Qadarullah 10

18 1 0
                                    

Rindu kadang hadir melebihi porsinya, memecah hati menjadi tak karuan, sekedar rindu tapi mampu membolak-balikkan perasaan. Seperti hari ini rindu hadir seperti hujan, menggenang dan meresap sampai kedalam.

Merindukannya, bolehkah?

*Rika_Wati*

Malam harinya, setelah dibantu ayah menyuapiku makan, resep obat dari dokter Adit pun di sodorkan ayah kemulutku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam harinya, setelah dibantu ayah menyuapiku makan, resep obat dari dokter Adit pun di sodorkan ayah kemulutku. Empat butir pil sudah kutelan menujur usus. 
Saran dokter Adit pun kuturuti agar tidak banyak bergerak demi proses kesembuhan cideraku.

Diluar hujan sangat lebat disertai angin kencang.  udara yang masuk dari ventilasi kamar membawa hawa dingin.  Namun, dadaku hangat hingga mukaku bersemu merah. Efek Pak Faruq atau dokter Adit masih membekas, begitu besar efek kehadirannya padaku.

"Jangan mempersulit dirimu lagi, Qaisa!  Tidak perlu lagi mengurung diri seperti kemarin. ayah tetap pada keputusan ayah menjodohkan kamu pada Bian. Ayah kira kamu akan mengerti jika nanti setelah dinikahinya."

Suara ayah yang berat penuh penekanan menyadarkan aku pada kenyataan. Ayah tetap kukuh pada pendiriannya, dan aku harus apa?  Melawan lagi atau marah-marah seperti kemarin?

"Yah, kenapa harus aku menikahi om Bian?  Kenapa bukan kak Yana saja ayah!  Mereka lebih cocok dan sama-sama dewasa." ujarku mencoba memberi saran. Aku berharap ayah bisa mendengarkan saranku.

Pandangan ayah nelangsa.

"Tidurlah, agar kaki kamu cepat sehat." ayah tidak menggubris dan memilih keluar meninggalkanku sendiri.

Bibirku terkatup rapat menahan lirihan yang hampir lolos. Aku tepis air mata yang entah kapan menggenangi pandanganku. Bukannya mengiyakan permintaan ayah, aku berdiri mencoba meraih kenop jendela di sebelah meja belajar.

Saat jendela terbuka lebar hawa dingin seketika menyebar ke kamar. air hujan berjatuhan di tanah menimbulkan bunyi gemericik. Piasnya sampai masuk mengenai tangan dan wajahku.

Suara jangkrik dan katak berirama bersahutan menggema di lolongan malam. Kepalaku telungkup pada kedua tanganku, hujan sebagai bukti cerita sedihku malam ini. Malam menjadi teman tiada menenangkan. Jangkrik dan katak sebagai saksi aku berduka pada qadarullah di hidup yang tak kuinginkan ini.

--------

Pagi-pagi Aisa membangunkanku, ia sudah berada di atas kasur duduk di sebelahku. Entah kapan ia sudah di sini.  Wajah menggemaskannya membuatku tersenyum. Sebenci apa pun aku pada ibunya, ia tetaplah saudara sedarahku.

"Mbaa, kakinya macih cakit?" suaranya yang lucu semakin melebarkan senyumku.  Aku berusaha bangkit dan duduk.

"Iya,  dek.  Cakit cekalii." puraku meringis. Wajahnya semakin lucu saat ia melihatku mengaduh.

"Cakit ya mba?" Aisa memastikan lagi. Aku mengangguk. Jemari mungilnya mengelus perlahan permukaan gifts di kakiku.

"Kata bunya, mba hayus minum obat. Bial kakinya mba cepat cembuh." Aisa berseloroh  sambil mengerakkan kepalanya.  Lucu sekali kamu Aisa.

Kucium pipinya gemes. Wangi telon menyeruk memenuhi hidungku.

"Baik dokter Adit!  Eh- bu Aisa.. " gagapku membenarkan.  Aisa tersenyum memamerkan giginya yang rapi. Sedikit geli kenapa aku bisa kepikiran pada dokter Adit di saat seperti ini.

Mengingat wajahnya, menumbuhkan semangat empat lima untuk segera ke sekolah. Sudah beberapa hari aku tidak masuk, apalagi aku ingin memastikan satu hal. Tapi kakiku kan belum bisa digerakkan. Miris!

"Dokcer Adit ciapa,  mba?" Aisa bertanya melihatku penuh rasa penasaran. Anak kecil memang selalu penasaran pada hal-hal baru termasuk seseorang yang sedang mengusikku pagi ini.

"Tidak ada sayang. Mba salah bicara tadi." kilahku sembari mengelus rambut BOBnya yang acak-acakan.

"Aisa ayok katanya mau beli gorengan, abang  cariin eh disini." Bayu nongol dari pintu, dia sudah tampak segar dan rapi dengan baju sekolahnya.

Aisa yang mendengar langsung melompat kegirangan. Ia meraih uluran Bayu dan mengangkatnya dari kasur.

"Mau titip?" Bayu bertanya padaku.

"Tidak ada."

"Oh!" itu saja.

"Tunggu!" suaraku mengurungkan langkahnya. Bayu berbalik dan menoleh. Aisa sudah berada di gendongannya.

"Hm..  Mba boleh minta tolong sesuatu?"

"Apa?"

begitulah, obrolan kami berlanjut dan berakhir setelah Bayu bersedia mengiyakan permintaanku.

Bibirku tersenyum!
-------

To be continued.

591 kata.. 
Namun kubiarkan saja sampai kalian berkomentar. Agar saya tahu siapa saja yang masih Setia menunggu cerita qadarullah.

Salam sayang dari Rika..
Penulis yang masih butuh saran dari kalian.

Aceh Singkil, 03 Juni 2021

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang