Qadarullah 8

14 1 0
                                    

Hujan tak selalu sering mengguyur, sesekali pun banyak redanya. seperti ujian, hadir membasahi diri, lalu kering oleh teriknya kesabaran.

"Rika_Wati"

Menjelang siang, aku meminta izin untuk pulang pada buk Ima guru kelasku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjelang siang, aku meminta izin untuk pulang pada buk Ima guru kelasku.  Wawa membantu mengantarkanku pulang dikarenakan lututku sakit untuk digerakkan. sepertinya ada cidera akibat sepeda motor yang  sempat menimpa kakiku. semakin lama kian membengkak dan menyebabkanku sulit berjalan.

Wawa memapahku berjalan menuju teras. tidak biasanya pintu rumah tebuka di jam siang seperti ini. biasanya Ayah, ibu tiriku, dan Aisa selalu berada di butik saat jam siang. 

Oh, Kak Yana pasti di rumah. 

Wawa mendorong  pintu dan perlahan terbuka. suara obrolan langsung menggema keluar sehingga kami bisa mendengar. 

suara ayah dan orang..

asing!

"Assalamualaikum.." kami memberi salam dan langsung di jawab oleh mereka. 

"waalaikum salam.." 

"nah, kebetulan sekali ya nak, Bian.." aku menoleh pada sosok pria brewokan tebal. buluku meremang. "karena Qaisa sudah pulang jadi mempermudah perihal tadi yang kita bicarakan." Bu Sukma membuka suara lebih dulu.

Mereka bahkan tidak memperdulikan kondisi kakiku yang pincang di depan mereka.  ayah memandangku tanpa niat bertanya. 

oh ayah.. kasihan sekali diriku.

"antar aku kekamar, Wa!" bisikku di telinga Wawa. ia hendak menuntunku, namun Ayah mengurungkan langkah kami.

"Qais duduk dulu, nak. ada yang harus kami bicarakan padamu." 

berat sekali menuruti kemauan ayah. aku bisa saja menolaknya, namun Ayah akan  malu karena keberadaan pria yang bernama Bian itu.

Wawa langsung menuruti pinta ayah tanpa bertanya padaku. Wawa mendudukkanku di sofa sebelah Ibu. 

"Qaisa anakanya cantik kan Bian. dia tidak kalah cantik dari Yana. kamu amat beruntung memperistrinya."

deg!

Perutku mendadak mulas mendengar Ibu Sukma berbincang pada Bian. dadaku sesak, haruskah aku teriak bahwa aku tidak sudi diperistri pria tua seperti dirinya.

"Qais tidak pernah menyetujui menikah dengannya, Ayah!" akhirnya suaraku keluar setelah pergulatan batin.

semua memandangku.

kuabaikan mereka, selain menerima plototan Wawa yang masih terkejut atas apa yang ia lihat sekarang. ia pasti menagih cerita padaku atas apa yang terjadi.

sahabatku ini masih menahan untuk tidak memperburuk keadaan. jika tidak pasti terjadi keributan.

"Maaf nak Bian, putri saya akan setuju menikah denganmu. karena saya pikir dia akan bahagia jika berada disisi kamu." Ayah mengabaikan sorotan mataku yang sudah kabur karena air mata. jemariku digenggam erat oleh wawa. ia berusaha membuatku sabar agak tidak marah.

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang