Putih dan abu erat memeluk dinding, warna monokrom itu memberikan nuansa yang begitu tenang. Jam berdetak tak ingin kalah dengan suara jantung, namun sunyi tetap membalut malam yang kelam.
Sprei putih itu masih rapi tak tersentuh, pun selimut abu tua yang masih terbentang di atas kasur.
Bima masih menatap layar laptop, padahal, waktu itu adalah jam tidurnya.
Buku pelajaran dan handphone berada di samping kanan keyboard laptop, ditemani secangkir kopi hitam yang sedang ia genggam sekarang.
Logo SMA Garuda tertera di halaman utama Microsoft Word, sepertinya tugas baru dari ketua OSIS harus selesai malam ini.
Lelaki itu sedikit menggigil kedinginan, dipasangkannya kaus kaki dan jaket yang lumayan tebal. Ia masih ragu, hatinya merasa gundah, mengingat tadi pagi ia telah membentak sahabatnya.
Bima melihat ponselnya, berniat menghubungi Nadya. Namun nyalinya masih ciut, ia tak cukup berani menghubungi seorang cewek yang sedang dilanda rasa marah dan kesedihan.
Biasanya, Bima akan datang di hadapan kemudian memeluk Nadya untuk menenangkan, kali ini ia bingung sendiri, Nadya tidak ada di depannya.
Bima menatap foto hitam putih dengan bingkai hitam yang tertempel di dinding kamar, ia tersenyum, lantas mengusap pipi Nadya di foto itu.
"Manisku," gumam Bima.
Jemarinya yang panjang meraih sebuah gitar yang menyender di dinding, lelaki itu mulai memetik benda bersenar itu.
"Me...runtuhkan egoku bukanlah, suatu hal yang mudah."
Bima menghentikan petikannya, lirik lagu yang ia nyanyikan juga dilewat dan terhenti begitu saja.
Mata Bima mulai berkaca-kaca. Ia kembali berdiri untuk melepas foto Nadya dari bingkainya. Bima membalikkan foto itu, tertera tulisan 'Nadya dan Bima, 4 ever' yang jelas-jelas itu adalah tulisan lelaki itu.
Si Gagah itu mulai gundah, ia terbaring seraya menyeka air mata, bersembunyi di sebalik selimut tanpa harus berkata-kata.
Hatinya terenyuh, kenapa dia tidak bilang kalau dia tidak baik-baik saja saat Nadya bilang dia adalah pacar Arjun.
Alam merasa tak tega dengan kejadian kali ini, sehingga memaksa Bima untuk terlelap dan terhanyut dalam mimpi-mimpi yang indah.
§
Sejak tadi Nadya hanya mondar-mandir saja, ia bingung, kenapa Bima tak meneleponnya malam ini, bahkan untuk sekedar menghibur.
Nadya meraih ponselnya, mencari-cari kontak Bima kemudian meneleponnya.
"Halo, Bim. Udah tidur, ya?" tanya Nadya penasaran. "Oh maaf-maaf, gue ganggu!"
"Gak papa, ada apa, Nad?" tanya Bima dengan suara khas orang baru bangun.
"Bim, kayaknya bener, ya. Gue tuh harus buka hati sama Arjun. Lagian, gue juga pernah tuh sedikiiit naksir sama dia, meskipun ilfil juga, sih. Omong-omong, maaf, ya! Gue udah keras kepala."
Suasana sekejap hening, tak ada jawaban dari Bima, namun sedetik kemudian lelaki di seberang telepon pun bersuara. "Baguslah! Nad, gue ngantuk banget, selamat tidur Nanad!" ucap Bima lelah.
Telepon terputus, Nadya tersenyum bisa mendengar suara Bima malam itu, sedangkan Bima tak kuasa lagi menahan dan menyeka air matanya. Walaupun hanya setetes, tapi itu sangat menggambarkan isi hatinya.
Nadya menghela nafas, bersiap membuka arsip Whattsapp yang tertera kontak Arjun di dalamnya.
Enam puluh sembilan pesan belum terbaca, gadis itu kembali tersenyum. "Uuu, maaf!"