagus! Kompak!" teriak pembina marching band saat semua anggota menyelesaikan latihan. "Oke! Kalian boleh istirahat."
Nadya melepas alat musik itu, kemudian berlari ke tepi lapang menghampiri Bima.
"Cape?" kata Bima seraya memberikan sebotol minum di tangannya.
Nadya mengangguk setelah air minum melewati tenggorokan. Lelaki berseragam olahraga itu mengelap keringat Nadya dengan tisu, sementara Arjun dan temannya berlari menghampiri mereka berdua.
"Yang, cape? Sini, abang pijitin!" ucap Arjun.
Dengan lembut Arjun memijat pundak Nadya, tak lupa dengan Oga yang sedia menjadi kipas angin manual menggunakan buku pelajaran, sedangkan Wisnu malah duduk menunduk enggan memperhatikan itu semua.
"Astagfirullah," gumam Wisnu.
"Enak ya, yang punya pacar, diperhatikan, disayang. Omong-omong pacarmu yang mana, Nad?" tanya Mayang yang tiba-tiba berada di antara mereka.
Semua mata memandang pada gadis cantik itu, dia masih terlihat segar, padahal hari sudah mulai sore. Tidak seperti Nadya yang mulai pucat dengan keringat yang bercucuran.
Nadya melotot, namun tidak ada hati untuk berurusan dengan si korban bully itu.
Arjun memalingkan pandangan. "Masih pegel?" tanyanya pada Nadya.
Tanpa jawaban, Arjun tetap setia pada Nadya.
Mayang mendaratkan bokongnya di bangku yang berderet di tepi lapang, tepat di samping Bima.
"Bim, kamu sahabatan doang sama Nadya, kan?" tanya Mayang dengan intonasi yang sengaja dinaikkan. "Boleh minta nomor telepon?"
Nadya beranjak dari tempat duduknya, ia mengepal tangannya tak terima. "Maksudnya apaan?"
"Yang, jangan ih!" Arjun menarik tangan Nadya refleks.
Mayang mengibaskan rambut pelan, menggigit bibir kemudian tersenyum licik. "Kenapa emang? Bukannya pacar kamu itu dia? Si muka tebel," ucap Mayang.
Oga dan Wisnu menatap Arjun sembari menahan tawa. Sebenarnya, Arjun sudah naik darah, ingin rasanya dia memaki dan marah pada gadis itu.
"Gak ada alasan buat kita marah-marah, Nad. Lagian, dia juga gak salah, kan? Alur hidup dia gak jelas, tiba-tiba datang buat onar, kan gak lucu. Kita ngalah aja, ya! Sejauh ini aku tahu, hatimu tidak sepenuhnya buat aku, tapi bentuk tulusku adalah bersabar," ucap Arjun pelan, ia menggiring Nadya untuk berpindah ke tepi lapang lainnya, tak lupa, ia juga membawa kotak bekal yang ada di tangan Bima.
"Nad!" ucap Bima. Namun Mayang menarik Bima saat lelaki itu ingin ikut serta berpindah tempat.
Nadya kembali duduk bersama Arjun dan dua temannya, sedangkan matanya masih saja fokus pada Bima yang tengah mengobrol dengan Mayang di seberang sana.
Arjun meraih kedua tangan Nadya. "Nad, aku tahu aku banyak kurangnya. Tapi, memilih kamu bukan berarti aku ingin menutupi kekurangan itu. Aku tulus, Nad! Si Bima juga berhak bahagia, kan? Apa kamu gak mikir, kalau dia tetep sendiri karena sikap kamu yang terlalu ...."
Tiba-tiba telapak tangan Nadya mendarat di pipi Arjun. "Jangan bahas dia!"
Lelaki itu tersenyum, padahal matanya sudah berkaca-kaca tidak terima. "Seberengsek apa sih aku di mata kamu, Nad? Apa kamu gak pernah lihat perju ...."
"Perjuangan apa? Lu gak pernah ngelakuin semuanya sendirian, lu gak bisa cinta setulus yang gue mau. Pergi!" teriak Nadya.
Arjun menunduk, ia lantas berdiri, mengajak kedua temannya untuk pergi. "Harusnya aku yang tanya itu ke kamu, Nad," gumam Arjun.
§
Suasana sekolah kini menghilang, namun dentuman musik tadi masih terngiang-ngiang di telinga Arjun.
Rumah Arjun kini menjadi tempat kumpul Oga dan Wisnu, mereka sedang asik bermain play station di kamar Arjun, sedangkan sang pemilik hanya terbaring sembari meratapi nasibnya.
"Gue udah bilang, kan? Kalau pacaran itu dilarang sama agama," kata Wisnu datar. "Kita harus bisa jaga pandangan, menjaga kemaluan, intinya jangan mendekati zina-lah!" imbuhnya.
Arjun menutup telinga dengan bantal. "Berisik!"
Sedari tadi Arjun hanya berguling-guling di atas kasur, dia gelisah tentang kisah asmaranya.
"Padahal gue udah baik banget sama dia, ya. Waktu gue kasih kue ultah ke dia, itu asli buatan gue, meskipun bahannya patungan gue tetep ganti, kan? Terus gue gak ngelarang dia buat deket sama cowok mana pun asal bisa jaga hati, telepon gue gak diangkat pun gue gak marah. Senakal-nakalnya gue, kalau urusan cewek masih gue hormatin, Nu, Ga," ucap Arjun.
Oga menoleh ke arah Arjun, ia tertawa lawak seraya melontarkan kata-kata. "Bro, kalo lu siap rasain apa itu yang namanya cinta, lu harusnya juga sadar, luka itu ada, bahkan bisa jalan bareng ama cinta. Sabar-sabarin aja!"
Arjun mengangkat tubuhnya, memposisikan tubuhnya senyaman mungkin. "Ya, masalahnya dia gak suka sama gue."
"Lah, itu lu tau," balas Oga.
Permainan sepak bola yang Oga dan Wisnu mainkan telah berakhir, Wisnu berdiri seraya menarik tas kemudian menggendongnya. Lelaki berhidung mancung itu berpamit pulang, dan berjanji untuk datang lagi nanti malam.
"Buat Arjun sahabatku kang galau. Lu bisa meluluhkan keras kepalanya Nadya pake hati lembut lu. Tapi buat lu yang punya kelembutan hati, please, jangan keras kepala buat ngelakuin itu semua. Stop pacaran! Dosa!" potong Wisnu. "Gue pulang dulu, ya!"
Arjun menangkap kata-kata dari Wisnu, ia merenung. Apa bisa Nadya luluh karena kelembutan hati? Tapi, sejauh ini Arjun sudah melakukan apa yang harusnya ia lakukan, bersikap lembut dan perhatian.
Kepala Arjun semakin pusing memikirkan apa yang harus ia lakukan.
"Oga, menurut lu. Hal apa yang membuat seseorang luluh dan lemah?" tanya Arjun.
Oga masih sibuk mengutak-atik analog, lelaki bekulit hitam dengan rambut yang ikal itu sebenarnya mendengarkan pertanyaan Arjun, tetapi ia tidak bisa diganggu gugat saat ia memainkan permainan kesukaannya.
"Oga! Gue matiin PS-nya baru tau rasa lu," ancam Arjun.
"Eh jangan!" balas Oga. "Nih, menurut gue, bener kata si Wisnu, hati yang lembut! Atau enggak gini, buat dia kecewa sama apapun atau siapapun yang jelas jangan elu, habis itu dia pasti down, nah itu bisa jadi kesempatan lu buat meluluhkan Nadya yang keras kepala, semacam pahlawan yang datang gitulah. Ngerti, kan?"
Arjun tersenyum, seketika sebuah rencana muncul di otaknya.
'Tanpa ngelakuin ini, gue udah tulus sama lu, Nad. Hanya saja, sikap lu terlalu memaksa gue buat ngelakuin ini semua."
....
"Cinta bertopeng persahabatan itu memang menyakitkan."