BAB 15 || Obrolan

140 8 12
                                    

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum temen-temen semuanya.
Gimana nih kabarnya? Semoga dalam keadaan sehat walafiat, ya. Aamiin
Sebelumnya terimakasih sudah berkunjung❣️
Author ucapkan selamat datang di Senandung Do'a : Anisa & Husein.
Jangan lupa klik gambar bintangnya, sebagai dukungan buat Author❣️

~Happy Reading ~


Hembusan angin bertiup kencang pada malam hari, awan menghitam tanda mungkin sebentar lagi akan turun hujan deras. Kepulan uap asap dari semangkuk sup ayam menjadi menu makan kali ini, disantap dengan nasi pulen yang baru saja diangkat dari rice cooker. Aku melirik pada sebuah benda bulat yang terpajang di atas tv, sekarang sudah menunjukkan pukul 19.10 WIB dan Husein belum juga pulang dari masjid.

Ting... Tong...

Bel berbunyi, aku rasa pemuda itu sudah datang, dengan segera aku berlari ke depan untuk membukakan pintu. Benar saja itu adalah Husein, aku langsung menyambut uluran tangannya dan ku kecup punggung tangan besarnya.

"Kamu udah makan?" tanya pemuda itu.

"Belum, aku nunggu kamu pulang biar bisa makan bareng," jawabku spontan. Husein tersenyum mendengarnya lalu ia raih kepalaku dan mengecup kening dengan tiba-tiba. Jangan tanya bagaimana wajahku sekarang, kalian pasti sudah sangat hapal.

"Ya udah ayo makan, habis itu kita bahas soal tadi siang." Tidak ada jawaban apapun yang terlontar dari mulut, aku hanya mengangguk menurut perintahnya.
.
.
.
Setelah urusan makan malam rampung dan belajar dari pengalaman, aku langsung membereskan peralatan bekas makan dan mencucinya agar pekerjaan itu tidak dilakukan lagi oleh Husein. Aku menyusul pemuda itu yang sudah lebih dulu menuggu di ruang tamu. Kita akan membahas olimpiade permintaan bu Nia tadi siang, karena dirasa ini cukup serius jadi aku sengaja mematikan tv agar obrolan kami lebih khidmat.

"Jadi gimana, kamu terima tawaran bu Nia?" tanyaku memulai percakapan.

"Aku masih belum yakin, menurut kamu lebih baik aku terima apa tolak?" bukannya memberi jawaban, dia malah balik bertanya.

"Kok tanya aku, kan yang ikut olimpiade kamu."

Diam beberapa detik, terlihat ada raut resah pada wajahnya, "Kalo aku terima, kemungkinan besar aku bakalan makin sibuk belajar buat persiapan olimpiade," ujarnya sembari menatapku dalam.

"Gak apa-apa, walaupun sibuk yang penting kamu bisa jaga kesehatan. Lagian kalo kamu ikut terus menang kan enak bisa dapet beasiswa nanti."

"Terus kamu gimana? Aku takut malah ngebiarin kamu kalau terlalu sibuk."

"Husein jangan pikirin aku, pikirin masa depan kamu. Kalo kamu sukses aku juga ikut seneng. Lagian kita masih bisa sering ketemu, 'kan? di rumah, di kelas, di kantin."

"Ya udah, kalo kamu setuju dan ngasih izin. Besok aku temuin lagi bu Nia buat kasih tau keputusan kalo aku bakal ikut olimpiadenya."

"Nah gitu dong, tapi kamu udah izin kan sama ayah bunda?" tanyaku memastikan, barangkali lelaki itu lupa.

"Udah, mereka bilang itu terserah aku mau ikut apa nggak, yang penting aku udah obrolin ini sama kamu." Aku mengangguk paham. Aku tidak masalah jika Husein harus ikut olimpiade, walaupun sudah menikah dan menjadi seorang suami, tetap saja dia masih anak remaja yang membutuhkan masa depan yang cerah. Dan olimpiade ini sangat menguntungkan bagi Husein jika ia menang nanti.

Aku sedikit iri pada pemuda itu, dia pintar dan sangat beruntung. Walaupun di kelas aku terbilang cukup pintar tapi tetap saja, aku tidak bisa mengalahkan Ahmad Husein Fadillah. Dia selalu ada diposisi pertama dan aku ke dua. Itu juga salah satu alasan kenapa dulu aku tidak terlalu suka pada pemuda itu, karena aku selalu kalah dan tidak bisa merebut juara bertahannya.

Senandung Doa : Anisa & HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang