BAB 7 || Hari Pernikahan

211 22 18
                                    

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum temen-temen semuanya.
Gimana nih kabarnya? Semoga dalam keadaan sehat walafiat, ya. Aamiin
Sebelumnya terimakasih sudah berkunjung❣️
Author ucapkan selamat datang di Senandung Do'a : Anisa & Husein.
Jangan lupa klik gambar bintangnya, sebagai dukungan buat Author❣️

~Happy Reading ~


Hari demi hari berlalu waktu berjalan dengan sangat cepat, tidak terasa 2 hari lagi aku akan menyandang gelar seorang istri. Semenjak kejadian mengantar pulang, aku semakin canggung untuk sekedar melirik ke arah Husein. Entah dia sadar akan perubahan sikapku atau tidak, tapi kurasa dengan sifat dingin dan cuek bebeknya itu Husein pasti tidak merasakan apapun tentang diriku.

Hari Kamis sekarang aku izin tidak masuk sekolah dengan alasan ada kepentingan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan. Jelas itu hanya sebuah alibi karena faktanya aku harus pergi ke rumah nenek yang ada di Bandung untuk melangsungkan pernikahan. Kami sudah memutuskan bahwa akad akan di laksanakan pada hari sabtu di rumah nenek Mira yang ada di Bandung, alasannya karena aku takut ada yang mengetahui tentang ini jika kami melakukannya di Jakarta. Husein dan keluarganya akan menyusul hari Jum'at sore nanti, lalu mereka akan menginap di hotel untuk satu malam. Aku juga sudah meminta Nabila untuk ikut bersama rombongan Husein saat menyusul kesini.

Rumah nenek ini memang cukup besar dan ada 3 kamar di dalamnya. Semenjak kakek Bilal meninggal, nenek tidak pernah lagi menikah dengan siapapun. Dia membesarkan abi seorang diri, membayangkan nya saja sudah terlihat sulit apalagi melakukannya secara langsung. Aku merenung di teras rumah sembari menatap hamparan awan di atas sana.

"Kamu kenapa ngelamun, Nis?" tanya Nenek dengan suaranya yang ringkih.

"Aduh Nenek bikin kaget aja. Itu Nisa lagi mandangin awan bentuknya lucu-lucu sekalian nikmatin hembusan angin, di sini adem banget, Nek." Aku sedikit terkejut saat mendapati Nenek berada di sampingku, kemudian menjelaskan kepadanya kenapa alasanku melamun.

"Cucu Nenek sekarang udah besar ternyata, rasanya baru kemarin Nenek gendong kamu waktu masih bayi, sekarang udah mau jadi istri orang aja," kata Nenek Mira, ia mengelus pucuk kepalaku yang tertutup oleh kerudung. Aku mengulas senyum untuk membalas perkataannya.

"Lagi ngobrolin apa nih, senyum-senyum kayak gitu?" Umma datang dengan nampan yang berisi pisang goreng dan teh hangat.

"Ini Cucu Ibu udah besar aja, padahal kayak baru kemarin Ibu gendong dia lagi nangis," jelas Nenek, Umma ikut tersenyum mendengarnya. Malaikat tanpa sayap itu menatap dengan begitu lembut lalu merengkuh tubuhku.

"Maafin Umma ya, Nis," ujarnya dengan suara sedikit bergetar. Aku membalas pelukan Umma tak kalah erat dan tersenyum dibalik pugung sempit miliknya.

"Kenapa Umma harus minta maaf?" tanyaku.

"Umma cuma takut kamu marah karena masalah pernikahan ini," ungkapnya, aku tersenyum setelah mendengar penuturan itu. Seharusnya Umma mengatakannya lebih awal, kalau sekarang apa yang bisa aku perbuat? Pernikahan itu akan berlangsung lusa, dan saat itu pula gelar seorang istri akan menjadi takdirku.

"Enggak kok Umma, Insya Allah Nisa udah ikhlas dengan semua keputusan kalian, Nisa yakin ini juga sudah termasuk dalam scenario yang Allah tetapkan buat kehidupan Nisa," mendengar aku mengatakan demikian, air mata bidadari cantik itu terjatuh membasahi pipi halusnya, ia kembali merengkuhku dalam pelukan hangat yang sangat aku suka.

Nenek yang melihat kami saling memeluk tersenyum tulus dan mengacungkan kedua jempolnya, tanda ia merasa bangga atas jawabanku barusan.

.
.
.

Senandung Doa : Anisa & HuseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang