6. Jauh di mata, sakit di hati.

14 1 1
                                    

Matahari baru saja mengintip ke permukaan bumi, tidak begitu hangat, namun perlahan datang menemani.

Arjun tengah menalikan tali sepatunya, ia memakai celana pendek dan baju olah raga lengan panjang. Kakinya terlihat panjang, juga otot-otot lengannya yang terlihat berisi membuat lelaki itu semakin keren dipandang.

Tanggal merah akhir pekan, Arjun dan dua temannya bersiap untuk memulai kembali rutinitas mereka yang sempat terhenti. Lari pagi adalah salah satu cara agar Arjun terlihat lebih sehat dari sebelumnya.

Arjun meraih jaket, kemudian memakainya karena udara saat itu belum terasa hangat.

Pemanasan dan peregangan dipimpin oleh Oga, pekarangan rumah Arjun sangat cocok untuk itu. Gerakan demi gerakan sudah terselesaikan, otot-otot mereka telah siap untuk beraktifitas lebih kali ini.

Arjun memimpin lari, disusul Oga kemudian Wisnu. Matahari mulai bersinar terang nan hangat, cahaya itu sampai pada tubuh ketiga sahabat itu.

Alun-alun kota Bandung menjadi target mereka, menyusuri jalan dan menghirup segarnya udara pagi.

Embun masih belum kering menguap, pohon-pohon rindang di sana masih tetap setia pada dingin.

Arjun mengelap dahinya saat angin bertiup dan membuat embun berjatuhan di atasnya.

Tiba-tiba lelaki itu berhenti mendadak, membuat Oga dan Wisnu menabrak tubuh tinggi Arjun.

"Ada Nadya," kata Arjun.

Oga mengintip dari balik badan Arjun, "kenapa berhenti, gak disamperin?"

"Lu berdua tunggu di sini!"

Arjun berlari menghampiri Nadya, sementara keadaan sudah mulai ramai pengunjung yang rata-rata melakukan aktifitas yang sama. Nadya sudah berhenti, mengetahui ada Arjun di depannya membuat dia shock, bagaimana tidak? Arjun seakan menjadi phobia untuk Nadya, namun kali ini gadis itu mencoba diam saja.

Lari Arjun terhenti saat ia sudah berada tepat satu langkah di depan gadis itu.

"Kamu, sendirian?" tanya Arjun. "Boleh aku temenin?" imbuhnya lagi.

Nadya memalingkan muka, rambut yang ia ikat mengayun, wajahnya terhalangi bayangan topi yang ia kenakan.

"Kenapa harus ketemu di sini?"

"Bukannya cuma kebetulan? Lagian kamu berani amat main jauh-jauh, cewek, sendiri lagi."

Nadya menoleh kebelakan. "Bim!" teriaknya lantang.

Lelaki di seberang berlari menuju Nadya, dia Bima tentunya.

"Maaf lama, ya?" tanya Bima.

Bima membawa doa botol minum yang baru saja ia beli. Kemudian membukakannya untuk Nadya.

Arjun tersenyum melihat perhatian Bima. Padahal hatinya seperti tercubit dengan keras. Arjun mematung, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menyenangkan hati Nadya.

Setiap hari Arjun hanya menyapa, sebesar apapun perhatiannya, hal itu hanya omong kosong bagi Nadya.

Arjun adalah anak dari seorang pengusaha restoran, ibunya juga memiliki usaha menjahit yang masing-masing sudah terkenal di kotanya. Lantas ia tidak terlarut dalam gelimang harta, ia masih berpikir, haknya adalah memenuhi kewajiban sebagai anak. Ia tidak akan meminta lebih selagi apa yang diberikan orang tuanya dirasa cukup. Karena itulah Arjun cukup hemat dalam menjalani hidupnya.

Hati kecil Arjun berbisik, 'jika kumiliki semuanya, itu akan menjadi milik kita,' tapi ia semakin sadar, jika mendapatkan Nadya adalah dengan caranya sendiri, ia juga harus membahagiakannya dengan caranya sendiri.

Arjun menghela nafas, ia melepas jaketnya kemudian mengikatkannya pada pinggang Nadya.

"Jaga diri baik-baik, ya, Nad! Kalau aku deket bisa bikin kamu kecewa, lebih baik aku memperhatikanmu dari kejauhan saja."

Jaket itu sudah terikat, menutupi bagian belakang Nadya.

"Jaga ya, Bim!" pinta Arjun.

Nadya nyelonong pergi, Bima hanya mengacungkan jempolnya kepada Arjun seraya menyusul Nadya.

§

"Nad, Nad!" ucap Bima.

Nadya terhenti, ia menghela nafas kasar, kemudian meneguk air minum yang sedari tadi ia bawa.

"Kurang baik apa sih Arjun sama lu? Gue heran ya sama cewek, pengen dapetin cowok baik tapi dapet yang terlalu baik malah ditinggalin, ada yang setia malah gak dipedulikan. Baru kali ini gue gak ngerti sama lu, Nad!"

Nadya menatap tajam mata Bima.

"Gue gak maksa lu buat cinta sama Arjun, gue juga gak nyuruh lu buat ninggalin dia. Gue cuma mau, lu beri dia kepastian, Nad! Oke, Arjun itu cowok, badannya kuat, tapi, lu gak tahu kalau hati cowok juga bisa terluka? Jangan bodoh, Nad!"

Nadya menghela nafas kasar, ia sedikit membuang muka. "Kenapa bela Arjun?" tanya Nadya, matanya mulai berkaca-kaca.

"Lu mikir gak sih! Lu yang salah!" bentak Bima.

Suara lantang Bima membuat orang-orang di sekitar memandang mereka.

"Ini bukan urusan lu, Bim!" ucap Nadya setengah gemetar.

Bima memegang dahinya, "astaga, Nadya!"

Gadis itu berusaha menahan tangis, baru kali ini Bima membentak Nadya sekeras itu. Sekilas Nadya berpikir, apa harus membuka hati kepada orang selain Bima?

"Please, Bim! Jangan ikut campur!" pinta Nadya sekali lagi.

Bima sudah muak, ia mengibaskan tangannya.

Urat di leher Bima yang terlihat mulai hilang dari pandangan, mukanya yang memerah pun kembali pada asalnya, Bima menghela nafas, berusaha menyabarkan hati. "Kalau lu gak mau ngertiin diri lu sendiri dan orang lain, juga gak mau urusan lagi sama gue, oke, gue pergi."

Lelaki itu berjalan melewati Nadya. Air mata Nadya lantas mengalir, ia berusaha menyeka namun tidak bisa juga.

Nadya berlari, tangannya meraih baju bagian belakang milik Bima. Sontak Bima terhenti, lelaki itu merasakan tangan yang sudah melingkar di perutnya, suara isakan pun mulai ia dengar.

Kepala Bima menunduk, ia melihat tangan itu, seperti dugaannya, itu adalah Nadya.

Pelukan itu semakin erat, namun Bima tak lagi mau memanjakan gadis itu. Bima berpikir, jika ia bisa lebih keras pada Nadya maka Nadya akan lebih memahami dirinya.

Punggung Bima merasa dingin, air mata Nadya ternyata sudah tembus.

"Apa lagi?" tanya Bima datar.

Tak ada jawaban dari Nadya, gadis itu hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Gadis itu tak pernah merasakan kena marah yang berlebihan, dia lahir dari keluarga harmonis nan lembut. Wajar, jika ia merasa tertekan jika ada orang yang membentaknya, apa lagi itu adalah Bima, yang ia kenal sebagai sosok paling penyabar.

Bima berusaha melepas pegangan Nadya, tapi semakin ia berusaha untuk melepaskan, pelukan Nadya justru semakin kuat.

"Nad, lepas!" kata Bima sabar.

Nadya masih menangis saja.

Bima membalikan badan, membenamkan wajah Nadya di dada Bima. "Maaf!" ucap Bima seraya menyeka air mata.

"Udah, jangan nangis! Malu diliatin orang," imbuhnya menenangkan Nadya.

Gadis itu tak kunjung diam, lantas Bima menggandeng tangan Nadya untuk pergi.

Di tepi jalan sana, di balik pohon yang rindang, Arjun mematung, ia menyaksikan semuanya pun Oga dan Wisnu.

Tangan Wisnu respek mengusap punggung Arjun saat ia melihat hidung dan mata sahabatnya itu memerah.

Arjun menelan ludahnya. "Gue. Gue, duluan, ya!" ucap Arjun dengan senyum yang jelas itu bukan senyuman yang seperti biasanya.

...

Gimana, nih?
Nadya-nya ke siapain hayo?
Bima? Atau Arjun?3

I Can't Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang